Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 100-102

Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 100-102“100. Katakanlah: ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.’ 101. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. 102. Sesungguhnya telah ada segolongsn manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (Al-Maaidah: 100-102)
Allah berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad saw.: Qul (“Katakanlah”) hai Muhammad: laa yastawil khabiitsu wath thayyibu wa lau a’jabaka (“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun menarik hatimu.”) hai sekalian manusia, kats-ratul khabiits (“Banyaknya yang buruk”) yakni bahwa sesuatu yang halal lagi bermanfaat dan berjumlah sedikit adalah lebih baik bagi kalian daripada hal yang haram lagi berbahaya yang berjumlah banyak.
Fat taqullaaHa yaa ulil albaab (“Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal”) maksudnya, hai orang-orang yang berakal yang sehat dan normal, hindari dan tinggalkanlah hal-hal yang haram, serta berpuas diri dari merasa cukuplah dengan hal-hal yang halal.
La’allakum tuflihuun (“Agar kamu mendapat keberuntungan”) yaitu di dunia dan di akhirat.
Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tas-aluu ‘an asy-yaa-a in tubda lakum tasu’kum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Muhammad] hal-hal yang tidak diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu.”) hal ini merupakan pendidikan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah melarang mereka menanyakan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka. karena jika hal itu diterangkan kepada mereka, mungkin akan menyusahkan mereka, dan menjadikan orang yang mendengarnya merasa keberatan.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: Nabi berkhutbah yang belum pernah aku mendengarnya sama sekali sebelumnya, beliau bersabda: “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”
Anas bin Malik melanjutkan: Maka para sahabat beliau menutupi wajah mereka seraya menangis. Kemudian ada seseorang yang bertanya: “Siapakah ayahku?” Beliau menjawab: “Si Fulan.” Maka turunlah ayat ini: laa yas-aluu ‘an asy-yaa-a (“Janganlah kamu menanyakan [kepada Nabi mu] hal-hal….”
(Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)
Mengenai firman-Nya: Yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tas-aluu ‘an asy-yaa-a in tubda lakum tasu’kum (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan [kepada Muhammad] hal-hal yang tidak diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu.”) Ibnu Jarir mengatakan dari Qatadah: Dia menceritakan kepada kami bahwa Anas bin Malik pernah mengabarkan kepadanya: Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw. sehingga mereka terlalu berlebihan dalam bertanya. Lalu pada suatu hari beliau menemui mereka, kemudian beliau menaiki mimbar seraya bersabda: “Tidaklah kalian bertanya kepadaku pada hari ini tentang sesuatu, melainkan aku akan menjelaskannya kepada kalian.”
Maka para sahabat Rasulullah saw merasa takut akan mendapatkan suatu perintah yang telah diturunkan. Lalu aku tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri melainkan aku melihat setiap orang menyembunyikan kepalanya di balik kainnya seraya menangis. Lalu muncullah seseorang, yang mana ia dicela dan diseru bukan dengan nama ayahnya, kemudian bertanya: “Wahai Nabiyullah [Nabi Allah], siapakah ayahku?” Beliau menjawab: “Ayahmu adalah Hudzaifah.”
Lebih lanjut Anas menceritakan, kemudian ‘Umar bangkit dan berkata: “Kami ridla Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul, dan berlindung kepada Allah –atau ia [‘Umar] mengucapkan: “Aku berlindung kepada Allah –dari keburukan fitnah.”
Selanjutnya Anas menuturkan: maka Rasulullah saw. bersabda: “Aku belum pernah sama sekali menyaksikan kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Telah digambarkan kepadaku surga dan neraka sampai aku dapat melihat keduanya tanpa dinding penghalang.”
(Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalan Sa’id)
Lahiriyah ayat di atas menunjukkan larangan menanyakan sesuatu, yang jika diberitahukan kepada seseorang hanya akan menjadikannya merasa kesusahan, maka yang lebih baik adalah menghindari dan meninggalkannya.
Sungguh amat baik hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat beliau: “Janganlah ada seseorang yang menyampaikan kepadaku sesuatu tentang orang lain. Aku lebih suka menemui kalian, sementara itu hatiku dalam keadaan bersih.” (hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Firman-Nya: wa in tas-aluu ‘anHaa hiina yunazzalul qur-aanu tubda lakum (“Dan jika kamu menanyakan pada waktu al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.”)
Maksudnya jika kalian menanyakan tentang sesuatu yang kalian telah dilarang untuk menanyakannya ketika diturunkan wahyu kepada Rasulullah saw, wahyu itu akan menjelaskan kepada kalian.
Kemudian Allah berfirman: ‘afallaaHu ‘anHaa (“Allah memaafkan [kamu] tentang hal-hal itu”) maksudnya hal-hal yang telah berlalu dari kalian sebelum itu. wallaaHu ghafuurun haliim (“Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”)
Ada yang menyatakan, bahwa maksud firman Allah: wa in tas-aluu ‘anHaa hiina yunazzalul qur-aanu tubda lakum (“Dan jika kamu menanyakan pada waktu al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.”) yaitu janganlah kalian menanyakan segala sesuatu yang kalian memang ingin menyegerakannya, karena mungkin dengan pertanyaan itu akan turun kepada kalian keberatan dan kesempitan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Orang Muslim yang paling besar kesalahannya adalah orang yang menanyakan tentang sesuatu yang tidak diharamkan sebelumnya, lalu menjadi haram serbab pertanyaannya tersebut.” (Muttafaq ‘alaiHi)
Tetapi jika al-Qur’an menurunkan perkara itu secara global lalu kalian menanyakan penjelasannya, pada saat itu akan dijelaskan kepada kalian. Karena kalian memang membutuhkannya.
‘afallaaHu ‘anHaa (“Allah memaafkan [kamu] tentang hal-hal itu.”) maksudnya apa-apa yang tidak Allah sebutkan di dalam kitab-Nya, adalah dari sesuatu yang Allah maafkan. Maka diamlah kalian darinya, sebagaimana Allah diam.
Disebutkan dalam hadits shahih dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian bertanya kepadaku mengenai apa yang aku diamkan pada kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian, karena mereka banyak bertanya dan menyalahi Nabi-Nabi mereka.”
Dalam hadits shahih juga disebutkan: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Allah juga menetapkan beberapa batasan maka janganlah kalian melampauinya. Allah juga mengharamkan beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Allah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakannya.”
Setelah itu firman Allah: qad sa-alaHaa qaumum min qablikum tsumma ash-bahuu biHaa kaafiriin (“Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu, menanyakan hal-hal yang serupa itu [kepada Nabi mereka], kemudian mereka tidak percaya kepadanya.”)
Maksudnya: ada suatu kaum sebelum kalian yang menanyakan hal-hal yang dilarang, lalu diberikan jawaban kepada mereka atas pertanyaan tersebut, tetapi setelah itu mereka tidak mempercayainya. Sehingga dengan demikian mereka menjadi kafir, yaitu sebab pertanyaan tersebut. Maksudnya, mereka diberi penjelasan, tetapi mereka tidak memanfaatkan hal itu karena mereka menanyakan hal itu bukan untuk mencari petunjuk, tetapi hanya sebagai bentuk keingkaran dan pembangkangan.


EmoticonEmoticon