Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 282

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muaamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 282)
Ayat ini merupakan ayat yang paling panjang di dalam al-Qur’an.
Firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim musamman faktubuuHu (“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”) Ini merupakan nasihat dan bimbingan dari Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, jika mereka melakukan muamalah secara tidak tunai, hendaklah mereka menulisnya supaya lebih dapat menjaga jumlah dan batas waktu muamalah tersebut, serta lebih menguatkan bagi saksi. Dan Allah telah memperingatkan hal tersebut pada akhir ayat, di mana Dia berfirman: dzaalikum aqsathu ‘indallaaHi wa aqwamu lisy syaHaadati wa adnaa allaa tartaabuu (“Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu.”)
Mengenai firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim musamman faktubuuHu (“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”) Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan pemberian utang salam dalam batas waktu yang ditentukan. (utang salam: Uang pembayaran lebih dulu, dan barangnya diterima kemudian.)
Sedangkan Qatadah menceritakan, dari Abu Hasan al-A’raj, dari Ibnu Abbas, aku bersaksi bahwa pemberian hutang yang dijamin untuk diselesaikan pada tempo tertentu, telah dihalalkan dan diizinkan Allah swt. Kemudian ia membacakan ayat: yaa ayyuHal ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidaini ilaa ajalim musamman; demikian riwayat al-Bukhari.
Dan disebutkan di dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim), dari Ibnu Abbas, ia menceritakan: Bahwa Nabi pernah datang di Madinah sedang masyarakat di sana biasa mengutangkan buah untuk tempo satu, dua, atau tiga tahun. Lalu Rasulullah bersabda: “Barangsiapa meminjamkan sesuatu, maka hendaklah ia melakukannya dengan takaran dan timbangan yang disepakati sampai batas waktu yang ditentukan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
faktubuuHu (“Hendaklah kamu menuliskannya.”) ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala supaya dilakukan penulisan untuk memperkuat dan menjaganya.
Abu Sa’id, as-Sya’bi, Rabi’ bin Anas, al-Hasan, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid, dan ulama lainnya mengatakan, sebelumnya hal itu merupakan suatu kewajiban, kemudian dinasakh (dihapuskan) denan firman-Nya yang artinya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. Al-Baqarah: 283). Dalil lain yang menunjukkan hal itu adalah hadits yang menceritakan tentang syariat yang ada sebelum kita dan ditetapkan dalam syariat kita, serta tidak diingkari, yang isinya menjelaskan tentang tidak adanya (kewajiban untuk) penulisan dan persaksian.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. beliau bercerita: “Ada seorang dari Bani Israil yang meminta kepada salah seorang Bani Israil (lainnya) agar meminjamkan kepadanya uang seribu dinar. Kemudian orang yang dimintai pinjaman itu berkata: ‘Datangkanlah saksi-saksi kepadaku sehingga aku dapat menjadikan mereka sebagai saksi.’ Lalu orang yang meminjam itu pun berujar: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Si pemberi pinjaman itu berkata lagi: ‘Datangkan kepadaku orang yang dapat memberi jaminan.’ Orang itu berujar pula: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Si pemberi pinjaman itu berujar lagi: ‘Engkau benar.’ Maka si pemberi pinjaman itu menyerahkan kepadanya seribu dinar dengan batas waktu tertentu.
Kemudian orang (peminjam uang) itu pun pergi ke laut untuk menunaikan keperluannya. Kemudian ia sangat memerlukan perahu guna mengantarkan uang pinjaman yang sudah jatuh tempo pembayarannya. Namun ia tidak juga mendapatkan perahu, lalu ia mengambil sebatang kayu dan melubanginya. Selanjutnya ia memasukkan uang seribu dinar ke dalam kayu tersebut berikut selembar surat yang ditujukan kepada pemilik uang itu (pemberi pinjaman). Kemudian ia melapisinya (agar tidak terkena air). Setelah itu ia membawa kayu itu ke laut. Selanjutnya ia berucap: ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku telah meminjam uang seribu dinar kepada si fulan. Lalu ia meminta kepadaku pemberi jaminan, maka kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Danis pun menyetujui hal itu. Selanjutnya ia meminta saksi kepadaku, dan kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Dan ia pun menyetujui hal itu. Dan sesungguhnya aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirimkan uang pinjaman itu. Namun aku tidak mendapatkannya. Kini kutitipkan uang ini kepada-Mu.’ Maka orang itu pun melemparkan kayu tersebut ke laut hingga tenggelam. Kemudian ia kembali pulang. Dan ia masih tetap mencari perahu untuk kembali ke negerinya. Sementara itu si pemberi pinjaman keluar untuk memperhatikan barangkali ada perahu datang membawa uangnya (yang dipinjamkan). Tiba-tiba ia menemukan sebatang kayu yang di dalamnya terdapat uangnya, maka ia pun mengambilnya untuk diberikan kepada keluarganya sebagai kayu bakar. Ketika ia membelah kayu tersebut ia menemukan uang dan selembar Surat.
Kemudian orang yang meminjam uang darinya pun datang dengan membawa seribu dinar. Peminjam itu berkata: ‘Demi Allah, sebelum mendatangi anda sekarang ini, aku secara terus-menerus berusaha mencari perahu untuk mengembalikan uang anda, namun aku tidak mendapatkan perahu sama sekali.’ Si pemberi pinjaman itu bertanya: ‘Apakah engkau mengirimkan sesuatu kepadaku?’ Si peminjam menjawab: ‘Bukankah telah kuberitahukan kepada anda bahwa aku tidak mendapatkan perahu sebelum kedatanganku ini.’ Si pemberi pinjaman itu berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah mengantarkan pinjamanmu yang telah engkau letakkan dalam kayu. Maka kembalilah dengan uangmu yang seribu dinar itu dengan baik.’” (Isnad hadits ini shahih. Telah diriwayatkan al-Bukhari dalam tujuh tempat melalui jalan yang shahih secara muallaq dan dengan memakai sighat jazm (ungkapan yang tegas).
Dan firman-Nya: wal yaktub bainakum kaatibun bil’adl (“Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”) Maksudnya dengan adil dan benar serta tidak boleh berpihak kepada salah seorang dalam penulisannya tersebut dan tidak boleh juga ia menulis kecuali apa yang telah disepakati tanpa menambah atau menguranginya.
Sedangkan firman Allah: walaa ya’ba kaatibun ay yaktuba kamaa ‘allamaHullaaHu falyaktub (“Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.”) Maksudnya, orang yang mengerti tulis menulis tidak boleh menolak jika ia diminta menulis untuk kepentingan orang lain dan tidak boleh menyusahkannya, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya apa yang sebelumnya tidak diketahuinya. Maka hendaklah ia berbuat baik kepada orang lain yang tidak mengenal tulis-menulis, dan hendaklah ia menuliskannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seorang yang berbuat (kebaikan) atau berbuat baik bagi orang bodoh.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad).
Dan dalam hadits yang lain juga disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, maka ia akan dikekang pada hari kiamat kelak dengan tali kekang dari api neraka.” (Hr. Ibnu Majah).
Mujahid dan Atha’ mengatakan: “Orang yang dapat menulis berkewajiban untuk menuliskan.”
Dan firman Allah berikutnya: wal yumlilil ladzii ‘alaiHil haqqu wal yattaqillaaHa rabbaHu (“Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan [apa yang akan ditulis itu], dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya.”) Artinya, hendaklah orang yang menerima pinjaman mendiktekan kepada juru tulis jumlah hutang yang menjadi tanggungannya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah melakukan hal itu. Walaa yabkhas minHu syai-an (“Dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya.”) Maksudnya, tidak menyembunyikan sesuatu apa pun darinya. Fa in kaanal ladzii ‘alaiHil haqqu safiiHan (“Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya.”) Sebagai upaya mencegahnya dari tindakan penghamburan uang dan lain sebagainya. Au dla’iifan (“atau lemah keadaannya”) maksudnya masih dalam keadaan kecil atau tidak waras. Au laa yastathii’u ay yumilla Huwa (“atau ia sendiri tidak mampu mengimlakkan,”) baik karena cacat atau tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Wal yumlil waliyyuHuu bil’adl (“Maha hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.”)
Dan firman Allah: wasytasyHaduu syaHiidaini mir rijaalikum (“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antaramu.”) Ini adalah perintah untuk memberi kesaksian disertai penulisan untuk menambah validitasnya (kekuatannya). Fa illam yakuunaa rajulaini farajuluw wamra-ataani (“Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.”)
Hal itu hanya berlaku pada perkara yang menyangkut harta dan segala yang diperhitungkan sebagai kekayaan. Ditempatkannya dua orang wanita menduduki kedudukan seorang laki-laki karena kurangnya akal kaum wanita.
Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dalam kitab shahihnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar, karena aku melihat kebanyakan dari kalian sebagai penghuni neraka.” Salah seorang wanita bertubuh besar bertanya: “Mengapa kebanyakan dari kami sebagai penghuni neraka?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan tidak bersyukur kepada suami. Aku tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih dapat menaklukkan seorang lelaki yang berakal daripada kalian.” Wanita itu bertanya: “Apa yang dimaksud dengan kekurangan akal dan agama?” Beliau menjawab: “Yang dimaksud kurang akal adalah kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki, yang demikian itu termasuk kurangnya akal. Dan kalian berdiam diri selama beberapa malam, tidak mengerjakan shalat, dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haidh dan nifas). Dan yang demikian itu termasuk dari kekurangan agama.”
Dan firman Allah: mimman tardlauna minasy syuHadaa-i (“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”) Dalam potongan ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan adanya syarat adil bagi para saksi. Dan hal ini adalah muqayyad (terbatas). Makna ayat muqayyad (mengikat) inilah yang dijadikan pegangan hukum oleh Imam Syafi’i dan menetapkannya pada setiap perintah mutlak untuk memberikan kesaksian di dalam al-Qur’an tanpa ada persyaratan. Dan bagi pihak yang menolak kesaksian orang yang tidak jelas pribadinya potongan ayat ini juga menunjukkan bahwa saksi itu harus adil dan diridhai (diterima).
Dan firman-Nya: an tadlillaa ihdaa Humaa (“Supaya jika seorang lupa.”) Yaitu kedua orang wanita tersebut jika salah seorang lupa atas kesaksiannya. Fa tudzakkira ihdaaHumal ukhraa (“Maka seorang lagi mengingatkannya.”) Maksudnya, mengingatkan kesaksian yang pernah diberikan.
Dan firman Allah: walaa ya’basy syuHadaa-u idzaa maa du’uu (“Janganlah saksi-saksi itu enggan [memberi keterangan] apabila mereka dipanggil.”) Ada yang mengatakan, makna ayat ini adalah, jika mereka dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka hendaklah mereka memenuhi panggilan tersebut. Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Qatadah dan Rabi’ bin Anas. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala: walaa ya’ba kaatibun ay yaktuba kamaa ‘allamaHullaaHu falyaktub (“Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.”)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum memberikan kesaksian adalah fardhu kifayah. Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur ulama. Sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya: walaa ya’basy syuHadaa-u idzaa maa du’uu (“Janganlah saksi-saksi itu enggan [memberi keterangan] apabila mereka dipanggil,”) yakni untuk melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka sebagai saksi. Seorang saksi hakekatnya adalah yang bertanggung-jawab. Jika dipanggil, maka ia berkewajiban untuk memenuhinya, jika hal itu hukumnya fardhu ‘ain. Jika tidak, maka berkedudukan sebagai fardhu kifayah. Wallahu a’lam.
Mujahid, Abu Majlaz, dan ulama lainnya mengatakan, “Jika anda dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka anda boleh memilih (boleh bersedia dan boleh juga tidak). Namun jika anda telah menjadi saksi, lalu dipanggil, maka penuhilah panggilan itu.”
Fardu kifayah ialah, suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebagian orang, bila tidak adayang mengerjakan kewajiban tersebut maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa.
Fardu ‘ain ialah, kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap orang yang mukallaf (dewasa).
Dalam kitab Shahih Muslim dan kitab as-Sunan telah disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan Malik, dari Zaid bin Khalid, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi ? Yaitu orang yang datang dengan mempersiapkan kesaksiannya sebelum diminta kesaksiannya.”
Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab Shahihain, Rasulullah saw. bersabda: “Maukah kalian aku beritahu seburuk-buruk saksi ? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum mereka diminta untuk memberikan kesaksian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Juga diriwayatkan tentang sabda Rasulullah: “Kemudian datang suatu kaum yang sumpah mereka mendahului kesaksian mereka dan kesaksian mereka mendahului sumpah mereka.” Dan dalam riwayat lain juga disebutkan, Rasulullah bersabda: “Kemudian datang suatu kaum yang memberikan kesaksian, padahal mereka tidak diminta memberikan kesaksian.”
Maka mereka itu adalah saksi-saksi palsu. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hasan Bashri bahwa hal itu mencakup dua keadaan, yaitu menyampaikan dan memberikan (kesaksian).
Sedangkan firman Allah selanjutnya: walaa yas-amuu an taktubuuHu shaghiiran au kabiiran ilaa ajaliHi (“Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.”) Ini merupakan bagian dari kesempurnaan bimbingan, yaitu perintah untuk menulis kebenaran baik yang kecil maupun yang besar. Dia berfirman: “Janganlah kamu merasa bosan untuk menulis kebenaran bagaimanapun kondisinya, baik yang kecil maupun yang besar sampai batas waktu pembayarannya.”
Dan firman-Nya: dzaalikum aqsathu ‘indallaaHi wa aqwamu lisy syaHaadatai wa adnaa allaa tartaabuu (“Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu.”) Maksudnya, inilah yang kami perintahkan kepada kalian yaitu untuk menulis kebenaran, jika hal itu dilakukan secara tunai. Yang demikian itu “aqsathu ‘indallaaHi (“Lebih adil di sisi Allah.”) Artinya, lebih adil. Dan “wa aqwamu lisy syaHaadati” (“Dan lebih dapat menguatkan persaksian.”) Maksudnya, lebih menguatkan kesaksian. Yakni lebih memantapkan bagi saksi, jika ia meletakkan tulisannya dan kemudian melihatnya, niscaya ia akan ingat akan kesaksian yang pernah ia berikan. Karena jika tidak menulisnya, maka ia lebih cenderung untuk lupa, sebagaimana yang sering terjadi.
Firman-Nya: wa adnaa allaa tartaabuu (“Dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu.” Maksudnya lebih dekat kepada ketidakraguan. Dan jika terjadi perselisihan kamu akan kembali kepada catatan yang pernah kamu tulis sehingga dapat menjelaskan di antara kamu tanpa ada keraguan.
Dan firman Allah: illaa an takuuna tijaaratan haadliratan tudiiruunaHaa bainakum falaisa ‘alaikum junaahun allaa taktubuuHaa (“[Tulislah muamalah kamu itu], kecuali jika muamalah tersebut perdagangan tunai yang kamu jalankan di antaramu, maka tidak ada dosa bagimu, jika kamu tidak menulisnya.”) Maksudnya, jika jual beli itu disaksikan dan kontan, maka tidak ada dosa jika kalian tidak menulisnya, karena tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan jika tidak dilakukan penulisan terhadapnya.
Sedangkan mengenai pemberian kesaksian terhadap jual beli, maka Allah telah berfirman: wa asy-Hiduu idzaa tabaaya’tum (“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”) Menurut jumhur ulama, masalah tersebut diartikan sebagai bimbingan dan anjuran semata dan bukan sebagai suatu hal yang wajib.
Dalil yang menjadi landasan hal itu adalah hadits Khuzaimah bin Tsabital-Anshan, diriwayatkan Imam Ahmad, dari az-Zuhri, Imarah bin Khuzaimahal-Anshari pernah memberitahuku bahwa pamannya pernah memberitahunya, dan pamannya itu adalah salah seorang sahabat Nabi saw: Bahwa Rasulullah saw. pernah membeli seekor kuda dari seorang Badui. Lalu Nabi memintanya ikut untuk membayar harga kudanya tersebut. Maka Nabi berjalan dengan cepat, sedangkan orang Badui itu berjalan lambat. Kemudian ada beberapa orang yang menghadang orang Badui tersebut dengan tujuan agar mereka dapat menawar kudanya itu. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah membelinya. Sehingga sebagian mereka ada yang menawar dengan lebih tinggi dari harga kuda yang telah dibeli oleh Rasulullah tersebut.
Kemudian si Badui itu berujar kepada Nabi: “Jika engkau benar-benar membeli kuda ini, maka belilah. Jika tidak, maka aku akan menjualnya.” Maka Nabi pun berdiri ketika beliau mendengar seruan Badui itu, lalu beliau berkata: “Bukankah aku telah membelinya darimu.” “Tidak demi Allah, aku tidak menjualnya kepadamu,” sahut si Badui itu. Kemudian beliau berkata: “Aku telah membelinya darimu.” Setelah itu, orang-orang mengelilingi Nabi dan si Badui itu. Keduanya saling mengulangi ucapan mereka. Kemudian si Badui itu berkata: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa aku telah menjualnya kepadamu.”
Lalu ada seorang Muslim yang hadir berkata kepada si Badui itu: “Celakalah kamu, sesungguhnya Nabi tidak berbicara kecuali kebenaran.” Hingga akhirnya datanglah Khuzaimah, ia mendengar ucapan Nabi dan bantahan si Badui tersebut, di mana si Badui itu mengatakan: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa aku telah menjualnya kepadamu.” Maka Khuzaimah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau telah menjualnya kepada beliau.” Maka Nabi menatap kepada Khuzaimah seraya bertanya: “Dengan apa engkau hendak bersaksi?” “Dengan membenarkanmu, ya Rasulullah,” jawab Khuzaimah. Maka Rasulullah menjadikan kesaksian Khuzaimah itu sebagai kesaksian dari dua orang laki-laki.”
Keterangan yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.
Firman Allah: walaa yudlaarra kaatibuw walaa syaHiid (“Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.”)
Ada yang mengatakan, makna ayat tersebut adalah, tidak diperbolehkan bagi penulis dan saksi untuk memperumit permasalahan, di mana ia menulis sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang didiktekan, dan si saksi memberikan kesaksian dengan apa yang bertentangan dengan yang ia dengar, atau bahkan ia menyembunyikannya secara keseluruhan. Demikianlah pendapat yang disampaikan oleh al-Hasan, Qatadah, dan ulama-ulama lainnya. Ada juga yang mengatakan, artinya, keduanya (penulis dan saksi) tidak boleh mempersulit.
Mengenai firman Allah: walaa yudlaarra kaatibuw walaa syaHiid (“Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.”) Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Ada seseorang datang. Lalu ia memanggil keduanya untuk menjadi penulis dan saksi. Kemudian kedua orang tersebut berucap, “Kami sedang ada keperluan.” Lalu orang itu berkata, “Sesungguhnya kamu berdua telah diperintahkan untuk memenuhinya.” Maka orang itu tidak boleh mempersulit keduanya.
Lebih lanjut ia menceritakan, hal senada juga telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, adh-Dhahak, Athiyyah, Muqatil bin Hayyan, Rabi’ bin Anas, dan as-Suddi.
Firman Allah Ta’ala selanjutnya: wa in taf’aluu fa innaHuu fusuuqum bikum (“Jika kamu lakukan [yang demikian], maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.”) Maksudnya, jika kamu menyalahi apa yang telah Allah perintahkan, atau kamu mengerjakan apa yang telah dilarang-Nya, maka yang demikian itu merupakan suatu kefasikan pada dirimu. Yaitu, kamu tidak akan dapat menghindarkan dan melepaskan diri dari kefasikan tersebut.
Firman-Nya: wattaqullaaHa (“Dan bertakwalah kepada Allah.”) Maksudnya, hendaklah kamu takut dan senantiasa merasa berada di bawah pengawasan-Nya, ikutilah apa yang diperintahkan-Nya, dan jauhilah semua yang dilarang-Nya. wa yu’allimukumullaaHu (“Allah mengajarmu.”) Penggalan ayat ini adalah seperti firman Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furgan. ” (QS. Al-Anfaal: 29).
Furqan artinya, petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil. Dapat juga diartikan di sini dengan pertolongan.
Dan firman-Nya: wallaaHu bikulli syai-in ‘aliim (“Dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”) Artinya, Allah mengetahui hakikat seluruh persoalan, kemaslahatan, dan akibatnya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan ilmu-Nya meliputi seluruh alam semesta.


EmoticonEmoticon