“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya)? Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedangkan bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafaat pun selain dari Allah, agar mereka bertakwa. Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggungjawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim. Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang yang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada Nya) ?’ Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Salamun ‘alaikum,’ Tuhan kalian telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwa barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-An’am: 50-54)
Allah Swt. berfirman kepada Rasul-Nya: qul laa aquulu lakum ‘indii khazaa-inullaaHi (“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku.'”) (Al An’am: 50)
Dengan kata lain, aku tidak memilikinya dan tidak pula mengaturnya.
Dengan kata lain, aku tidak memilikinya dan tidak pula mengaturnya.
Wa laa a’lamul ghaiba (“dan tidak [pula] aku mengetahui yang gaib.”) (Al An’am: 50)
Yakni aku pun tidak mengatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya aku mengetahui perkara yang gaib, karena sesungguhnya hal yang ghaib itu hanya diketahui oleh Allah swt. saja; dan aku tidak dapat mengetahuinya kecuali sebatas apa yang telah diperlihatkan oleh Allah kepadaku.
Yakni aku pun tidak mengatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya aku mengetahui perkara yang gaib, karena sesungguhnya hal yang ghaib itu hanya diketahui oleh Allah swt. saja; dan aku tidak dapat mengetahuinya kecuali sebatas apa yang telah diperlihatkan oleh Allah kepadaku.
Wa laa aquulu lakum innii malakun (“dan tidak [pula] aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat. (Al An’am: 50)
Artinya, aku tidak mendawakan diri bahwa diriku adalah malaikat, melainkan hanyalah seorang manusia yang diberi wahyu oleh Allah Swt. Allah Swt . telah memuliakan diriku dengan wahyu itu dan mengaruniaiku dengannya sebagai nikmat dari-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
Artinya, aku tidak mendawakan diri bahwa diriku adalah malaikat, melainkan hanyalah seorang manusia yang diberi wahyu oleh Allah Swt. Allah Swt . telah memuliakan diriku dengan wahyu itu dan mengaruniaiku dengannya sebagai nikmat dari-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
In attabi’u illaa maa yuuhaa ilayya (“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.”) (Al-An’am: 50)
Yakni aku tidak pernah menyimpang darinya barang sejengkal pun, tidak pula kurang dari itu.
Yakni aku tidak pernah menyimpang darinya barang sejengkal pun, tidak pula kurang dari itu.
Qul Hal yastawil a’maa wal bashiir (“Katakanlah. “Apakah sama orang yang buta dan orang yang melihat?”) (Al An’am: 50)
Maksudnya, apakah orang yang mengikuti kebenaran dan mendapat petunjuk kepada perkara yang benar sama dengan orang yang sesat darinya dan tidak mau mengikutinya?
Maksudnya, apakah orang yang mengikuti kebenaran dan mendapat petunjuk kepada perkara yang benar sama dengan orang yang sesat darinya dan tidak mau mengikutinya?
A falaa tatafakkaruun (“Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya.)?”) (Al An’am: 50)
Ayat ini semakna dengan ayat lain yang menyebutkan melalui firmanNya:
Ayat ini semakna dengan ayat lain yang menyebutkan melalui firmanNya:
“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,”) (Ar Ra’d: 19)
Mengenai firman Allah Swt.: wa andzir biHil ladziina yakhaafuuna ay yuhsyaruu ilaa rabbiHim laisa laHum min duuniHii waliyyuw walaa syafii’ (“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya [pada hari kiamat], sedangkan bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafaat pun.”) (Al An’am: 51)
Artinya, berilah peringatan dengan Al Qur’an ini, hai Muhammad !
“Orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka.” (Al Muminun: 57)
Yaitu orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Yaitu orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Firman Allah Swt.:
wa andzir biHil ladziina yakhaafuuna ay yuhsyaruu ilaa rabbiHim (“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya [pada hari kiamat],”) (Al An’am: 51) Yakni pada hari kiamat nanti.
wa andzir biHil ladziina yakhaafuuna ay yuhsyaruu ilaa rabbiHim (“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya [pada hari kiamat],”) (Al An’am: 51) Yakni pada hari kiamat nanti.
laisa laHum (“sedangkan bagi mereka tidak ada”) maksudnya pada hari itu [kiamat].
min duuniHii waliyyuw walaa syafii’ (“seorang pelindung dan pemberi syafaat pun.”). (Al An’am: 51)
Yakni tidak ada kaum kerabat bagi mereka dan tidak ada orang yang dapat memberikan pertolongan kepada mereka dari azab Allah, bilamana Allah berkehendak menimpakannya kepada mereka.
min duuniHii waliyyuw walaa syafii’ (“seorang pelindung dan pemberi syafaat pun.”). (Al An’am: 51)
Yakni tidak ada kaum kerabat bagi mereka dan tidak ada orang yang dapat memberikan pertolongan kepada mereka dari azab Allah, bilamana Allah berkehendak menimpakannya kepada mereka.
La’allaHum yattaquun (“agar mereka bertakwa.”) (Al An’am: 51)
Artinya, peringatkanlah akan kejadian hari kiamat ini, karena tidak ada hakim pada hari tersebut kecuali hanya Allah Swt. semata.
Artinya, peringatkanlah akan kejadian hari kiamat ini, karena tidak ada hakim pada hari tersebut kecuali hanya Allah Swt. semata.
La’allaHum yattaquun (“agar mereka bertakwa.”) (Al An’am: 51)
Karena itu, lalu mereka mau mengerjakan amal perbuatan di dunia ini, yang menyebabkan Allah menyelamatkan mereka pada hari kiamat nanti dari azab-Nya, dan Allah melipatgandakan pahala-Nya kepada mereka dengan lipat ganda yang banyak.
Firman Allah Swt.: wa laa tathrudil ladziina yad’uuna rabbaHum bil ghadaati wal ‘asyiyyi yuriiduuna wajHaHu (“Dari janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya.”) (Al An’am: 52)
Dengan kata lain, janganlah mengusir orang-orang yang menyandang predikat tersebut dari sisimu, melainkan jadikanlah mereka sebagai teman-teman dudukmu dan teman-teman dekatmu. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaanNya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Adapun firman Allah Swt.: yad’uuna rabbaHum (“orang-orang yang menyeru Tuhannya.”) (Al An’am: 52) Yakni menyembahNya dan memohon kepada-Nya.
Bil ghadaati wal ‘asyiyyi (“di pagi hari dan petang hari.”) (Al An’am: 52)
Menurut Sa’id ibnul Musayyab, Mujahid, dan Qatadah, makna yang dimaksud ialah salat fardu. Makna doa dalam ayat ini adalah seperti yang dianjurkan oleh firman-Nya:
“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu (serulah Aku), niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian.” (Al-Mumin: 60) Maksudnya, Aku menerima doa kalian.
Firman Allah Swt.: yuriiduuna wajHaHu (“sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya.”) (Al An’am: 52) Yakni dengan amalnya itu mereka menghendaki ridla Allah, mereka kerjakan semua ibadah dan amal ketaatan dengan hati yang ikhlas karena Allah.
Firman Allah Swt.: maa ‘alaika min hisaabiHim min syai-iw wamaa min hisaabika ‘alaiHim min syai-in (“Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu.”) (Al An’am: 52)
Seperti yang dikatakan oleh Nabi Nuh a.s. dalam menjawab ucapan orang-orang yang mengatakan, “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina ?”
“Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan? Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kalian menyadari.” (Asy-Syu’ara: 112-113)
Dengan kata lain, sesungguhnya perhitungan amal perbuatan mereka hanyalah kepada Allah Swt., dan aku tidak memikul tanggung jawab hisab mereka barang sedikitpun, sebagaimana mereka pun tidak bertanggung jawab sedikit pun terhadap perhitungan amal perbuatanku.
Firman Allah Swt.: fa tathrudaHum fatakuuna minadh dhaalimiin (“Yang menyebabkan kamu [berhak] mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim.”) (Al An’am: 52).
Yakni jika kamu melakukan hal tersebut, akibatnya adalah seperti itu.
Imam Ahmad mengatakan dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa ada segolongan pemuka Quraisy lewat di hadapan Rasulullah Saw. Pada saat itu di sisi beliau terdapat Khabbab, Suhaib, Bilal, dan Ammar. Lalu mereka (para pemuka Quraisy) berkata, “Hai Muhammad, apakah kamu rela menjadi teman orang-orang itu (yakni yang ada di sisi Nabi Saw.) ?” Maka turunlah ayat ini:
“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya.” (Al-An’am: 51) sampai dengan firman-Nya:
Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya) ?” (Al An’am: 53)
(Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir)
Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya) ?” (Al An’am: 53)
(Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir)
Firman Allah selanjutnya: kadzaalika fatannaa ba’dlaHum biba’dlin (“Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka [orang-orang kaya] dengan sebagian mereka [orang-orang miskin].”) maksudnya Kami mencoba dan menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain.
Liyaquuluu a Haa ulaa-i mannallaaHu ‘alaiHim mim baininaa (“Supaya [orang-orang kaya itu] berkata: ‘Orang macam inikah di antara kita yang di beri anugerah oleh Allah kepada mereka?’”)
Yang demikian itu adalah karena Rasulullah saw. pada awalnya diutus sebagai rasul, kebanyakan pengikutnya adalah kaum dluafa, budak laki-laki maupun perempuan, tidak ada orang-orang terpandang mengikutinya melainkan hanya sedikit.
Sebagaimana Heraklius, Raja Romawi bertanya kepada Abu Sufyan: “Apakah pengikutnya itu berasal dari kalangan orang-orang terhormat atau kaum dluafa?” Abu Sufyan menjawab: “Yang mengikutinya adalah kaum dluafa.” Kemudian Heraclius berkata: “Mereka itu adalah pengikut para Rasul.”
Maksudnya bahwa orang-orang musyrik Quraisy itu mencela orang-orang dluafa’ yang beriman bahkan menyiksa mereka yang sanggup mereka siksa. Orang-orang Quraisy itu berkata: “Apakah mereka itu orang-orang di antara kami yang mendapat anugerah dari Allah?” Artinya, tidak mungkin Allah akan menunjukkan mereka ke jalan kebaikan, jika sekiranya yang mereka ikuti itu baik, dan bersamaan dengan itu Allah membiarkan kami. Yang demikian itu sama dengan seperti ucapan mereka:
“Kalau sekiranya ia [al-Qur’an] adalah sesuatu yang baik, tentulah mereka tidak mendahului kami [beriman] kepadanya.” (al-Ahqaaf: 11)
Allah menjawab mereka ketika mereka berkata: a Haa ulaa-i mannallaaHu ‘alaiHim mim baininaa alaisallaaHu bi a’lama bisy syaakiriin (“‘Orang macam inikah di antara kita yang di beri anugerah oleh Allah kepada mereka?’ [Allah berfirman:] ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur kepada-Nya?”)
Maksudnya, bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya, baik melalui ucapan, perbuatan, maupun hati kecil mereka, sehingga Allah memberikan taufiq dan hidayah kepada mereka menuju jalan keselamatan serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya dengan seizin-Nya, dan Allah memberikan mereka petunjuk ke jalan yang lurus.
Dalam hadits shahih disebutkan, dimana Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk kalian dan tidak juga melihat warna kulit kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”
Firman-Nya: wa idzaa jaa-akal ladziina yu’minuuna bi aayaatinaa faqul salaamun ‘alaikum (“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: ‘Salaamun ‘alaikum.’”)
Maksudnya muliakanlah mereka dengan menjawab salam kepada mereka serta sampaikanlah kabar gembira dengan rahmat Allah yang sangat luas lagi sempurna. Oleh karena itu Allah berfirman:
Kataba rabbukum ‘alaa nafsiHir rahmata (“Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.”) maksudnya Allah telah mewajibkan rahmat atas diri-Nya yang Mahamulia, sebagai karunia, kebaikan, dan anugerah dari-Nya.
annaHuu man ‘amila min kum suu-am bijaHaalatin (“[yaitu] bahwasannya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan.”) sebagian ulama salaf mengatakan: “Setiap orang yang durhaka kepada Allah, maka ia adalah bodoh [jahil].”
Tsumma taaba mim ba’diHi wa ashlaha (“Kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan.”) yaitu menjauhi dan sekaligus melepaskan diri dari berbagai maksiat yang dulu ia kerjakan, serta berkemauan keras untuk tidak mengulanginya dan memperbaiki amal perbuatan pada masa-masa mendatang.
Fa annaHuu ghafuurur rahiim (“Maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”)
Imam Ahmad mengatakan: Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Setelah Allah menetapkan [menciptakan] makhluk, Allah menuliskan dalam sebuah kitab yang ada di sisi-Nya di atas ‘Arsy, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.’” (HR al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih keduanya).
EmoticonEmoticon