“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (QS. an-Nisaa’: 102)
Shalat khauf mempunyai banyak cara (macam). Terkadang musuh berada di arah kiblat dan terkadang berada bukan di arah kiblat. Shalatnya terkadang empat rakaat, terkadang tiga rakaat seperti Maghrib dan terkadang dua seperti Shubuh dan shalat safar. Terkadang mereka shalat berjama’ah dan terkadang perang sedang berkecamuk, sehingga mereka tidak sanggup berjama’ah, bahkan shalat sendiri-sendiri menghadap kiblat atau tidak, serta berjalan atau naik kendaraan dan pada keadaan seperti (perang), mereka boleh berjalan, keadaan ini sambil memukul dengan berturut-turut dalam keadaan shalat.
Sebagian ulama ada yang berkata bahwa dalam keadaan demikian mereka shalat hanya satu rakaat, berdasarkan hadits Ibnu `Abbas yang lalu. Itulah pendapat Ahmad bin Hanbal. Ada pula yang membolehkan menta’khirkan shalat karena udzur peperangan dan pertempuran, sebagaimana Nabi mengakhirkan shalat Zhuhur dan `Ashar pada perang Ahzab, di mana beliau shalat setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu, shalat Maghrib dan `Isya. Sebagaimana perkataan beliau sesudahnya (sesudah perang Ahzab), pada perang Bani Quraizhah ketika tentara dipersiapkan: “Kalian tidak boleh shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Lalu mereka mendapatkan waktu shalat di tengah jalan. Sebagian orang berpandangan, “Rasulullah tidak menghendaki dari kita kecuali agar kita mempercepat perjalanan, dan tidak bermaksud agar kita mengakhirkan shalat dari waktunya. Maka mereka shalat pada waktunya dijalan.” Sedangkan yang lain melaksanakan shalat `Ashar di Bani Quraizhah setelah tenggelam.” Rasulullah tidak mencela seorang pun di antara dua kelompok itu.
Kami telah membicarakan hal ini di dalam kitab Sirah dan telah pula kami jelaskan bahwa orang-orang yang shalat `Ashar pada waktunya lebih mendekati kebenaran, sekalipun pendapat yang lain dimaafkan pula. Hujjah (Mereka) dalam hal ini, dalam udzur mereka menta’khirkan shalat, adalah karena jihad dan penyegeraan (mereka) dalam mengepung orang-orang yang melanggar perjanjian terhadap sekelompok orang-orang Yahudi yang terkutuk. Sedangkan Jumhur berkata: “Semua ini dinasakh dengan shalat khauf, karena waktu itu shalat khauf belum turun. Maka ketika ia turun, berarti menasakh ta’khir shalat. Pendapat ini lebih jelas pada hadits Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dan Ahlus Sunan.
Wa idzaa kunta fiiHim fa aqamta laHumush shalaata (“Dan apabila kamu berada ditengah mereka, lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.”) Yaitu engkau shalat bersama mereka menjadi imam dalam shalat khauf. Keadaan (qashar yang dikemukakan) ini berbeda dengan keadaan pertama. Karena pada keadaan yang pertama shalat diqashar hingga satu rakaat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits (sendiri-sendiri, berjalan kaki dan berkendaraan, menghadap kiblat dan tidak menghadap kiblat).
Kemudian, Dia menyebutkan situasi berjama’ah dan bermakmum dengan satu imam. Alangkah baiknya pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang yang berpendapat wajibnya shalat berjama’ah dengan ayat yang mulia ini, di mana banyak perbuatan yang diringankan karena berjama’ah. Seandainya shalat berjama’ah itu bukan kewajiban, niscaya tidak mungkin dibolehkan hal itu. Sedangkan orang yang mengambil dalil dengan ayat ini bahwa shalat khauf dinasakh setelah (wafatnya) Rasulullah saw. karena berdasarkan firman-Nya: wa idzaa kunta fiiHim (“Apabila kamu berada di tengah-tengah mereka”) sehingga setelah beliau tidak ada, maka cara seperti ini hilang.
Sesungguhnya, penyimpulan seperti ini merupakan cara pengambilan dalil yang lemah. Tertolaknya pendapat ini sama dengan tertolaknya pendapat orang yang enggan berzakat, di mana ia berdalil dengan firman-Nya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka, sesungguhnya do’a mu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103).
Mereka mengatakan bahwa kita tidak perlu membayar zakat kepada seorangpun setelah Nabi saw. wafat. Akan tetapi kita langsung mengeluarkannya kepada orang yang kita pandang do’anya menenteramkan kita. Dalam hal ini, para Sahabat menolak pendapat mereka dan menolak cara pendalilan mereka, serta memaksa mereka untuk membayar zakat dan memerangi orang yang enggan membayarnya diantara mereka.
Pertama-tama kita akan menceritakan sebab turunnya ayat yang mulia ini, sebelum menceritakan cara-caranya. Dari Abu `Iyasy az-Zarqa ia berkata: “Dahulu kami bersama Rasulullah saw. di `Asfan, di saat kaum musyrikin pimpinan Khalid bin al-Walid berhadapan dengan kami. Sedangkan mereka berada di arah kiblat, lalu Nabi saw. shalat Zhuhur bersama kami. Mereka berkata: `Sesungguhnya mereka dalam keadaan dimana seandainya kita bisa mendapatkan kesempatan lengah mereka. Kemudian mereka berkata: `Sekarang telah datang waktu shalat yang mereka lebih cintai dibandingkan anak-anak dan jiwa mereka’. Maka Jibril turun membawa ayat-ayat ini antara Zhuhur dan `Ashar: wa idzaa kunta fiiHim (“Apabila kamu berada ditengah-tengah mereka.”) Maka waktunya tiba, dan Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk mengambil senjata, lalu kami membuat dua shaf di belakang beliau. Kemudian beliau ruku’ dan kami pun ruku’ seluruhnya, lalu beliau bangkit dan kami pun bangkit seluruhnya. Kemudian Nabi sujud dengan shaf yang pertama, sedangkan shaf kedua berdiri menjaga mereka. Ketika shaf pertama selesai sujud dan berdiri, maka shaf kedua sujud menempati shaf pertama, kemudian setelah itu mereka menempati kembali shaf masing-masing, lalu beliau ruku’ bersama mereka seluruhnya. Kemudian beliau bangkit dan mereka bangkit seluruhnya, lalu di saat Nabi saw. sujud dan (diikuti) shaf yang pertama, maka shaf kedua berdiri menjaga mereka. Di saat mereka duduk, maka shaf kedua duduk, lalu sujud. Kemudian beliau salam, lalu pergi. Nabi saw. melaksanakan hal tersebut dua kali. Satu kali di `Asfan dan satu kali di tempat Bani Sulaim.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan an-Nasa’idari hadits Syu’bah dan `Abdul `Aziz bin `Abdush shamad, isnad hadits ini shahih dan memiliki banyak saksi.
Di antaranya adalah riwayat al-Bukhari, dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Nabi berdiri dan diiringi oleh para Sahabat. Di saat beliau takbir, merekapun takbir. Di saat beliau ruku’, sebagian di antara mereka rukuk, kemudian beliau sujud dan mereka sujud. Lalu beliau berdiri untuk raka’at kedua, maka jama’ah yang pertama sujud tadi bangun menjaga saudara-saudara mereka. Lalu datanglah bagian yang lain, lalu mereka ruku’ dan sujud bersama beliau. Semua orang berada dalam shalat, akan tetapi sebagian mereka menjaga sebagian lainnya.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sulaiman bin Qais al-Yasykuri bahwa dia bertanya kepada Jabir bin `Abdillah tentang qashar shalat, pada hari apakah hal itu diturunkan atau hari apakah itu? Jabir berkata: “Kami bertolak untuk menghadang satu kafilah Quraisy yang datang dari Syam. Hingga setibanya kami di Nikhlah, seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata: ‘Hai Muhammad, apakah engkau takut padaku?’ Beliau menjawab: `Tidak.’ Dia berkata: `Siapakah yang dapat menghalangimu dariku?’ Beliau menjawab: ‘Allah yang melindungiku darimu.’ Lalu beliau menghunus pedangnya laki-laki itu digertak dan diancam, lalu beliau menyuruh kami berangkaat dan beliau sudah mengambil senjata. Kemudian diserukan panggilan shalat. Maka Rasulullah saw. shalat dengan satu kelompok, sedangkan kelompok lain menjaga mereka. Beliau saw. shalat dengan kelompok pertama dua rakaat. Kemudian kelompok pertama mundur ke belakang untuk berjaga, lalu datang kelompok yang sebelumnya dan berjaga, maka beliau shalat bersama mereka dua rakaat. Sedangkan kelompok yang lain berjaga. Kemudian beliau salam. Nabi shalat empat rakaat. Sedangkan kelompok tadi masing-masing dua rakaat. Pada waktu itulah Allah menurunkan ayat tentang qashar shalat dan memerintahkan kaum mukminm untuk membawa senjata.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin `Abdillah, bahwa Rasulullah saw. melaksanakan shalat khauf bersama para Sahabat. Dalam hal ini, ada yang berada di depan beliau dan ada shaf yang di belakang beliau. Beliau shalat ma shaf yang di belakang satu rakaat dan dua sujud. Kemudian shaf belakang maju menempati shaf depan yang belum shalat. Sedangkan shaf depan mundur untuk shalat bersama Rasulullah satu rakaat dan dua sujud kemudian beliau salam. Maka Nabi shalat dua rakaat, sedangkan mereka masing-masing satu raka’at.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh an-Nasai. Hadits ini memiliki banyak jalan dari Jabir, dan terdapat dalam kitab Shahih Muslim melalui sanad yang lain, dengan lafazh yang lain pula. Banyak ahli hadits yang meriwayatkan dari Jabir dalam kitab-kitab Shahih Sunan, dan Shahih Musnad.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Salim, dari bapaknya, ia berkata: wa idzaa kunta fiiHim fa aqamta Humush shalaata (“jika engkau berada bersama mereka, lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama mereka”) yaitu shalat khauf. Dan Rasulullah shalat dengan salah satu dari dua kelompok satu rakaat dan kelompok lain menghadapi musuh. Kemudian kelompok yang berhadapan dengan musuh itu shalat bersama Rasullullah satu rakaat, kemudian beliau salam bersama mereka. Kemudian setiap kelompok berdiri shalat satu rakaat, satu rakaat.
Hadits ini diriwayatkan oleh jama’ah dalam kitab-kitab mereka dari jalan Ma’mar. Hadits ini memiliki banyak jalan dari banyak Sahabat.
Sedangkan perintah membawa senjata di waktu shalat khauf, menurut sekelompok para ulama adalah wajib berdasarkan zhahir ayat. Hal itu adalah salah satu pendapat dari Imam asy-Syafi’i. Hal tersebut ditunjukkan oleh firman Allah: walaa junaaha ‘alaikum in kaana bikum adzam mim matharin au kuntum mardlaa an tadla’uu aslihatakum wa khudzuu hidz-rakum (“Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatarnu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu.”) Di mana saja kalian berada, hendaklah selalu siap siaga. Jika kalian membutuhkannya, kalian dapat langsung memakainya tanpa kesulitan.
innallaaHa a-‘adda lil kaafiriina ‘adzaabam muHiinan (“Sesungguhnya Allah telah menyediakan adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”)
EmoticonEmoticon