Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapat rezeki. (QS. Ali ‘Imraan: 169) Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka. Dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka. Bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Ali ‘Imraan: 170) Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (QS. Ali ‘Imraan: 171) (Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (QS. Ali ‘Imraan: 172) (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”; maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. (QS. Ali ‘Imraan: 173) Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Ali ‘Imraan: 174) Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imraan: 175)
Allah memberitahukan mengenai keadaan orang-orang yang mati syahid bahwa mereka itu meskipun telah mati di dunia ini, namun ruh mereka tetap hidup dan mendapat rizki di akhirat. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya telah ditegaskan bahwa ayah Jabir, yaitu Abdullah bin ‘Amr bin Haram al-Anshari terbunuh dalam perang Uhud sebagai syahid.
Al-Bukhari meriwayatkan, Abu Walid mengatakan dari Syu’bah, dari Ibnu Munkadir, ia berkata, aku pernah mendengar Jabir berkata, ketika ayahku terbunuh, aku menangis dan membuka kain penutup wajahnya. Lalu para Sahabat Rasulullah melarangku, sedang Nabi sendiri tidak melarangku, maka beliau bersabda, “Jangan engkau menangisinya, Malaikat masih terus menaunginya dengan kedua sayapnya sehingga ia diangkat.” Al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i menyandarkan sanad kepadanya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Ketika saudara-saudara kalian mendapatkan musibah perang Uhud, Allah telah menempatkan arwah mereka dalam perut burung hijau yang mendatangi sungai-sungai di Surga, dan makan dari buah-buahannya serta kembali ke pelita yang terbuat dari emas di bawah naungan ‘Arsy. Ketika mereka mendapatkan makan dan minum mereka yang baik, mereka berkata, ‘Andai saja sahabat-sahabat kami mengetahui apa yang diperbuat oleh Allah terhadap kami niscaya mereka tidak enggan dalam berjihad dan tidak mundur dari perang.’ Maka Allah pun berfirman, ‘Aku akan menyampaikan kepada mereka mengenai keadaan kalian.’ Lalu Dia menurunkan ayat, ‘Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapat rizki.’ Dan ayat-ayat setelah-nya.” (HR. Imam Ahmad).
Dan juga diriwayatkan Abu Dawud dan al-Hakim dari Ibnu ‘Abbas Dan ini lebih kuat. Sedang al-Hakim meriwayatkannya dalam kitab al-Mustadrak. Seolah-olah para syuhada’ itu terbagi menjadi beberapa kelompok, ada yang arwahnya berterbangan di Surga, ada juga yang berada di atas sungai-sungai di pintu Surga. Bisa diartikan perjalanan mereka berakhir sampai pada sungai tersebut. Di sana mereka berkumpul dan disana pula mereka diberi makan dan rizki serta beristirahat. Wallahu a’lam.
Dan kami telah meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Musnad Imam Ahmad, yang di dalamnya terdapat kabar gembira untuk semua orang yang beriman, bahwa arwah mereka bebas di Surga, makan dari buah-buahan yang terdapat di sana, dan di sana pula mereka merasakan kesenangan dan kebahagiaan. Selain itu arwah-arwah mereka juga menyaksikan kemuliaan yang dijanjikan Allah kepadanya.
Hadits di atas dengan isnad shahih, di dalamnya terdapat tiga orang dari empat imam. Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Idris asy-Syafi’i – dari Malik bin Anas al-Ashbahi dari az-Zuhri Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Arwah seorang mukmin itu adalah berupa burung yang bergantung pada pohon di Surga sehingga Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari ia dibangkitkan.”
Sabda beliau (bergantung), maksudnya ialah makan.
Sabda beliau (bergantung), maksudnya ialah makan.
Dalam hadits ini juga disebutkan: “Sesungguhnya arwah seorang mukmin itu berwujud burung di Surga.”
Sedangkan arwah para syuhada’, sebagaimana yang di sebutkan pada hadits sebelumnya, yaitu berada dalam perut burung hijau. Arwah mereka itu seperti bintang jika dibandingkan arwah orang-orang mukmin lainnya, karena itu dapat terbang. Kita berdo’a semoga Allah mematikan kita dalam keadaan beriman.
Firman-Nya yang artinya, “Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati,” Artinya, para syuhada’ yang terbunuh di jalan Allah tetap hidup di sisi Rabb mereka dan mereka merasa gembira atas kenikmatan dan kesenangan bersama saudara-saudara mereka yang terbunuh setelah mereka berjihad di jalan Allah, karena mereka dipertemukan dengan saudara-saudara mereka. Dan mereka tidak pernah takut terhadap apa yang ada di hadapan mereka dan tidak bersedih atas apa yang mereka tinggalkan. Dan kita memohon kepada Allah dimasukkan ke Surga.
Mengenai firman-Nya, wa yastabsyiruuna (“Dan mereka bergirang hati,”) Muhammad bin Ishaq berkata, maksudnya, mereka merasa senang hati bertemu dengan saudara-saudara mereka atas apa yang mereka pernah lakukan dari jihad di jalan Allah. Dan mereka berharap agar dapat bergabung menikmati pahala Allah yang diberikan kepada mereka.
As-Suddi berkata, “Orang yang mati syahid akan didatangkan sebuah kitab yang di dalamnya tercata, akan datang kepadamu si fulan pada hari ini dan ini, dan akan datang kepadamu si fulan hari ini dan ini. Maka bergembiralah dia atas kedatangannya, sebagaimana penduduk dunia bergembira ketidak hadiran mereka apabila datang.
Sa’id bin Jabir berkata, “Ketika mereka memasuki surga dan menyaksikan kemuliaan yang disediakan untuk para syuhada, mereka berkata, ‘Seandainya saudara-saudara kami yang masih hidup di dunia mengetahui kemuliaan yang kami saksikan ini, maka apabila mereka mendapati perang pasti mereka akan menyambut dengan sendirinya sehingga mereka mati syahid dan mendapatkan sebagaimana kami peroleh dari kebaikan.’ Maka Rasulullah memberitahukan tentang keadaan mereka serta kemuliaan yang mereka terima. Dan Allah memberitahukan mereka, sesungguhnya Aku telah menurunkan dan memberitahukan Nabi kalian mengenai keadaan kalian dan apa yang kalian peroleh, maka bergembiralah atas itu. Dan itulah makna firman Allah: wa yastab-syiruunal ladziina lam yalhaquu biHim min khalfiHim (“Dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka dan belum menyusul mereka.”)
Dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari Anas bin Malik mengenai kisah 70 shahabat dari kaum Anshar di sumur Ma’unah yang terbunuh dalam waktu satu hari. Kemudian Rasulullah saw. membacakan qunut nazilah seraya mendoakan atas pembunuh serta melaknat mereka yang membunuh para shahabat beliau itu. Anas berkata, dan mengenai mereka ini diturunkan ayat yang kami baca, hingga kemudian ayat tersebut diangkat. “Sampaikanlah kepada kaum kami dari kami, sesungguhnya kami telah bertemu Rabb kami, lalu Dia ridla kepada kami dan kami pun ridla.”
Kemudian Dia berfirman: yastabsyiruuna bi ni’matim minallaaHi wa fadl-liw wa annallaaHa laa yudlii’u ajral mu’miniin (“Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.”)
Muhammad bin Ishaq berkata, mereka merasa senang hati atas dipenuhinya apa yang dijanjikan, serta pahala yang besar yang diberikan kepada mereka.
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Ayat ini mencakup orang-orang mukmin secara keseluruhan, baik yang mati sebagai syuhada’ maupun yang tidak. Tidak sedikit Allah menyebutkan karunia dan pahala yang diberikan kepada para Nabi, maka Allah juga menyebutkan apa yang diberikan kepada orang-orang yang beriman setelah mereka.”
Dan firman-Nya, alladziina yastajaabuu lillaaHi war rasuuli mim ba’di maa ashaabaHumul qarh (“Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka [dalam perang Uhud].”) Ini terjadi pada hari Hamra’ul Asad, di mana ketika orang-orang musyrik mendapatkan musibah seperti yang menimpa kaum muslimin, maka mereka berputar dan kembali pulang ke negerinya. Dan pada saat mereka meneruskan perjalanan, mereka menyesal, mengapa tidak menyerang dan membinasakan penduduk Madinah. Ketika berita itu terdengar oleh Rasulullah, maka beliau menganjurkan kaum muslimin untuk menyusul mereka guna menakut-nakuti mereka, serta memperlihatkan bahwa kaum muslimin mempunyai kekuatan dan kemampuan. Dan untuk itu, beliau tidak mengizinkan seorang pun melainkan yang pernah mengikuti peristiwa perang Uhud kecuali Jabir bin ‘Abdullah karena suatu sebab yang akan kami kemukakan nanti.
Maka kaum muslimin pun berangkat meskipun mereka dalam keadaan terluka dan letih, sebagai wujud ketaatan mereka kepada Allah danRasul-Nya.
Ibnu Abi Hatim mengatakan dari ‘Ikrimah, ia berkata, ketika orang-orang musyrik kembali dari Uhud, mereka berkata: “Bukan Muhammad yang kalian bunuh dan bukan persendian tulangnya yang kalian hantam. Alangkah buruknya apa yang kalian lakukan, maka kembalilah.” Kemudian Rasulullah mendengar hal tersebut, maka beliau pun menganjurkan kaum muslimin untuk berangkat. Dan mereka pun berangkat hingga sampai di Hamra’ul Asad yaitu sumur Abu ‘Uyainah. Maka orang-orang musyrik berkata, “Kami akan kembali tahun depan.” Lalu Allah menurunkan ayat: alladziina yastajaabuu lillaaHi war rasuuli mim ba’di maa ashaabaHumul qarhu lilladziina ahsanuu minHum wat taqau ajrun ‘adhiim (“Orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka [dalam perang Uhud]. Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.”) Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawih dari Ibnu ‘Abbas.
Muhammad bin Ishaq berkata, peristiwa perang Uhud itu terjadi pada hari Sabtu, pertengahan bulan Syawal. Dan pada keesokan harinya, yaitu hari Ahad pada enam belas malam berlalu dari bulan Syawal, penyeru Rasulullah menyerukan kepada khalayak untuk mengejar musuh. Selain itu, penyeru itu juga menyerukan agar tidak seorang pun keluar bersama kami kecuali mereka yang hadir dalam perang Uhud kemarin. Kemudian Jabir bin ‘Abdullahbin ‘Amr bin Haram memberitahukan kepada Rasulullah: ‘Ya Rasulullah, ayahku mengamanatkan kepadaku untuk menjaga saudara-saudara perempuanku yang berjumlah tujuh orang’, dan ayahku berkata: ‘Hai anakku, tidak seharusnya aku dan engkau meninggalkan para wanita sendirian tanpa adanya seorang laki-laki pun di tengah-tengah mereka, dan aku bukanlah orang yang mengutamakanmu untuk berjihad bersama Rasulullah atas diriku sendiri. Tinggallah bersama saudara perempuanmu. Maka aku tinggal bersama mereka. “‘
Maka Rasulullah pun mengizinkannya, dan akhirnya ia berangkat bersama beliau. Beliau keluar dengan maksud untuk menakut-nakuti musuh dan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa beliau keluar dengan maksud mencari mereka, agar dengan demikian mereka menduga beliau masih mempunyai kekuatan, dan apa yang menimpa beliau bersama para Sahabatnya tidak menyebabkan mereka menjadi gentar menghadapi musuh.
Muhammad bin Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dari Abu Sa’ib maula ‘Aisyah binti ‘Utsman, bahwasanya ada seorang Sahabat Rasulullah dari Bani ‘Abdul Asyhal, yang ikut menyaksikan perang Uhud, ia berkata, “Kami ikut menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah, lalu bersama saudaraku aku pulang dalam keadaan luka. Dan ketika penyeru Rasulullah menyerukan agar keluar mencari musuh, maka kukatakan kepada saudaraku. “Apa kita harus melewatkan kesempatan berperang bersama Rasulullah?” Demi Allah, pada saat itu kami tidak memiliki binatang yang dapat dikendarai sedang kami menderita luka yang cukup parah. Namun demikian, kami tetap berangkat berperang bersama Rasulullah, ternyata aku menderita luka yang lebih ringan daripada beliau. Hingga akhirnya kami sampai di tempat kaum muslimin ber-kumpul.
Dan mengenai ayat: alladziinas tajaabuullaaHa war rasuuli (“Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya,”) Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah. ‘Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putera saudara perempuanku, orang tuamu termasuk dalam golongan mereka, yaitu az-Zubair dan Abu Bakar Ketika sesuatu telah menimpa Rasulullah pada perang Uhud, dan orang-orang musyrik telah pulang meninggalkannya, beliau khawatir mereka akan kembali. Maka beliau telah bersabda, “Siapakah yang akan pergi menyusul (mengejar mereka)?” Maka tujuh puluh orang dari mereka mengajukan diri, antara lain adalah Abu Bakar dan az-Zubair.
Redaksi hadits di atas hanya diriwayatkan Imam al-Bukhari. Hadits yang sama juga diriwayatkan al-Hakim dalam Kitab al-Mustadrak. Maka Allah – menurunkan firman-Nya, alladziina yastajaabuu lillaaHi war rasuuli mim ba’di maa ashaabaHumul qarhu (“Yaitu orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka [dalam perang Uhud].”)
Lebih lanjut Muhammad bin Ishaq berkata, maka Rasulullah pun berangkat hingga sampai di Hamra’ul Asad, sebuah tempat yang jaraknya darikota Madinah 8 Mil.
Ibnu Hisyam berkata: “Rasulullah menjadikan Ibnu Ummi Maktum sebagai Amir di Madinah, beliau tinggal di Hamra’ul Asad hari Senin, Selasa dan Rabu kemudian pulang ke Madinah.”
Ibnu Hisyam berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin AbuBakar tentang Ma’bad bin Abi Ma’bad al-Khuza’i dan ketika itu suku Khuza’ahbaik yang muslim maupun yang musyrik mempunyai perjanjian setia dengan Rasulullah di Tihamah yang tidak tersembunyi sedikitpun di antara mereka. Dan Ma’bad ketika itu masih musyrik, dia berkata: “Wahai Muhammad, demi Allah sungguh berat kami atas apa yang menimpamu dan para Sahabatmu dan mudah-mudahan Allah memberikan keselamatan kepadamu.” Kemudian Ma’bad keluar dari Hamra’ul Asad sampai bertemu dengan Abu Sufyan bin Harb dan orang yang bersamanya di Rauha’. Mereka sepakat kembali menyerang Rasulullah dan para Sahabatnya. Mereka berkata: “Kami sudah melukai Muhammad dan para Sahabatnya, komandan dan pemimpinnya, kemudian kita pulang sebelum meluluh lantakkan mereka? Kami akan kembali dan menghancurkan sisa mereka.” Ketika berbicara demikian Abu Sufyan melihat Ma’bad seraya berkata: “Siapa dibelakangmu wahai Ma’bad?” “Muhammad dan para Sahabatnya mengejar kalian dengan pasukan yang sangat banyak yang aku belum pernah melihat sebanyak itu dan mereka akan membakar kamu. Telah berhimpun bersamanya orang-orang yang tertiggal pada hari pertempuran, mereka menyesal terhadapnya yang mereka perbuat, maka mereka marah terhadap kalian yang aku tidak pernah melihat marah yang seperti itu.” Abu Sufyan berkata: “Celakalah apa yang kamu katakan.” Ma’bad berkata:
“Demi Allah saya tidak melihat bahwa anda menaiki pelana sehingga anda melihat jambul-jambul kuda.” Abu Sufyan jawab: “Demi Allah kami sudah siap untuk menyerang lagi dan menghabisi mereka.” Kata Ma’bad: “Aku larang kalian, Demi Allah, apa yang aku lihat itu telah membawaku untuk mengungkapkan beberapa bait sya’ir yang menggambarkan keadaan mereka. “Apakah yang akan kau katakan itu?” Tanya Abu Sufyan. Ma’bad lalu bersya’ir:
“Demi Allah saya tidak melihat bahwa anda menaiki pelana sehingga anda melihat jambul-jambul kuda.” Abu Sufyan jawab: “Demi Allah kami sudah siap untuk menyerang lagi dan menghabisi mereka.” Kata Ma’bad: “Aku larang kalian, Demi Allah, apa yang aku lihat itu telah membawaku untuk mengungkapkan beberapa bait sya’ir yang menggambarkan keadaan mereka. “Apakah yang akan kau katakan itu?” Tanya Abu Sufyan. Ma’bad lalu bersya’ir:
Hampir roboh untaku, karena hiruk pikuk suara itu
Tatkala bumi mengalirkan sekawanan kuda-kuda yang berpacu
Yang membinasakan dengan para pemberani ketika, menyongsong per-tempuran
Bukan pemberani yang kerdil, bukan pula yang dungu
Aku melompat, karena mengira bumi ini miring
Ketika mereka keluar bersama pimpinan yang disegani
Kukatakan: “Celakalah putra Harb” karena peperangan dengan kalian
Saat tanah lapang penuh dengan bala tentara berkuda
Aku ingatkan dengan lantang kepada penghuni daerah banjir
Kepada setiap yang berakal dan dapat berfikir di antara mereka
Dari tentara Ahmad yang tidak sedikit dan tidak kecil
Dan yang kuingatkan ini bukanlah isu belaka
Tatkala bumi mengalirkan sekawanan kuda-kuda yang berpacu
Yang membinasakan dengan para pemberani ketika, menyongsong per-tempuran
Bukan pemberani yang kerdil, bukan pula yang dungu
Aku melompat, karena mengira bumi ini miring
Ketika mereka keluar bersama pimpinan yang disegani
Kukatakan: “Celakalah putra Harb” karena peperangan dengan kalian
Saat tanah lapang penuh dengan bala tentara berkuda
Aku ingatkan dengan lantang kepada penghuni daerah banjir
Kepada setiap yang berakal dan dapat berfikir di antara mereka
Dari tentara Ahmad yang tidak sedikit dan tidak kecil
Dan yang kuingatkan ini bukanlah isu belaka
Kata Ma’bad selanjutnya: “Maka hal itu membuat Abu Sufyan dan para pengikutnya mengurungkan niat mereka.” Ketika bertemu dengan kafilah dari suku ‘Abdul Qais, Abu Sufyan berkata: “Kemana kalian hendak pergi?” Mereka menjawab: “Ke Madinah.” Ia pun bertanya lagi: “Untuk apa?” Jawab mereka: “Keperluan persediaan bahan makanan.” Abu Sufyan: “Maukah kalian mengirimkan surat yang aku kirimkan untuk Muhammad melalui kalian, dan sebagai gantinya kubawakan untuk kalian anggur keying jika kalian menemui kami di Ukazh.” Mereka menjawab: “Ya, kami setuju.” Kata Abu Sufyan lagi: “Jika kalian menemuinya, kabarkan kepadanya bahwa kami telah siap dan bertekad menyerangnya lagi untuk menghabiskan sisa-sisa pengikutnya.” Maka bertemulah kafilah dengan Rasul di Hamra’ul Asad, lalu merekapun menyebarkan dengan apa yang dikatakan Abu Sufyan dan sahabatnya. Mendengar hal itu Nabi dan para Sahabatnya menyatakan: “Hasbunallah Wani’mal Wakil.”
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abu ‘Ubaidah, ia berkata, bahwa ketika sampai kepada Rasulullah berita kepulangan pasukan musyrikin Quraisy, maka beliau bersabda: “Demi Rabb yang jiwaku berada ditangan-Nya, sesungguhnya telah di panaskan bebatuan untuk mereka, jika mereka bangun pagi, niscaya nasib mereka akan menjadi seperti kemarin.”
Dan firman-Nya, Alladziina qaala laHumun naasu innan naasa qad jama’uu lakum fakhsyauHum fazaadaHum iimaanan (“Yaitu orang-orang [yang mentaati Allah dan Rasul] yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.’ Maka perkataan itu menambah keimanan mereka.”) Maksudnya, orang-orang yang diancam dengan kumpulan pasukan dan ditakut-takuti dengan banyaknya jumlah musuh tidak menjadikan mereka gentar, bahkan mereka semakin bertawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya. Dan mereka menjawab, “Cukup-lah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.
Mengenai firman-Nya ini, hasbunallaaHa wa ni’mal wakiil (“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung,”) Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, yang demikian itu juga dikatakan oleh Ibrahim as. ketika ia dilemparkan ke dalam api, dan dikatakan pula oleh Muhammad ketika orang-orang mengatakan kepada orang-orang beriman, sesungguhnya orang-orang telah berkumpul untuk menyerang kalian, maka takutlah kepada mereka. Namun hal itu justru semakin menambah keimanan mereka, merekapun berkata, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Hadits tersebut juga diriwayatkan an-Nasa’i.
Dan kami juga meriwayatkan dari Ummul Mukminin Zainab dan Aisyah ra, ketika keduanya saling membanggakan diri, lalu Zainab berkata, “Allah-lah yang menikahkanku dari langit sementara kalian dinikahkan oleh wali kalian.” Sedangkan’Aisyah berkata, “Allah-lah yang menerangkan kebersihan dan kesucianku langsung dari langit dan hal itu termaktub dalam
al-Qur’an. Maka menyerahlah Zainab, lalu ia bertanya, “Apa yang anda ucapkan ketika menaiki kendaraan Shafwan bin al-Mu’aththal?” “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Zainab pun berkata, “Anda telah mengucapkan, ungkapan orang-orang yang beriman.”
al-Qur’an. Maka menyerahlah Zainab, lalu ia bertanya, “Apa yang anda ucapkan ketika menaiki kendaraan Shafwan bin al-Mu’aththal?” “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Zainab pun berkata, “Anda telah mengucapkan, ungkapan orang-orang yang beriman.”
Oleh karena itu Allah berfirman, fanqalibuu bini’matim minallaaHi wa fadl-lil lam yamsasHum suu’ (“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia [yang besar] dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa.”) Artinya, ketika mereka benar-benar bertawakkal kepada Allah yam, maka mereka pun diberikan kecukupan dari berbagai hal yang membuat mereka gelisah dan dihindarkan dari serangan orang-orang yang hendak menipunya, sehingga mereka kembali ke negerinya sendiri; bini’matim minallaaHi wa fadl-lil lam yamsasHum suu’ (“dengan nikmat dan karunia [yang besar] dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa.”) Yaitu, dari apa yang disembunyikan musuh-musuh mereka., wattaba’uu ridl-waanallaaHi wallaaHu dzuu fadl-lin ‘adhiim (“Mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”)
Setelah itu Dia berfirman, innamaa dzaalikumusy-syaithaanu yukhawwifu auliyaa-aHu (“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti [kamu] dengan
kawan-kawannya [orang-orang musyrik Quraisy].”) Maksudnya, syaitan itu menakut-nakuti kalian serta menanamkan perasaan pada diri kalian bahwa mereka memiliki kekuatan dan pengaruh.
kawan-kawannya [orang-orang musyrik Quraisy].”) Maksudnya, syaitan itu menakut-nakuti kalian serta menanamkan perasaan pada diri kalian bahwa mereka memiliki kekuatan dan pengaruh.
Maka Allah swt. berfirman, falaa takhaafuuHum wa khaafuuni in kuntum mu’miniin (“Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”) Apabila kalian ditakut-takuti, maka bertawakkallah kepada-Ku, dan berlindunglah kepada-Ku, sebab cukuplah Aku sebagai Pelindung dan Penolong kalian, sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah?” (QS. Az-Zumar: 36).
EmoticonEmoticon