“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang. (QS. 4:64) Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)” (an-Nisaa’: 64-65)
Allah berfirman: wa maa arsalnaa mir rasuulin illaa liyuthaa’a (“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati.”) Artinya, Aku wajibkan untuk mentaati orang yang diutus kepada mereka.
Dan firman-Nya: bi idznillaaHi (“Dengan izin Allah.”) Mujahid berkata: “Yaitu, tidak ada seseorang pun yang taat, kecuali dengan izin-Ku. Yakni, tidak ada seorang pun yang mentaatinya, kecuali orang yang Aku beri taufik, seperti firman-Nya yang artinya: “Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya.” (QS. Ali-‘Imran: 152). Yaitu dari perintah, qadar, kehendak dan kekuasaan-Nya dan penguasaan-Nya untuk kalian terhadap mereka.
Sedangkan firman-Nya: wa lau annaHum idz-dhalamuu anfusaHum (“Sesungguhnya, jikalau mereka ketika menganiaya dirinya.”) Allah mengarahkan para pelaku maksiat dan Para pelaku dosa, jika terjatuh dalam kekeliruan dan kemaksiatan untuk datang kepada Rasulullah saw, dalam rangka meminta ampun kepada Allah disisinya serta meminta kepada beliau untuk memohonkan ampunan bagi mereka. Jika mereka melakukan demikian, niscaya Allah akan menerima taubat mereka, mengasihi dan mengampuni mereka. Untuk itu, Allah berfirman: lawajadullaaHa tawwaabar rahiiman (“Tentulah mereka mendapati Allah Mahapenerima taubatlagi Mahapenyayang “.)
Firman-Nya: falaa rabbika laa yu’minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara bainaHum (“Maka demi Rabbmu, mereka [pada hakekatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikankamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”.) Allah bersumpah dengan diri-Nya yang Mahamulia, bahwa seseorang tidak beriman hingga dia berhukum kepada Rasulullah saw. dalam seluruh perkara. Hukum apa saja yang diputuskannya, itulah kebenaran yang wajib dipatuhi secara total, lahir dan bathin.
Untuk itu, Allah berfirman: tsumma laa yajiduu fii anfusiHim harajam mimmaa qadlaita wa yusallimuu tasliiman (“Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”) Yaitu apabila mereka berhukum kepadamu, mereka mentaatimu dalam hati mereka dan tidak didapati dalam jiwa mereka rasa keberatan terhadap apa yang telah engkau putuskan, mereka pun mematuhinya secara dhahir dan bathin, serta menerimanya dengan penuh tanpa keengganan, penolakan dan pembangkangan.
Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits: “Demi Rabb yang jiwaku ada ditangan-Nya. Salah seorang kalian tidak beriman hingga hawa nafsunya mengikuti ajaran yang aku bawa.” (Imam an-Nawawi berkata: “Kami meriwayatkannya dalam kitab `al-Hujjah, dengan sanad yang shahih.”)
Al-Bukhari meriwayatkan dari `Urwah, ia berkata: “Az-Zubair bersengketa dengan seorang laki-laki tentang saluran air. Lalu Nabi bersabda:
‘Siramlah hai Zubair, lalu salurkanlah kepada tetanggamu!’ Kemudian orang Anshar itu berkata: ‘Ya Rasulullah! Apakah karena ia adalah anak pamanmu?’ Maka wajah Nabi pun berubah, lalu bersabda: `Ya Zubair! Siramlah, kemudian tahanlah air hingga memenuhi parit. Kemudian, alirkanlah air itu ke tetanggamu.’ Maka Nabi mengambilkan Zubair semua haknya dalam keputusan yang jelas, ketika orang Anshar membikin marah. Dan adalah Nabi memberikan jalan keluar kepada keduanya terhadap urusan keduanya yang mengandung keluasan.” Az-Zubair berkata: “Saya kira ayat ini tidak turun, kecuali berkenaan dengan masalah tersebut.
‘Siramlah hai Zubair, lalu salurkanlah kepada tetanggamu!’ Kemudian orang Anshar itu berkata: ‘Ya Rasulullah! Apakah karena ia adalah anak pamanmu?’ Maka wajah Nabi pun berubah, lalu bersabda: `Ya Zubair! Siramlah, kemudian tahanlah air hingga memenuhi parit. Kemudian, alirkanlah air itu ke tetanggamu.’ Maka Nabi mengambilkan Zubair semua haknya dalam keputusan yang jelas, ketika orang Anshar membikin marah. Dan adalah Nabi memberikan jalan keluar kepada keduanya terhadap urusan keduanya yang mengandung keluasan.” Az-Zubair berkata: “Saya kira ayat ini tidak turun, kecuali berkenaan dengan masalah tersebut.
Falaa wa rabbika laa yu’minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara bainaHum (“Maka demi Rabbmu, mereka [pada hakekatnya] tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”.) Demikian yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab at-Tafsir. Bentuknya adalah mursal dan secara makna adalah muttashil.
Mursal, ialah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah Tabi’in.
Muttashil, ialah hadits yang sanadnya bersambung-sambung, baik bersambungnya itu kepada Nabi maupun hanya sampai kepada Sahabat.”
Muttashil, ialah hadits yang sanadnya bersambung-sambung, baik bersambungnya itu kepada Nabi maupun hanya sampai kepada Sahabat.”
EmoticonEmoticon