Hadits Arbain ke 33: Dasar-dasar Hukum dalam Islam

Hadits Arbain nomor 33 (tiga puluh tiga)
Ibnu ‘Abbas ra berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya setiap orang bebas mengklaim, pasti banyak orang yang mengklaim harta dan jiwa orang lain. Karena itu orang yang mengklaim harus mendatangkan bukti, dan orang yang menyangkal harus bersumpah.” (Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh imam Baihaqi dan yang yang lain. Bagian dari hadits ini tertera di shahih Bukhari dan Muslim)
URGENSI HADITS
Imam Nawawi ra. berkata: “Hadits ini adalah dasar penting bagi hukum syar’i.” Sedangkan Ibnu Daqiq al-Id berkata: “Hadits ini merupakan dasar dari berbagai dasar hukum Islam. Juga tumpuan saat terjadi pertikaian.”
KANDUNGAN HADITS
1. Ketinggian hukum Islam
Islam adalah sistem hidup yang sempurna. Islam mengajarkan aqidah yang bersih, ibadah yang benar, akhlak yang mulia, hukum yang menjamin setiap hak dan melindungi nyawa, harta dan kehormatan setiap individu.
Peradilan adalah rujukan dan tumpuan untuk mencari solusi saat terjadi pertikaian. Sehingga setiap hak berada pada pemiliknya. Karena itulah Islam meletakkan dasar-dasar hukum yang tidak memberi celah sedikitpun bagi jiwa-jiwa kotor yang berusaha merampas hak orang lain. Hukum-hukum tersebut melindungi masyarakat dari segala bentuk kesia-siaan dan kedhaliman. Sebagai contoh konkret adalah hadits di atas. Bahwa sebuah dakwaan harus didukung oleh saksi dan bukti-bukti agar bisa dijadikan pegangan bagi hakim untuk mengambil keputusan.
2. Macam-macam saksi
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan bayyinah dalam hadits di atas adalah saksi. Kesaksian itu akan membantu terkuaknya suatu kasus, atau benar tidaknya suatu dakwaan.
Saksi itu berbeda-beda sesuai dengan kasus yang terjadi. Namun demikian, dalam hukum Islam terdapat empat macam kesaksian, diantaranya:
a. Kesaksian terhadap zina
Saksi terhadap perbuatan zina harus dilakukan empat laki-laki. Kesaksian wanita, dalam masalah zina tidak bisa diterima. Allah swt. berfirman: “Dan [terhadap] para wanita yang melakukan perbuatan keji, hendaklah ada empat saksi di antara kamu [yang menyaksikannya].” (an-Nisaa’: 15)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik [menuduh mereka telah berbuat zina], akan tetapi mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka [yang menuduh itu].” (an-Nuur: 4)
b. Kesaksian terhadap pembunuhan dan kejahatan selain zina yang hukumnya telah ditentukan, seperti pencurian, minum-minuman keras dan menuduh orang lain berbuat zina [dalam istilah fiqih disebut hudud].
Kesaksian terhadap tidak kejahatan ini harus dilakukan dua orang laki-laki. Wanita juga tidak bisa menjadi saksi terhadap kejahatan seperti ini.
Allah swt. berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (ath-Thalaq: 2)
Sebagian ahli fiqih seperti pengikut Imam Syafi’i memasukkan ke dalam masalah ini hak-hak immateri, seperti: pernikahan, perceraian, dan lain sebagainya. Karenanya mereka berbeda pendapat bahwa maslah-masalah tersebut juga harus ada dua orang laki-laki yang menjadi saksi.
c. Kesaksian untuk menetapkan hak-hak yang bersifat materi
Contohnya: jual beli, pinjam-meminjam, dan lain sebagainya. Dalam masalah ini bisa dilakukan dengan dua saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan.
Allah berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki [di antaramu]. Jika tak ada dua orang lelaki, maka [boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan] dari saksi-saksi yang kamu ridlai.” (al-Baqarah: 282)
Ulama madzab Hanafi memberlakukan ketentuan ini untuk semua yang berkaitan dengan hak milik selain hudud dan qishash.
d. Kesaksian terhadap masalah-masalah wanita yang biasanya tidak diketahui oleh laki-laki, seperti: melahirkan, menyusui, keperawanan, dan lain sebagainya.
Dalam masalah ini kesaksian wanita bisa diterima meskipun tanpa laki-laki. Bahkan dalam madzab Hanafi kesaksian wanita dalam masalah ini bisa diterima meskipun hanya satu wanita.
Uqbah bin Harits ra. berkata, bahwa ia menikahi seorang gadis putri dari Ihab bin Abdul Aziz. Seorang wanita kemudian datang kepada Uqbah dan berkata: “Sesungguhnya aku telah menyusui kamu dan juga wanita yang telah engkau nikahi.” Uqbah menjawab: “Saya tidak tahu kalau engkau menyusuiku dan engkau sebelumnya tidak memberitahuku.”
Setelah itu Uqbah datang kepada Rasulullah saw. dan menanyakan masalah yang dialaminya. Rasulullah saw. menjawab: “Bagaimana kamu masih tetap menikahinya, padahal telah dikatakan bahwa ia adalah saudara sesusuanmu.” Uqbah lalu menceraikannya. Wanita itupun kemudian menikah dengan orang lain. (HR Bukhari).
Rasulullah saw. menerima kesaksian itu meskipun hanya satu orang wanita. Akan tetapi ualam selain madzab Hanafi berpendapat, tetapi diharuskan adanya wanita leibh dari satu sebagai saksi, agar kesaksiannya bisa diterima. Adapun yang dilakukan Aqabah, menceraikn istrinya adalah karena kehati-hatiannya, bukan perintah dari Rasulullah saw.
3. Saksi adalah bukti bagi pihak penggugat, sedangkan sumpah adalah bukti dari pihak yang tergugat.
Seorang hakim, hendaknya memutuskan hukuman dan memenangkan orang yang memiliki bukti yang benar, baik itu penggugat maupun yang tergugat. Dalam syariat telah ditetapkan, bahwa penggugat harus memberikan bukti dengan mendatangkan saksi. Sedangkan pihak tergugat bisa memperkuat argumentasinya dengan bersumpah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas.
Rasulullah juga pernah berkata kepada kepada penggugat: “Berikan dua saksimu, atau sumpah dari orang yang tergugat.” (HR Muslim)
Adapun hikmah dari hal ini adalah, bahwasannya penggugat biasanya mengklaim sesuatu yang sifatnya tidak diketahui orang, maka ia perlu bukti yang kuat untuk mendukung gugatannya, bukti yang kuat tersebut adalah saksi. Karena saksi merupakan pengakuan pihak ketiga atau orang lain yang tidak terlibat dalam pertikaian.
Sedangkan sumpah lebih lemah bila dibanding dengan saksi, karena sumpah itu dijadikan hujjah bagi orang yang tergugat. Karena tergugat pada dasarnya tidak mengklaim sesuatu yang tidak tampak. Ia berada pada posisi bertahan, mempertahankan apa yang sudah ada. Dengan demikian ia boleh menggunakan bukti yang lebih lemah yaitu sumpah.
4. Bukti yang diajukan Penggugat harus didahulukan
Jika semua syarat pengaduan telah terpenuhi, maka hakim harus mendengarkan [menyidangkan] pengaduan tersebut. Dalam persidangan yang digelar, hakim harus menanyakan kepada pihak tergugat. Jika pihak tergugat membenarkan gugatan, maka hakim harus memenangkan pihak penggugat.
Namun jika pihak tergugat membantah, maka hakim harus meminta bukti dari pihak penggugat. Jika pihak penggugat mendatangkan bukti, maka hakim harus memenangkannya tanpa menimbang kembali ucapan pihak tergugat, meskipun ia bersumpah habis-habisan. Akan tetapi jika pihak penggugat tidak bisa mendatangkan bukti, maka hakim harus meminta sumpah dari pihak tergugat. Jika pihak tergugat bersumpah, maka ia terbebas dan masalah pun selesai.
Proses ini berdasarkan pertanyaan Rasulullah saw. kepada penggugat: “Engkau memiliki saksi?” Penggugat menjawab: “Tidak.” Rasulullah lalu berkata kepada pihak tergugat, “Kalau begitu berikan sumpahmu.” (HR Muslim). Dalam hadits ini secara jelas Rasulullah saw. menanyakan bukti bagi penggugat terlebih dahulu. Setelah penggugat tidak mampu memberikan bukti, barulah meminta agar tergugat bersumpah.
5. Menyuruh penggugat bersumpah
Jika pihak tergugat tidak mau bersumpah, bahkan meminta hakim untuk mengambil sumpah dari penggugat, apakah permintaan itu dikabulkan?
Sebagian ulama [termasuk madzab Syafi’i] berpendapat, bahwa permintaan itu dikabulkan. Karena ia berhak untuk bersumpah lalu bebas. Jika kemudian ia rela diputuskan oleh sumpah pihak lawan, itu adalah keputusannya.
Sebagian ulama yang lain [termasuk mazhab Hanafi] berpendapat, hak untuk bersumpah, tidak diberikan kepada penggugat, karena Rasulullah telah bersabda kepada penggugat, “Dua saksimu, atau sumpah darinya. Kamu tidak mempunyai hak selain itu.” (Hr Bukhari dan Muslim)
Begitu juga dalam hadits di atas, Rasulullah telah memberikan hak pada masing-masing pihak. “Hak penggugat adalah mendatangkan saksi, dan hak tergugat adalah bersumpah.” (HR Tirmidzi)
6. Putusan hukum karena tidak mau bersumpah
Ketika hakim meminta tergugat untuk bersumpah, namun ia menolak, maka hakim menjatuhkan putusan dengan kemenangan di pihak penggugat. Ini adalah pendapat para ulama madzab hanafi dan Hambali.
Dalil mereka adalah sabda Nabi, “Sedangkan sumpah, diwajibkan bagi orang yang mengingkari [tergugat].” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa sumpah bagi tergugat adalah wajib. Orang yang menggunakan akal jernih, tentu tidak akan menolak untuk menunaikan kewajiban tersebut. Karena menolak untuk bersumpah, berarti mengakui bahwa apa yang dituduhkan kepadanya adalah benar.
Sedangkan para ulama madzab Syafi’i dan Maliki berpendapat, jika tergugat menolak memberikan sumpah, maka hakim belum bisa memutuskan perkara. Hakim harus leibh dahulu meminta penggugat untuk bersumpah. Jika ia mau bersumpah maka diputuskan bahwa gugatannya adalah benar. Namun jika ia tidak mau bersumpah, maka dakwaan yang dilontarkannya tidak bisa dibenarkan, karena secara hukum asal, pihak tergugat adalah bersih dari tuduhan, hingga ada bukti yang menyudutkannya. Sedangkan keengganan untuk bersumpah tidak bisa dijadikan bukti bahwa apa yang dituduhkan memang benar. Karena boleh jadi keengganan tersebut akibat kehati-hatian agar terhindar dari sumpah palsu. Dengan demikian keputusan belum bisa diambil dengan penolakan sumpah oleh tergugat, karena masih adanya kemungkinan-kemungkinan.
7. Kapan pihak tergugat harus bersumpah.
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu bersumpah bagi tergugat adalah ketika ia diminta untuk bersumpah. Dalil mereka adalah keumuman hadits yang dinyatakan bahwa tergugat harus bersumpah.
Sedangkan imam Malik berpendapat bahwa tergugat tidak perlu memberikan sumpah, kapan pun, kecuali jika antara keduanya jelas telah terjadi muamalah, hutang-piutang, dan semisalnya. Atau jika pihak tergugat memang ada indikasi seperti yang dituduhkan kepadanya.
Ia beralasan bahwa hal tersebut adalah demi sebuah mashalah (kebaikan), agar tidak membuka celah saling tuduh di tengah masyarakat atau membawa paksa seseorang ke pengadilan tanpa alasan yang jelas.
8. Bagaimana bentuk sumpah yang harus diucapkan.
Jika hakim meminta salah seorang dari dua orang yang bertikai bersumpah, maka sumpah tersebut adalah dengan nama Allah. Tidak dibenarkan bersumpah dengan selain Allah, baik orang yang bersumpah tersebut muslim atau kafir.
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan [nama] nenek moyang kalian. Barangsiapa yang tidak bersumpah, bersumpahlah dengan nama Allah atau [jika tidak] hendaklah ia diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan hakim dibenarkan mempertegas redaksi sumpah, dengan menambahkan sifat-sifat Allah dalam bersumpah. Misalnya menyuruh bersumpah dengan lafadz: “Demi Allah tiada Tuhan kecuali Dia, Mahamengetahui yang ghaib dan yang tampak, Mahapengasih lagi Mahapenyayang.” Atau sifat-sifat lain yang menjadikan sumpah lebih berbobot bagi yang mengucapkannya, sehingga ia tidak akan menersukan sumpahnya jika ia merasa bedusta.
Contoh lainnya adalah dengan menghadirkan al-Qur’an lalu ia bersumpah, jika ia seorang muslim, tentunya dengan memenuhi syarat-syarat dan adab memegang al-Qur’an. Bisa juga menyuruh bersumpah dengan lafadz: “Demi Allah, Dzat yang menurunkan Taurat kepada Musa,” jika ia seorang Yahudi. Atau “Demi Allah Dzat yang telah menurunkan Injil,” jika ia seorang Kristen. Bisa juga: “Demi Allah yang telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk.” Jika ia seorang animis.
9. Adab-adab bersumpah.
Jika salah seorang yang bertikai dimintai hakim untuk bersaksi, maka sebelum orang tersebut bersumpah, hakim dianjurkan untuk terlebih dahulu menasehatinya dan memperingatkan terhadap bahaya dan dosa dari sumpah palsu [bohong]. Bisa juga membacakan ayat-ayat atau hadits yang berkenaan dengan dosa-dosa dari sumpah yang dusta.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa dua orang wanita menyulam dalam sebuah rumah. Lalu seoran di antara mereka keluar rumah dengan luka di tangannya tertusuk alat sulam. Ia menuduh temannya telah melakukannya. Ketika masalah itu diadukan kepada Ibnu ‘Abbas ra. ia berkata: “Ingatlah ia akan Allah, dan bacakanlah untuknya firman Allah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji [nya dengan] Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian [pahala] di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak [pula] akan mensucikan mereka. Bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imraan: 77)
Jika orang yang dimintai bersumpah, merasa bahwa ia telah berbohong, maka lebih baik ia mengaku terus terang, dan tidak bersumpah palsu, agar ia tidak mendapat kemarahan dari Allah swt. dan agar tidak dijauhkan dari rahmat Allah swt.
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa bersumpah, untuk mendapatkan harta seorang muslim, maka ia akan bertemu Allah dan Allah dalam keadan marah kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Namun jika ia berada di pihak yang benar, maka ia harus mengucapkan sumpah. Karena Allah mensyariatkan sumpah dalam persengketaan, agar setiap hak muslim terjaga. Juga agar orang-orang yang berhati kotor tidak mudah melontarkan tuduhan, untuk bisa mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar, karena mereka tahu bahwa orang-orang yang dituduh sangat hati-hati untuk bersumpah.
10. Satu saksi dan sumpah.
Jika penggugat hanya bisa menghadirkan satu saksi, padahal dalam perkara yang sedang disidangkan membutuhkan dua saksi, maka apakah dibolehkan bersumpah untuk mengganti saksi yang satunya? Para ulama dari madzab Hanafi berpendapat, bahwa tidak bisa menggunakan sumpah sebagai ganti saksi. Jika tidak mampu, maka giliran tergugat untuk memberikan sumpahnya.
Dalil mereka adalah sabda Rasulullah saw. “[Berikan] dua saksimu atau dia [tergugat] yang akan bersumpah. Kamu tidak berhak kecuali itu.”
Sedangkan menurut para ulama dari madzab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, pelaksanaan pengajuan bukti dengan hanya menghadirkan satu saksi dan sumpah untuk menggantikan posisi saksi yang tidak bisa dipenuhi, bisa dilakukan dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan materi. Dalil mereka adalah hadits riwayat Muslim, dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. memutuskan perkara dengan sumpah dan satu saksi.
11. Penggugat dan perihal saksi yang didatangkan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa bukti bagi penggugat adalah adanya saksi, jika ini dipenuhi maka hukuman bisa diputuskan. Namun demikian, jika hakim masih ragu, maka ia berhak untuk menyumpah penggugat bahwa saksi yang dihadirkan adalah betul, bukan rekayasa. Ketika imam Ahmad ditanya masalah ini, ia menjawab bhwa hal itu pernah dilakukan Ali ra.
Disamping penyumpah penggugat, hakim juga berhak menyumpah saksi, bahwa kesaksiannya memang benar. Jika ini dilakukan, maka akan menepis segala keraguan.
12. Bolehkan keputusan Hakim didasarkan pada apa yang ia ketahui.
Jika seorang hakim betul-betul mengetahui hakekat kasus yang diajukan kepadanya, maka ia tidak bisa memutuskan kasus tersebut hanya berdasarkan pengetahuannya. Akan tetapi ia harus memutuskannya berdasarkan berbagai bukti yang diajukan, baik oleh penggugat maupun tergugat, meskipun bukti-bukti tersebut bertentangan dengan apa yang ia ketahui.
Dalil dari pendapat ini adalah sabda Rasulullah saw. “Saya hanyalah seorang manusia. Kalian bersengketa dan mengadu kepadaku. Boleh jadi satu pihak mendatangkan bukti lebih kuat dari pihak lain, maka akan kuputuskan sesuai yang saya dengar.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini jelas dinyatakan bahwa Rasulullah memutuskan hukuman sesuai yang beliau dengar dan tidak berdasarkan apa yang beliau ketahui. Dengan demikian, semua pintu kedhaliman dan kerusakan akan ditutup rapat, sehingga tidak memberikan celah kepada hakim yang jahat untuk menghukum orang-orang yang bersalah, dengan klaim bahwa ia mengetahui hal yang sebenarnya. Bahkan jika keputusan hakim bisa dilakukan berdasarkan pengetahuannya, akan mengundang maraknya suap. Artinya, bisa saja seorang menyuap hakim untuk mengakup; bahwa ia mengetahui masalah yang terjadi sebenarnya.
13. Keputusan hakim tidak bisa menghalalkan yang diharamkan atau mengharamkan yang dihalalkan.
Jika semuanya telah terpenuhi, baik saksi yang dihadirkan penggugat atau sumpah yang diucapkan oleh tergugat, maka hakim harus mengambil keputusan. Putusan itu juga harus dilaksanakan oleh pihak yang diputuskan kepadanya suatu hukuman.
Meskipun demikian, keputusan ini kadang bertolak belakang dengan realita yang ada. Misalnya, karena penggugat menghadirkan saksi palsu atau orang yang tergugat mengucapkan sumpah palsu. Dalam konteks seperti ini, orang yang dimenangkan tidak halal dengan kemenangannya, demikian juga orang yang diputuskan tetap tidak diharamkan untuk tidak melaksanakan keputusan.
Sebagai contoh, seandainya ada dua orang saksi yang bersaksi dengan kesaksian palsu, bahwa seorang wanita telah diceraikan oleh suaminya, akan tetapi suaminya membantahnya. Lalu hakim memutuskan bahwa perceraian itu sah, maka wanita tadi tidak boleh menikah kecuali dengan suaminya itu. Karena sebenarnya ia tetap menjadi istri dari suaminya itu. Demikian juga suaminya tetap dihalalkan melakukan hubungan badan dengan istri yang telah divonis cerai oleh hakim.
Dasar masalah ini adalah hadist Ummu Salamh ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang aku putuskan berkaitan dengan hak saudaranya, maka hendaklah ia tidak mengambilnya. Karena dengan begitu, aku telah memberikan potongan dari neraka.”
14. Pahala bagi hakim yang adil
Seorang hakim harus bersungguh-sungguh untuk mengenali kasus yang ia tangani. Lalu memutuskan sesuai dengan ijtihadnya bahwa itulah yang benar.
Ummu Salamah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Menurutku dialah yang benar. Karena itu aku putuskan dialah yang menang dalam perkara ini.” (HR Bukhari)
Jika hakim menempuh cara ini, maka ia telah menempuh cara yang benar. Terlepas, apakah putusannya sesuai dengan kejadian yang sebenarnya atau tidak.
Amru bin Ash ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda; “Jika dalam mengambil keputusan , seorang hakim berijtihad, lalu keputusannya benar, niscaya dia mendapatkan dua pahala. Dan jika salah , ia mendapat satu pahala.” (HR Bukhari, Muslim dan lainnya)
15. Satu hakim masuk surga, dan dua hakim masuk neraka.
Syarat untuk menjadi hakim adalah mengetahui masalah halal dan haram dalam hukum Islam, memiliki kemampuan untuk mereferensikan berbagai persoalan kepada sumber-sumber hukum Islam, dan mampu mengambil hukum dan berbagai masalah yang ia tangani.
Di samping itu, ia juga dituntut untuk bersungguh-sungguh dengan penuh kehati-hatian dalam memutuskan satu perkara. Jika seorang hakim memutuskan satu perkara, tanpa kesungguhan dan kehati-hatian, atau bahkan tidak mengetahui hukum Islam sama sekali, maka ia berdosa. Meskipun keputusannya benar, karena kebenaran keputusan tersebut bersumber dari ketidaksengajaan. Sekali ini ia benar, tetapi berkali-kali yang lain bisa dipastikan ia berbuat salah.
Yang lebih celaka adalah hakim yang mengetahui kebenaran, namun memutuskan kebalikannya, hanya karena kepentingan dunia, atau karena dorongan hawa nafsu semata.
Rasulullah saw. bersabda: “Ada golonga tiga hakim, satu di surga dan dua di neraka. adapun yang masuk surga adalah hakim yang tahu kebenaran dan memutuskan sesuai dengan kebenaran tersebut. Yang masuk neraka adalah hakim yang mengetahui kebenaran namun memutuskan kebalikannya, dan hakim yang memutuskan perkara tapi tidak mengerti apa-apa.” (HR Abu Dawud)
selesai


EmoticonEmoticon