Hadits Arbain ke 42: Luasnya Pengampunan Allah

Hadits Arbain nomor 42 (Keempat puluh dua)Anas ra. berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersaba, Allah swt berfirman: “Hai anak Adam, selama kalian mau berdoa dan berharap kepada-Ku, pasti Kuampuni dosa yang pernah kalian lakukan, dan Aku tidak peduli. Hai anak Adam, seandainya dosa kalian membumbung setinggi langit lalu kalian memohon ampun kepada-Ku, pasti Ku-ampuni. Hai anak Adam, seandainya kalian datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, asalkan tidak menyekutukan Aku, pasti Aku mendatangimu dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula.” (HR Tirmidzi, dia berkata: hadits ini hasan shahih)
URGENSI HADITS
Hadits ini hadits yang penuh dengan pengharapan-pengharapan. Ia menjelaskan luasnya ampunan Allah swt. Dengan begitu para hamba tidak putus asa dengan dosa yang telah mereka perbuat. Walaupun demikian, kita tidak boleh terlena dalam dosa. Karena dikhawatirkan bisa terlelap dalam dosa dan terhalang untuk bertobat.
KANDUNGAN HADITS
1. Sebab-sebab datangnya ampunan
a. Doa dengan diiringi harapan agar dikabulkan.
Kita diperintahkan untuk berdoa, bahkan dijanjikan akan dikabulkan. Allah swt. berfirman: “Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.’” (Ghafir: 60)
Nu’man bin Bisyir ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya doa adalah ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat, “Dan Rabbmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku…” (HR Tirmidzi dan lainnya)
Allah swt tidak tidak mempersilakan hambanya untuk berdoa dengan khusyuk melainkan Dia menjanjikan akan mengabulkannya.
Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang diberi peluang untuk berdoa, tentu diberi peluang untuk dikabulkan. Karena Allah swt. berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan bagi kalian.” Rasulullah saw. juga bersabda, “Tidak mungkin Allah membuka pintu doa bagi hamba-Nya, lantas menutup pintu dikabulkannya doa tersebut.”
b. Syarat dikabulkannya doa.
– Konsentrasi dan penuh harap.
Salah satu penyebab terpenting dikabulkannya doa adalah kehadiran hati dan harapan akan dikabulkannya doa tersebut. Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Berdoalah kepada Allah dengan harapan akan dikabulkan. Karena Allah tidak akan menerima doa dari hati yang lalai dan kosong dari harapan.” (HR Tirmidzi)
Abdullah Ibnu Umar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya hati itu bagaikan bejana. Sebagiannya lebih luas dari sebagian yang lainnya. Jika kalian meminta kepada Allah, maka mintalah dengan penuh harap bahwa doa itu akan dikabulkan. Karena Allah tidak akan mengabulkan doa seseorang dari hatinya yang lalai.” (HR Ahmad)
Di antara tanda pengharapan adalah ketaatan yang sungguh-sungguh. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka mengharapkan rahmat Allah.” (al-Baqarah: 218)
– Penuh keyakinan
Artinya, dalam berdoa, seseorang harus yakin dan tidak boleh menampakkan keraguan, baik dalam hati maupun ucapannya. Rasulullah saw. melarang seseorang berdoa dengan mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau berkenan. Ya Allah, rahmatilah aku jika Engkau berkenan.” Akan tetapi dalam berdoa harus dengan perasaan yakin. Karena Allah swt akan berbuat apa saja tanpa ada yang memaksa.” (HR Muslim).
– Bersungguh-sungguh
Allah swt. senang terhadap hamba-Nya yang menampakkan kesungguhan ibadah dan mengungkapkan segala kebutuhannya kepada-Nya. dengan harapan Allah akan memenuhi permintaannya.
Selama seorang hamba bersungguh-sungguh dan benar-benar mengharap untuk dikabulkan, berarti ia telah mendekati untuk dikabulkan. Perlu diingat bahwa orang yang “mengetuk” pintu, besar kemungkinan akan dibukakan “pintu”
Allah swt.. berfirman: “Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf: 56)
Anas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jangan lelah untuk berdoa, karena tidak ada orang yang mati karena berdoa.” (HR Hakim)
Rasulullah juga bersabda: “Barangsiapa yang tidak mau berdoa kepada Allah, niscaya Allah marah kepadanya.” (HR Ibnu Majah)
Seorang shahabat menyebutkan bahwa jika seorang hamba berdoa kepada Tuhannya, dan Allah menyukainya, Allah swt berfirman: “Hai Jibril, jangan terburu-buru mengabulkan doa hamba-Ku ini. Aku masih senang mendengar suaranya.”
– Tidak terburu-buru
Rasulullah saw. melarang seorang mukmin meninggalkan doa karena doanya belum juga dikabulkan. Bahkan Rasulullah saw. menganggapnya, sebagai faktor tidak dikabulkannya doa.
Karena itu, seseorang dituntut untuk senantiasa berdoa dan agar tidak putus harapannya kepada Allah swt. Rasulullah saw. bersabda: “Akan dikabulkan doa seseorang, selama ia tidak terburu-buru minta dikabulkan doanya, hingga mengatakan, ‘Saya telah berdoa kepada Tuhanku namun belum juga dikabulkan.’”(Muttafaq ‘alaiHi)
– Rezeki yang halal.
Di antara faktor terpenting dikabulkanny adoa adalah rizky yang halal. Sebaliknya, di antara faktor tidak dikabulkannya doa adalah ketidakpedulian seseorang dengan rizkynya, apakah halal ataukah haram. Inilah yang telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Seorang laki-laki yang mengulurkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, “Ya Allah, ya Allah.” Sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram. Ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan.” (HR Muslim dan yang lain)
Dalam hadits yang lain beliu bersabda: “Hai Sa’ad, makanlah dari makanan yang baik (halal) niscaya doamu akan selalu dikabulkan.” (HR Tabrani)
2. Memohon ampun.
Hal terpenting yang dimohonkan seseorang dalam doanya adalah memohon ampun dari segala dosa, dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Rasulullah saw. bersabda: “Kami selalu memohon untuk dimasukkan ke dalam surga, dan dijauhkan dari neraka.”
Abu Muslim al-Khlulani berkata: “Setiap kali disebutkan nama neraka, aku selalumemohon kepada Allah untuk dijauhkan darinya.
3. Kadang-kadang permohonan seorang hamba Dialihkan kepada yang lebih baik
Allah Dzat yang Maha Pengasih. Ketika hamba-hamba-Nya meminta, Dia mengabulkan permintaannya atau menggantinya dengan yang lebih baik dari apa yang diminta, seperti dijauhkannya keburukan darinya, menjadi simpanan di akhirat, atau dihapuskan dosa-dosanya.
Jabir ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang berdoa, kecuali Allah mengabulkan doanya atau menjauhkannya dari keburukan yang sebanding dengan yang diminta. Selama ia tidak meminta suatu dosa atau memutuskan silaturahim.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Abu Sa’id berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang muslim berdoa dengan suatu doa, yang tidak mengindikasikan suatu dosa atau pemutusan suatu hubungan silaturahim, kecuali Allah akan memberikan kepadanya satu di antara tiga. Segera dikabulkan doanya, atau sebagai simpanan baginya di akhirat dan bisa jadi ia akan dibebaskan dari kesulitan lain yang setara dengan yang diminta.” (HR al-Hakim)
4. Adab-adab berdoa
a. Memilih waktu yang memiliki keutamaan
b. Didahului dengan berwudlu dan shalat
c. Memohon ampunan
d. Menghadap kiblat
e. Mengangkat kedua tangan
f. Membuka doa dengan pujian kepada Allah dan shalawat Nabi
g. Mengucap shalawat Nabi di tengah dan di akhir doa
h. Menutup doa dengan ucapan amin
i. Berdoa dengan bentuk yang umum (tidak hanya untuk dirinya sendiri)
j. Berbaik sangka kepada Allah dan berharap untuk dikabulkan
k. Mengakui semua dosa
l. Merendahkan suara
5. Meminta ampun, betapapun besar dosa yang dilakukan
Sebesar apapun dosa seorang hamba, ampunan Allah swt. tetap lebih luas dan besar dari dosa tersebut.
Jabir ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Betapa besarnya dosaku.” Ucapan itu diulanginya hingga tiga kali. Rasulullah saw. lalu bersabda kepadanya, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah sesungguhnya ampunan-Mu lebih luas daripada dosa-dosaku dan rahmat-Mu sungguh aku harapkan.’” Laki-laki itu mengucapkannya, Rasulullah saw. berkata, “Ulangi.” Ia mengulanginya. Sekali lagi Rasulullah saw. berkata, “Ulangi.” Ia pun mengulanginya lagi. Setelah itu Rasulullah saw. bersabda, “Berdirilah, Allah telah mengampuni dosamu.” (HR al-Hakim)
6. Istighfar di dalam al-Qur’an
Banyak ayat di dalam al-Qur’an yang berbicara tentang istighfar. Kadang-kadang berbentuk perintah.
“Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Muzzammil: 20)
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.” (Huud: 3)
Kadang-kadang berbentuk pujian terhadap orang-orang yang senantiasa beristighfar.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka ingat akan Allah. Lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imraan: 135)
Kadang-kadang disebutkan bahwa Allah swt. akan mengampuni orang yang meminta ampun.
“Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisaa’: 110)
Semua itu adalah bukti bahwa istigfar adalah sesuatu yang penting. Ia adalah kunci keselamatan seorang hamba. Karena manusia tidak luput dari dosa, disengaja atau tidak.
7. Taubat dan istighfar
Istighfar dan taubat sering disebut beriringan. Misalnya dalam ayat, “Mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-Maaidah: 74)
“Dan hendaklah engkau meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepad-Nya.” (Huud: 3) dan dalam ayat lainnya.
Ketika istighfar dan taubat disebut secara beriringan, dalam satu ayat seperti dalam dua ayat di atas, maka istighfar lebih dimaksudkan pada permohonan ampun, sedangkan taubat lebih pada meninggalkan sebuah dosa dan tidak akan mengulanginya.
Namun kadang-kadang istighfar itu disebut tanpa diiringi oleh taubat. Misalnya dalam ayat, “Musa mendoa, ‘Ya Rabbaku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendir karena itu ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Qashash: 16)
“Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Muzzammil: 20) dan dalam ayat-ayat lain.
Dalam kondisi ini, istighfar mempunyai pengertian: melakukan taubat yang benar, dengan menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukan, menghentikan kemaksiatan secepatnya, tidak akan mengulangi lagi, mengqadla’ amal yang ditinggalkan, dan mengembalikan hak orang lain yang didhalimi atau meminta maaf. Karena ampunan hanya akan diberikan kepada orang yang menghentikan kemaksiatan dan memperbaiki perilakunya.
“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Maaidah: 39)
8. Meminta ampun, namun tetap melakukan dosa.
Ampunan hanya akan diberikan kepada orang yang memohon ampunan dan menghentikan perbuatan maksiat yang dilakukan.
Abu Bakar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak mengulangi dosanya lagi, orang yang meminta ampun. Meskipun ia mengulanginya tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR Abu Dawud)
Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba berbuat dosa. Lalu Ia berdoa, “Tuhan, aku telah melakukan dosa. Ampunilah aku.” Allah berfirmman, “Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa. Aku ampuni dosa hamba-Ku.” Setelah beberapa waktu hamba itu berbuat dosa lagi.. (kejadian di bagian awal hadits pun terulang kembali dua kali).” (HR Bukhari dan Muslim) dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa pada kali ketiga, Allah berfirman, “Aku telah mengampuni hamba-Ku. Maka berbuatlah sesukanya.”
Bisa dipahami bahwa istighfar yang akan dikabulkan adalah yang diiringi dengan tidak mengulangi lagi dosa yang telah diperbuat. Itulah yang disebut dengan taubatan nashuha.
Sedangkan orang-orang yang beristigfar dengan lisannya, namun hatinya masih berbuat dosa, maka sikap seperti ini hanyalah sebatas doa. Jika Allah swt. berkehendak maka akan diampuni, jika tidak maka jangan harap.
Namun demikian, ada harapan diampuni. Apalagi jika doa tersebut dilantunkan dengan penyesalan, atau pada waktu-waktu yang dikabulkan.
Tidak berhenti dari melakukan dosa bisa menjadi penghalang datangnya ampunan. Ibnu Umar ra. berkata, “Celakalah orang-orang yang tetap melakukan dosa, padahal mereka mengetahui.” (HR Ahmad).
Ibnu ‘Abbas ra. berkata,”Orang yang bertaubat dari dosa, bagaikan orang yang tidak memiliki dosa. Sedangkan orang yang meminta ampun namun masih tetap dengan kemaksiatannya, maka ia bagaikan mengejek Allah.” (HR Ibnu Abud Dunya)
Abu Hudzaifah ra. berkata, “Sebuah kebohongan, seseorang yang berkata, “Aku minta ampun kepada Allah.” Lalu ia tetap mengulangi perbuatan maksiatnya.”
9. Taubatnya orang yang berdusta.
Siapapun yang mengucapkan, “Saya mohon ampun dan bertaubat kepada Allah.” Namun hatinya masih tetap melakukan kemaksiatan, maka ia telah berbohong dan mendapat dosa. Karena pada hakekatnya ia tidak berdosa, tetapi mengaku telah bertobat. Semestinya ia berkata, “Ya Allah, aku meminta ampun kepada-Mu. Maka ampunilah aku.”
Orang-orang seperti ini ibarat mereka yang ingin menuai padi namun tidak pernah menanam, ingin punya anak akan tetapi belum menikah.
10. Taubat dan janji
Jumhur ulama membolehkan seseorang yang bertaubat untuk mengucapkan, “Saya bertaubat kepada Allah dan saya berjanji kepada Allah untuk tidak mengulanginya.” Karena dalam melaksanakan taubat seseorang diwajibkan untuk bertekad tidak mengulangi kemaksiatan yang telah dilakukan.
11. Memperbanyak istighfar
Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. berkata, “Demi Allah, sungguh aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan bahwa Luqman al-Hakim berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, biasakanlah lidahmu dengan ucapan, “Ya Allah, ampunilah aku.” Karena sewaktu-waktu tertentu, Allah tidak menolak permintaan hamba-Nya.”
Hasan al-Bashri berkata, “Perbanyaklah istighfar, di rumah, meja makan, jalanan, pasar, tempat berkumpul, dan di mana saja, karena kalian tidak tahu kapan ampunan akan datang.”
12. Sayidul istighfar
Dianjurkan untuk tidak hanya mengucapkan, “Aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah.”
Diriwayatkan bahwa Umar ra. pernah mendengar seorang laki-laki berkata, “Aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah.” Lalu Umar berkata, “Hai fulan, ucapkanlah, ‘Taubatnya orang yang tidak dapat mendatangkan manfaat, mudharat, kehidupan, dan kebangkitan.”
Al-Auza’i ditanya tentang orang yang beristighfar dengan mengucapkan, “Aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Yang Maha Agung. Tiada Tuhan melainkan Dia. Dzat Yang Hidup dan Berdiri sendiri.”
Istighfar yang paling mulia, paling besar pahalanya, dan paling besar peluangnya untuk dikabulkan adalah istighfar yang dimulai dengan memuji Allah, kemudian mengakui segala dosa yang dilakukan. Setelah itu meminta ampun kepada Allah.
Syidad bin Aus ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sayidul istighfar adalah dengan mengucapkan, “AllaaHumma anta rabbii laa ilaaHa illaa anta, khalaqtanii wa ana abduka wa ana ‘alaa aHdika wawa’dika mastatha’tu a’uudzubika min syarri maa shana’tu abuu-u laka bini’matika wa abuu-u laka bidzambi faghfirlii fa innaHuu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta.” (Ya Allah Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada tuhan selain Engkau. Engkaulah yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada dalam perjanjian dengan-Mu dan akan menunaikan janji itu sekuat tenagaku. Aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat. Aku akui segala nikmat-Mu dan akui semua dosaku. Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau.” (HR Bukhari)
13. Istighfar dari dosa yang tidak diketahui
Barangsiapa yang banyak melakukan dosa dan kesalaha, hingga tidak bisa dihitung, hendaklah ia memohon ampun kepada Allah swt. dari segala dosanya.
Syidad bin Aus ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. berdoa, “Aku memohon dari-Mu kebaikan yang Engkau ketahui. Aku memohon pelindungan-Mu dari kejahatan yang Engkau ketahui. Dan aku meminta ampun kepada-Mu dari dosa yang Engkau ketahui. Karena Engkaulah Yang Mahamengetahui hal-hal yang ghaib.”
Ini tidak lain karena Allah swt. mengetahui dan menghitung semua dosa yang dilakukan hamba-Nya.
Allah berfirman: “Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semua. lalu (Allah) memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.” (al-Mujadilah: 6)
14. Buah dari istighfar
Seseorang yang memohon ampun kepada Allah swt. akan merasakan bahwa ia bernaung di bawah naungan Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sehingga hatinya akan merasa tenang, dadanya akan lapang, tekadnya akan semakin terpacu. Ia merasakan betapa kasih dan keridlaan Allah senantiasa menyertainya. Menjadikannya senantiasa optimis dalam mengarungi lautan kehidupan. Sedikitpun ia tidak ada rasa pesimis.
Al-Muzani ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh hatiku juga sibuk seperti kalian. Akan tetapi aku beristighfar seratus kali dalam sehari.” (HR Muslim)
Ibnu ‘Abbas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa banyak istighfar maka Allah akan memberikan baginya kebebasan dari setiap kesusahan, jalan keluar dari setiap kesempitan, dan memberinya rizky dari arah yang tidak diduga sebelumnya.” (HR Abu Dawud)
Abu Dzar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap penyakit pasti ada obatnya. Dan obat penghilang dosa adalah istighfar.”
Qatadah ra. berkata, “Al-Qur’an menunjukkan kalian kepada penyakit dan obat. Penyakit kalian adalah dosa. Sedangkan obat kalian adalah istighfar.”
‘Aisyah ra. berkata, “Sungguh beruntung, orang yang mendapati dalam catatan amalnya istighfar yang banyak.”
Abu Minhal berkata, “Tiada pendamping yang lebih bagi seseorang di dalam kuburnya, selain istighfar yang banyak.”
Sebagian ulama berkata, “Yang meringankan beban orang-orang yang telah banyak berbuat dosa adalah menangis dan istighfar. Barangsiapa yang sedih karena banyak dosanya, hendaknya ia banyak beristighfar.”
Juga termasuk buah dari istighfar adalah tertanamnya jiwa pemaaf dan perilaku yang baik. Hudzaifah ra. berkata, “Ya Rasulallah, saya adalah orang yang kasar dalam berkata.” Rasulullah saw. berkata,”Mengapa kamu tidak beristighfar. Sungguh aku beristighfar seratus kali dalam sehari semalam.”
15. Istighfar melalui orang yang diyakini tidak banyak berbuat dosa.
Orang yang sedih dengan dosa-dosanya, bisa jadi akan lebih mempercayai orang yang diyakini tidak banyak melakukan dosa untuk memohonkan ampun baginya.
Umar bin Khaththab pernah meminta tolong kepada anak kecil untuk memohonkan ampun baginya, seraya berkata, “Kalian belum memiliki dosa.”
Abu Hurairah ra. juga pernah berkata keapda anak-anak kecil, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah ampunilah Abu Hurairah.’” Ia lantas mengamini doa mereka.
16. Berprasangka baik kepada Allah, dan meyakini bahwa hanya Dia yang dapat mengampuni.
Seorang mukmin yang memohon ampunan kepada Allah swt. harus berbaik sangka kepada-Nya, bahwa Allah benar-benar akan mengampuni dosanya.
Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah swt. berfirman (dalam hadits qudsi) “Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku, maka berprasangkalah sesukamu.” Riwayat lain menyebutkan, “Maka janganlah berprasangka kepada Allah kecuali yang baik.”
Karenanya, termasuk faktor paling utama diampuninya dosa adalah meyakini sepenuhnya bahwa yang bisa mengampuni dosa hanyalah Allah semata.
Firman Allah: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah. Lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imraan: 135)
Abdullah Ibnu Amru ra. menceritakan bahwa Abu Bakar ra. berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu doa, untuk aku ucapkan di dalam shalat.” Rasulullah saw. menjawab, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah sesungguhnya aku sering menganiaya diriku sendiri. Dan sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Maka ampuni dan kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR Bukhari dan Muslim)
Berprasangka baik ini mutlak diperlukan, terlebih ketika kita merasa bahwa ajal kita merasa bahwa ajal kita memang dekat sekali. Agar harapan untuk mendapatkan ampunan benar-benar mendominasi.
Mu’adz bin Jabal ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian mau, aku akan ceritakan kepada kalian apa yang pertama kali ditanyakan Allah kepada orang-orang Mukmin, dan apa yang pertama kali diucapkan oleh orang-orang mukmin kepada-Nya.” para shahabat menjawab, “Kami mau, ya Rasulallah.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. bertanya kepada orang-orang Mukmin: ‘Apakah kalian senang bertemu dengan-Ku?’ Orang-orang Mukmin serentak menjawab: ‘Ya. Wahai Tuhan kammi.’ Allah swt. bertanya, ‘Mengapa?’ mereka menjawab, “Karena kami mengharapkan maaf dan ampunan-Mu.’ Allah menjawab, ‘Kalian telah mendapatkan ampunan-Ku.’” (HR Ahmad)
17. Antara Takut dan Harap
Kedua hal tersebut harus dimiliki oleh seorang mukmin secara seimbang. Karena harapan yang terlalu tinggi tanpa dibarengi rasa takut akan menimbulkan tipu muslihat. Sedangkan ketakutan yang berlebihan tanpa diiringi harapan akan menimbulkan keputusasaan. Baik tipu muslihat maupun keputusasaan adalah perbuatan yang tercela.
Disebutkan dalam hadits, “Takut dan harap bersumpah bahwa jika keduanya berhimpun pada satu orang niscaya angin neraka akan lenyap dari orang tersebut. Jika ia berpisah dari salah seorang niscaya angin surga lenyap dari orang tersebut.”
Menurut madzab Maliki, jika dalam keadaan sehat maka ketakutan haruslah lebih ditekankan, dan jika dalam kondisi sakit, maka harapan lebih ditekankan.
Menurut madzab Syafi’i, antara rasa takut dan harapan mempunyai porsi yang sama bagi orang yang sehat. Ia harus melihat keburukan yang telah dilakukan dan harus merasa takut karenanya. Di sisi lain, ia harus melihat kemurahan Allah swt. sehingga ia merasa penuh harap. Sedangkan orang yang sakit, hendaknya ia lebih menekankan sisi harapan. Ini didasarkan oleh sebuah hadits, “Janganlah seorang di antara kalian meninggal kecuali ia berprasangka baik terhadap Allah swt.”
Imam Syafi’i berkata,
Ketika hatiku mengeras dan dunia terasa sempit
Aku jadikan harapanku
Sebagai tangga untuk mendekatkan ampunan-Mu
Dosaku terasa besar sekali
Ketika aku bandingkan dengan ampunan-Mu
Ampunan-Mu lebih besar dari dosa yang aku miliki
Barangkali, inilah hikmah mengapa Imam Nawawi menempatkan hadits ini sebagai penutup, hingga lebih dari empat puluh hadits.
18. Tauhid adalah kunci mendapatkan ampunan
Tauhid merupakan faktor paling utama untuk mendapatkan ampunan. Barangsiapa yang tidak memilikinya, maka ia tidak akan mendapatkan ampunan. Firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisaa’: 48)
Karena, pada dasarnya, dosa amatlah kecil di hadapan cahaya tauhid. Maka siapapun yang memiliki tauhid dan bertemu Allah dengan dosa yang memenuhi bumi, Allah akan menemuinya dengan membawa ampunan sepenuh bumi. Namun demikian, segalanya tergantung kehendak Allah. Jika berkehendak maka Allah akan mengampuni, dan jika tidak maka Allah akan menyiksanya karena dosa-dosa yang dilakukan.
19. Balasan bagi orang yang bertauhid adalah surga
Orang yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka. ia akan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam surga. Ia juga tidak masuk neraka dengan dicampakkan begitu saja sebagaimana orang kafir. Rasulullah saw. bersabda, “Akan keluar dari neraka orang yang mengatakan, “Tiada tuhan selain Allah.” Dan di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji gandum.” (HR Bukhari)
20. Selamat dari neraka
Jika tauhid dan keikhlasan seseorang telah sempurna. Lalu ia menunaikan semua syarat yang harus dipenuhi, dengan hati, lisan dan anggota badannya, atau dengan hati dan lisannya ketika meninggal, maka ia pasti akan mendapatkan ampunan dari segala dosa yang telah ia lakukan dan tidak akan masuk neraka.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Mu’adz bin Jabal ra., “Apakah kamu mengetahui hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’ad menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau berkata, “Beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun. Apakah kamu mengetahui hak hamba atas Allah?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau berkata, “Tidak menyiksanya.” (HR Bukhari dan lainnya)
Umu Hani’ berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ucapkanlah: ‘Laa ilaaHa illallaaH’ tidak akan menyisakan dosa, dan tiada perbuatan yang melebihi keutamaannya.” (HR Ahmad)
Syidad bin Aus dan Ubadah bin Shamith ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda kepada kami, “Angkatlah tangan kalian dan ucapkanlah: ‘Laa ilaaHa illallaaH.” Lalu kami mengangkat tangan selama satu jam. Setelah itu beliau menurunkan tangannya. Lalu berkata, “Alhamdulillah. Ya Allah Engkau mengutusku, memerintahkanku, dan menjanjikan surga untukku dengannya (kalimat syahadat). Sungguh Engkau tidak mengingkari janji.” Kemudian beliau bersabda, “Bergembiralah, sungguh Allah telah mengampuni kalian.” Ini semua buah dari taubat dan amal shalih. Allah berfirman, “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Mahapengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqaan: 70).
21. Tauhid yang murni
Barangsiapa yang hatinya telah terisi dengan tauhid, maka semua yang tidak bernuansa ilahi akan tersingkir. Rasa takut, rasa cinta, rasa hormat, rasa tunduk, atau harapan dan sikap tawakal kepada selain Allah akan hilang dengan sendirinya. Pada saat itulah semua dosanya akan lenyap, meskipun dosa itu sebanyak buih di lautan, dan berubah menjadi kebajikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lain.” (HR Bukhari dan yang lain)
wallaaHu a’lam


EmoticonEmoticon