Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 278-281

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 278-281
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 278) Makajika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah: 279) Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 280) Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. Al-Baqarah: 281)
Allah berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa kepada-Nya sekaligus melarang mereka mengerjakan hal-hal yang dapat mendekatkan kepada kemurkaan-Nya dan menjauhkan dari keridhaan-Nya, di mana Dia berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanut taqullaaHa (“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.”) Maksudnya, takutlah kalian kepada-Nya dan berhati-hatilah, karena Dia senantiasa mengawasi segala sesuatu yang kalian perbuat.
Wa dzaruu maa baqiya minar ribaa (“Dan tinggalkan sisa riba [yang belum dipungut].”) Artinya, tinggalkanlah harta kalian yang merupakan kelebihan dari-pokok yang harus dibayar orang lain, setelah datangnya peringatan ini.
In kuntum mu’miniin (“Jika kalian orang-orang yang beriman.”) Yaitu, beriman kepada syariat Allah, yang telah ditetapkan kepada kalian, berupa penghalalan jual beli, pengharaman riba, dan lain sebagainya.
Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, Muqatil bin Hayan dan as-Suddi menyebutkan bahwa redaksi ayat ini diturunkan berkenaan dengan Bani ‘Amr bin Umair dari suku Tsaqif, dan Bani Mughirah dari Bani Makhzum. Di antara mereka telah terjadi praktek riba pada masa jahiliyah. Setelah Islam dating dan mereka memeluknya, suku Tsaqif meminta untuk mengambil harta riba itu dari mereka. Kemudian mereka pun bermusyawarah, dan Bani Mughirah pun berkata: “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan menggantikannya dengan usaha yang disyariatkan. Kemudian Utab bin Usaid, pemimpin Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan mengirimkannya kepada Rasulullah saw. Maka turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah membalas Surat Utab dengan surat yang berisi: yaa ayyuHal ladziina aamanut taqullaaHa Wa dzaruu maa baqiya minar ribaa In kuntum mu’miniin fa illam taf’aluu fa’dzanuu biharbim minallaaHi wa rasuuliHi (“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba [yang belum dipungut] jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan [meninggalkan sisa riba] maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”)
Maka mereka pun mengatakan, “Kami bertaubat kepada Allah Ta’ala dan kami tinggalkan sisa riba yang belum kami pungut.” Dan mereka semua pun akhirnya meninggalkannya.
Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas bagi orang yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan tersebut.
Ibnu Juraij mencentakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwasanya ayat: fa illam taf’aluu fa’dzanuu biharbim minallaaHi wa rasuuliHi (“Maka jika kalian tidak mengerjakan [meninggalkan riba], maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”) Maksudnya ialah, yakinilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.
Sedangkan menurut All bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, mengenai finnan Allah: fa illam taf’aluu fa’dzanuu biharbim minallaaHi wa rasuuliHi (“Maka jika kalian tidak mengerjakan [meninggalkan riba], maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”) Maksudnya, barangsiapa yang masih tetap melakukan praktek riba dan tidak melepaskan diri darinya, maka wajib atas imam kaum muslimin untuk memintanya bertaubat, jika ia mau melepaskan diri darinya, maka keselamatan baginya, dan jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya.
Setelah itu Allah swt. berfirman: wa in tubtum falakum ru-uusu amwaalikum laa tadhlimuuna walaa tudhlimuun (“Dan jika kalian bertobat [dari pengambilan riba], maka bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak [pula] dianiaya.”) Maksudnya, kalian tidak berbuat zhalim dengan mengambil pokok harta itu: walaa tudhlamuun; (“Dan tidak pula dianiaya.”) Maksudnya, karena pokok harta kalian dikembalikan tanpa tambahan atau pengurangan (yaitu: memperoleh kembali pokok harta).
Ibnu Mardawaih meriwayatkan, Imam asy-Syafi’i memberitahu kami, dari Sulaiman bin `Amr, dari ayahnya, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap riba dari riba jahiliyah itu sudah dihapuskan. Maka bagi kalian pokok harta [modal] kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Dia berfirman: wa in kaana dzuu ‘usratin fanadhiratun ilaa maisaratin wa an tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’lamuun (“Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan [sebagian atau semua utang] itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”)
Allah memerintahkan agar bersabar jika orang yang meminjam dalam kesulitan membayar hutang, yang tidak memperoleh apa yang untuk membayar. Tidak seperti yang terjadi di kalangan orang-orang Jahiliyah. Di mana salah seorang di antara mereka mengatakan kepada peminjam, Jika sudah jatuh tempo: “Dibayar atau ditambahkan pada bunganya.”
Selanjutnya Allah swt. menganjurkan untuk menghapuskannya saja. Dan Dia menyediakan kebaikan dan pahala yang melimpah atas hal itu. Maka Dia pun berfirman: wa an tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’lamuun (“Dan menyedekahkan [sebagian atau semua utang] itu lebib baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.”) Artinya, hendaklah kalian meninggalkan pokok harta (modal) secara keseluruhan dan membebaskannya dari si peminjam.
Dan mengenai hal tersebut telah banyak hadits yang diriwayatkan melalui beberapa jalan yang berbedabeda dari Nabi Bahwasanya Abu Qatadah pernah mempunyai piutang kepada seseorang, lalu ia mendatanginya untuk menagihnya, namun orang itu bersembunyi darinya. Pada suatu hari ia datang kembali, kemudian keluarlah seorang anak, lalu Abu Qatadah bertanya kepada anak tersebut mengenai keberadaan orang itu, dan si anak itu menjawab: “Ya, ia berada di rumah.” Maka Abu Qatadah pun memanggilnya seraya berucap: “Hai Fulan, keluarlah, aku tahu bahwa engkau berada di dalam.” Maka orang itu pun keluar menemuinya. Dan Abu Qatadah bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau bersembunyi dariku?” Orang itu menjawab: “Sesungguhnya aku benar-benar dalam kesulitan, dan aku tidak mempunyai sesuatu apa pun.” “Ya Allah, apakah engkau benar-benar dalam kesulitan?” tanya Abu Qatadah. “Ya,” jawabnya. Maka Abu Qatadah pun menangis, lalu menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa memberi kelonggaran kepada peminjam -atau menghapuskannya-, maka ia berada dalam naungan `Arsy pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim).
Ada juga hadits lain diriwayatkan al-Hafizh Abu Ya’la al-Mushili, dari Hudzaifah bin al-Yaman, ia menceritakan, Rasulullah pernah bersabda: “Allah mendatangi salah seorang hamba-Nya pada hari kiamat kelak. Dia bertanya, ‘Apa yang telah engkau kerjakan di dunia untuk-Ku?’ la menjawab, ‘Aku tidak mengerjakan sesuatu apa pun untuk-Mu, ya Rabbku, meski hanya sebesar biji atom pun di dunia, yang dengannya aku berharap kepada-Mu.’ Dia ucapkan hal itu tiga kali. Dan pada kalimat terakhirnya hamba itu pun berucap, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya Engkau telah memberikan kepadaku kelebihan harta, dan aku adalah seorang yang berdagang dengan orang-orang. Di antara tabiatku adalah mempermudah urusan. Maka aku berikan kemudahan kepada orang yang dalam kemudahan dan memberi tangguh kepada orang yang dalam kesulitan.’ Setelah itu Allah swt berfirman, ‘Aku lebih berhak memberikan kemudahan itu, masuklah ke dalam surga.’
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah.
Selanjutnya Allah menasehati dan mengingatkan hamba-hamba-Nya akan kefanaan dunia dan musnahnya semua harta kekayaan dan segala yang ada di muka bumi. Untuk kemudian datang alam akhirat dan semua makhluk kembali kepada-Nya, dan Allah Ta’ala menghisab semua yang pernah mereka lakukan, serta memberikan pahala sesuai dengan perbuatan mereka, yang baik maupun yang buruk. Dan Allah swt mengingatkan mereka akan siksaan-Nya, dengan berfirman: wattaquu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa Hum laa yudhlamuun (“Dan peliharalah dirimu dari [adzab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”
Ada yang meriwayatkan bahwa ayat ini merupakan ayat al-Qur’an yang terakhir turun. Ibnu Lahi’ah meriwayatkan dari Atha’ bin Dinar, dari Sa’id bin Jubair, ia mengatakan, ayat al-Qur’an yang terakhir turun adalah firman Allah swt: wattaquu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa Hum laa yudhlamuun (“Dan peliharalah dirimu dari [adzab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”
Dan Rasulullah masih sempat hidup selama sembilan hari setelah turunnya ayat ini, kemudian beliau meninggal dunia pada hari Senin tanggal 2 bulan Rabi’ul Awwal. Demikian diriwayatkan Ibnu Abi Hatim.
Dan juga diriwayatkan Ibnu Mardawih, dari Ibnu Abbas, katanya, ayat yang terakhir kali turun adalah firman Allah: wattaquu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi. Atsar ini diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i, dari Abdullah bin Abbas. Demikian juga telah diriwayatkan oleh adh-Dhahhak, al-Aufi, dari Ibnu Abbas.


EmoticonEmoticon