Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 82-83

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 82-83“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82) Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu). (QS. 4:83)”(an-Nisaa’: 82-83)
Allah berfirman, memerintahkan kepada mereka untuk merenungi al-Qur’an, serta melarang mereka berpaling darinya dan dari memahami makna-nya yang muhkam (jelas) serta lafazh-lafazh-Nya yang mencapai makna yang dimaksud. Dan Allah mengabarkan pula kepada mereka, bahwa di dalam al-Qur’an itu tidak ada hal yang bertentangan, kerancuan dan kontradiksi, karena ia diturunkan dari Rabb yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji. Maka al-Qur’an ini adalah kebenaran dari Allah yang Mahabenar.
Untuk itu Allah berfirman yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24).
Kemudian Allah berfirman: walau kaana min ‘indi ghairillaaHi (“Kalau kiranya itu bukan dari sisi Allah.”) Yakni, seandainya al Qur’an hasil bikinan (Muhammad), sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang jahil musyrikin dan orang-orang munafik di dalam hatinya, niscaya mereka akan menemukan di dalamnya kerancuan dan banyak kontradiksi, padahal terbukti bahwa al-Qur’an terbebas dari hal itu, maka berarti ia berasal dari Allah.
Sebagaimana Allah berfirman, mengabarkan orang-orang yang kokoh dalam ilmunya ketika mereka berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Rabb kami.” (QS. Ali-‘Imran: 7). Yaitu muhkamdan mutasyabihnya adalah haq. Untuk itu mereka mengembalikan ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam, sehingga mereka memperoleh hidayah.
Sedangkan orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyimpangan, mereka mengembalikan yang muhkam kepada yang mutasyabih, sehingga mereka sesat. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang kokoh dalamnya dan mencela orang-orang yang menyimpang.
Imam Ahmad meriwayatkan dari `Abdullah bin `Amr, ia berkata: “Suatu kali, aku mendatangi Rasulullah saw, lalu kami duduk-duduk. Tiba-tiba ada orang yang sedang berdebat tentang sebuah ayat, sehingga suaranya sangat keras, beliau bersabda:
“Sesungguhnya binasanya umat-umat sebelum kalian disebabkan perselisihan mereka di dalam al-Kitab.” (Diriwayatkan pula oleh Muslim dan an-Nasa’i).
Firman Allah: wa idzaa jaa-aHum amru minal amni awil khaufi adzaa’uu biHii (“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.”) Adalah pengingkaran terhadap orang yang bersegera dalam berbagai urusan sebelum memastikan kebenaran, lalu ia mengabarkannya, menyiarkannya dan menyebarluaskannya, padahal terkadang perkara itu tidak benar.
Imam Muslim berkata dalam mukadimah kitab Shahihnya, dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw. bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdusta, jika ia selalu menceritakan setiap hal yang didengarnya.” (Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Di dalam kitab ash-Shahihain, dari al-Mughirah bin Syu’bah, bahwasanya Rasulullah saw. melarang untuk berkata; “Katanya, katanya.” Yaitu, orang yang banyak bicara tentang perkataan orang lain, tanpa meneliti kebenarannya, tanpa memperhatikannya (terlebih dahulu) dan tanpa mencari kejelasan (tentang kebenarannya).
Di dalam Sunan Abi Dawud, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seburuk-buruk tunggangan seseorang adalah (menyatakan) bahwa mereka menduga (begini, begini).”
Di dalam shahih Bukhari: “Barangsiapa yang menceritakan sebuah cerita atau berita dan dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah seorang pendusta.”
Di sini akan kami sebutkan hadits `Umar bin al-Khaththab yang disepakati keshahihannya ketika sampai berita kepadanya, bahwa Rasulullah saw. telah menceraikan isteri-isterinya, lalu dia mendatangi rumah beliau, hingga masuk ke dalam masjid. Di sana banyak orang yang juga mengatakan demikian. Dia tidak sabar hingga meminta izin kepada Nabi saw, lalu bertanya kepada beliau: “Apakah, engkau menceraikan isteri-isterimu?” Beliau saw. menjawab: “Tidak.” Aku pun berkata: “Allahu Akbar”. Dan dia menyebutkan terusan hadits itu.
Sedangkan di dalam Shahih Muslim, aku bertanya: “Apakah engkau ceraikan mereka?” Beliau menjawab: “Tidak.” Lalu aku berdiri di pintu masjid dan berteriak sekeras-kerasnya: “Rasulullah saw. tidak menceraikan isteri-isterinya.” Dan turunlah ayat ini:
wa idzaa jaa-aHum amru minal amni awil khaufi adzaa’uu biHii wa lau radduuHu ilar rasuuli wa ilaa ulil amri minHum la’alimaHul ladziina yastanbithuunaHuu minHum (“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya ke-pada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya [akan dapat] mengetahuinya dari mereka [Rasul dan Ulil Amri]).” Maka akulah yang mengistinbatkan (ingin mengetahui kebenaran) perkara itu.
Makna mereka mengistinbatkannya, yaitu mereka mengeluarkannya dari sumber-sumbernya. Dalam bahasa Arab dikatakan: istanbathar rajulul ‘aina (“seorang mengistinbatkan mata air,”) apabila ia menggali dan mengeluarkannya dari dasarnya.
Firman Allah: lat taba’tumusy syaithaana illaa qaliilan (“Tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja [di antaramu].”) ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu `Abbas, yaitu kaum mukminin.
`Abdurrazzaq mengatakan dari Ma’mar dari Qatadah: lat taba’tumusy syaithaana illaa qaliilan (“Tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil saja [di antaramu].”) yaitu kalian seluruhnya.


EmoticonEmoticon