“Katakanlah: ‘Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang yang fasik?’ (QS. 5:59) Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi (dan orang yang) menyembah Taghut.’ Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. 5:60) Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman,’ padahal mereka datang kepada kamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (daripada kamu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (QS. 5:61) Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. (QS. 5:62) Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. (QS. 5:63)” (al-Maa-idah: 59-63)
Allah berfirman: hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang dari kalangan Ahlul Kitab yang menjadikan agamamu sebagai bahan ejekan dan permainan: Hal tanqimuuna minnaa illaa an aamannaa billaaHi wa maa unzila ilainaa wa maa unzila min qablu (“Apakah kamu memandang kami salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya.”) Maksudnya, apakah kalian memang mempunyai hak untuk mencela dan melontarkan aib kepada kami hanya karena ini? Yang demikian itu bukanlah aib dan tidak pula tercela. Dengan demikian, istitsna’ (pengecualian) dalam ayat tersebut merupakan istitsna’ mungathi’ seperti yang terdapat dalam firman Allah yang artinya: “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu, melainkan hanya karena orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.” (QS. Al-Buruuj: 8)
Istitsna’ munqathi’ adalah: Pengecualian yang disusun bukan dari jenis yang dikecualikan. Contoh: (Telah terbakar rumah itu kecuali buku-buku),-Ed.
Dan dalam sebuah hadits muttafaq `alaih (al-Bukhari dan Muslim) disebutkan, Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah Ibnu Jamil disakiti, melainkan karena beliau dalam keadaan miskin, lalu Allah menjadikannya kaya.”
Firman-Nya: wa anna aktsarakum faasiquun (“Sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik.”) (Ayat ini) di’athafkan (dihubungkan) kepada firman-Nya: an aamannaa billaaHi wa maa unzila ilainaa wa maa unzila min qablu (“Karena kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya.”) Maksudnya, kami yakin bahwa mayoritas kalian adalah fasik, yaitu keluar dari jalan yang lurus.
Selanjutnya Allah berfirman: qul Hal unabbi-ukum bisyarrim min dzaalika matsuubatan ‘indallaaHi (“Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari [orang-orang fasik itu di sisi Allah] ?’”) Maksudnya, maukah aku akan beritahukan kepada kalian tentang pembalasan yang lebih buruk di sisi Allah pada hari Kiamat kelak, yang kalian menganggap bahwa pembalasan itu akan ditimpakan kepada kami? Ataukah (siksa itu akan menimpa) kalian, yang mana kalian telah disifati dengan sifat-sifat berikut, yaitu dalam firman-Nya: mal la’anaHullaaHu (“Yaitu orang yang dilaknat Allah.”) Yaitu yang dijauhkan dari rahmat-Nya; wa ghadliba ‘alaiHi (“Dan yang dimurkai-Nya.”) Yakni, dimurkai yang setelah itu tidak akan diridhai untuk selamanya.
Wa ja’ala minHumul qiradata wal khanaaziira (“Di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi.”) Sebagaimana penjelasannya telah dikemukakan sebelumnya dalam surat al-Baqarah, dan sebagaimana keterangan lebih luasnya akan disajikan dalam pembahasan surat al-A’raaf.
Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari Ibnu Masud, ia berkata: “Rasulullah saw pernah ditanya mengenai kera dan babi, `Apakah ia adalah makhluk yang irubah wajahnya oleh Allah?’ Maka beliau menjawab: ‘Tidaklah Allah membinasakan suatu kaum -atau beliau mengatakan: ‘Tidak-lah Allah merubah rupa suatu kaum,’- lalu menjadikan bagi mereka keturunan dan anak-cucu. Dan sesungguhnya kera dan babi itu sudah ada sebelum itu.’” (Muslim meriwayatkan pula hadits ini).
Firman-Nya: wa ‘abadath thaaghuuta (“Dan [orang yang] menyembah thaghut?”) Penggalan ayat ini dibaca “Wa ‘abadat thaghuta, ” dalam kedudukannya sebagai fi’il madhi (kata kerja lampau) dan kata thaghut, manshub (berharakat fathah) karenanya. Maksudnya, dan Allah jadikan di antara mereka itu orang-orang yang menyembah thaghut.
Dan dibaca pula ” Wa ‘abadat thaghuti” dengan idhafah, yang mana hal itu bermakna, bahwa Allah menjadikan dari mereka itu budak-budak thaghut. Namun semua bacaan tersebut bermakna, “Hai Ahlul Kitab yang mencela agama kami, yaitu agama yang mengesakan Allah dan mengkhususkan ibadah kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya, bagaimana mungkin tuduhan ini muncul dari diri kalian, sedang di dalam diri kalian terdapat semua yang disebutkan itu?”
Oleh karena itu Alah Ta’ala berfirman: ulaa-ika syarrum makaanan (“Mereka itu lebih buruk tempatnya.”) Yaitu dari apa yang kalian kira akan ditimpakan kepada kami; wa adlallu ‘an sawaa-as sabiil (“Dan lebih tersesat dart jalan yang lurus.”) Penggalan ayai ini merupakan pemakaian tingkat perbandingan, tanpa menyebutkan perkara yang dibandingkan, seperti yang terdapat pada firman Allah Ta’ala:
Ash-haabul jannati yauma-idzin khairum mustaqarraw wa ahsanu maqiilan (“Penghuni-penghuni Surga pada hari itu paling baik rumah tinggalnya, dan paling indah tempat istirahatnya.”)
Ash-haabul jannati yauma-idzin khairum mustaqarraw wa ahsanu maqiilan (“Penghuni-penghuni Surga pada hari itu paling baik rumah tinggalnya, dan paling indah tempat istirahatnya.”)
Firman Allah Ta’ala: wa idzaa jaa-uukum qaaluu aamannaa wa qaddakhaluu bil kufri wa Hum qad kharajuu biHi (“Dan apabila orang-orang [Yahudi atau Munafik] datang kepadamu, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman, ‘ padahal mereka datang kepadamu dengan kekafirannya dan mereka pergi [darimu] dengan kekafirannya pula.”) Yang demikian itu merupakan sifat orang-orang munafik di antara mereka, di mana mereka berpura-pura beriman secara lahiriyah sedang, hati mereka mengandung kekafiran.
Oleh karena itu, Allah berfirman: wa qaddakhaluu (“Padahal mereka datang.”) Yaitu di hadapanmu, hai Muhammad; bil kufri (“Dengan kekafirannya.”) Yakni, dengan hati yang penuh kekafiran. Lalu mereka pergi sedang kekafiran itu tersembunyi di dalam hati mereka. Dan mereka tidak mengambil manfaat dari ilmu yang telah mereka dengar darimu, dan tidak pula nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan itu berarti bagi mereka. Oleh karena itu Allah ber-firman: wa Hum qad kharajuu biHii (“Dan mereka pergi [darimu] dengan kekafirannya pula.”) Dengan demikian, Allah telah mengkhususkan hal itu hanya pada diri mereka.
Firman-Nya: wallaaHu a’lamu bimaa kaanuu yaktumuun (“Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”) Yakni, mengetahui berbagai rahasia mereka, dan segala yang disembunyikan oleh hati kecil mereka, meskipun mereka telah menampakkan kebalikan dari apa yang mereka sembunyikan tersebut, serta memperlihatkan apa yang sebenarnya tidak terdapat pada diri mereka, namun sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala hal yang ghaib dan yang tampak, bahkan Allah lebih mengetahui diri mereka daripada diri mereka sendiri, dan Allah akan memberikan balasan atas semuanya itu dengan balasan yang sempurna.
Firman-Nya: wa taraa katsiiram minHum yusaari’uuna fil itsmi wal ‘udwaani wa akliHimus suhta (“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka [orang-orang Yahudi] bersegera berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram.”) Maksudnya, mereka bersegera mengerjakan berbagai perbuatan dosa, hal-hal yang haram, serta memusuhi umat manusia, dan mereka pun memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Wa labi’sa maa kaanuu ya’maluun (“Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.”) Maksudnya, seburuk-buruk perbuatan adalah perbuatan mereka, dan seburuk-buruk pelanggaran adalah pelanggaran mereka.
Firman Allah Ta’ala lebih lanjut: lau laa yanHaa Humur rabbaaniyyuuna wal ahbaaru ‘an qauliHimul itsma wa akliHimus suhta labi’sa maa kaanuu yashna’uun (“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”) Yakni, mengapa orang-orang alim (rabbaniyyun) dan pendeta (ahbar) mereka itu tidak melarang mereka melakukan hal itu? Rabbaniyyun adalah para ulama yang memiliki posisi ke-kuasaan/mempunyai jabatan, sedangkan al-ahbar adalah ulama saja.
Labi’sa maa kaanuu yashna’uun (“Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”) “Yakni, atas tindakan mereka meninggalkan hal itu.” Demikian yang dikatakan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas. Sedangkan adh-Dhahhak mengatakan: “Di dalam al-Qur’an tidak terdapat ayat yang lebih saya takuti daripada ayat ini, yaitu kita tidak melarang.” (Diriwayatkan olehIbnu Jarir.)
EmoticonEmoticon