Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 96-99

Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat
tulisan arab alquran surat al maidah ayat 96-99“96. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. 97. Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 98. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya dan bahwa Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 99. kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.” (al-Maa-idah: 96-99)
Dalam sebuah riwayat yang masyur, Ibnu Abbas berkata: “Yang dimaksud dengan buruan laut adalah binatang yang ditangkap dalam keadaan hidup, wa tha’aamuHuu (“dan makanan [yang berasal] dari laut.”) adalah binatang laut yang diambil dalam keadaan telah mati.” Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin ‘Amr, dan Abu Ayyub al-Anshari, juga ‘Ikrimah, Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, Ibrahim an-Nakha’i dan al-Hasan al-Bashri.
Firman Allah: mataa’al lakum wa lis-sayyaarati (“Sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.”) maksudnya sebagai sesuatu yang berguna dan makanan pokok bagi kalian, hai orang-orang yang diajak bicara.
Wa lis-sayyaarati (“Dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.”) kata “sayyaaratun” adalah jamak dari “sayyaarun”.
Ikrimah berkata: “Yaitu bagi orang yang tinggal di sekitar laut dan juga dalam perjalanan.” Sedangkan ulama lain berkata: “Yaitu ikan laut segar bagi orang yang berburu dari kalangan penduduk sekitar laut.” Makanan laut adalah bangkai ikan atau hasil tangkapan yang digarami, dan biasanya dijadikan persediaan bekal oleh para musafir dan orang-orang yang tinggal jauh dari laut. Hal yang sama juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, as-Suddi, dan ulama lainnya.
Jumhur ulama telah menjadikan ayat tersebut sebagai dalil mengenai penghalalan bangkai laut, dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Malik bin Anas, dari Ibnu Wahab dan Ibnu Kisan, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulullah pernah mengirim sebuah utusan menuju ke daerah pantai. Beliau mengangkat Ubaidah Ibnul Jarrah untuk memimpin mereka.
Rombongan itu terdiri dari tiga ratus orang, dan aku adalah salah satu dari mereka. maka kami pun berangkat hingga tiba di salah jalan dan kami kehabisan bekal. Lalu Abu Ubaidah memerintahkan untuk mengumpulkan semua bekal pasukan tersebut. Kemudian semuanya itu dikumpulkan dan ternyata yang terkumpul hanya kurma saja. maka Abu Ubaidah menjatahkan kepada kami setiap hari sedikit demi sedikit sampai habis, sehingga yang ada pada kami masing-masing satu butir kurma.
Kami benar-benar membutuhkan pada saat bekal telah habis. Hingga akhirnya tibalah kami di pantai, ternyata ada seekor ikan paus sebesar anak bukit. Kemudian rombongan itu memakan ikan itu selama 18 hari. Selanjutnya Ubaidah menyuruh mengambil dua potong tulang iganya, lalu dipancangkan. Setelah itu ia menyuruh rombongan itu lewat di bawah kedua tulang itu, dan ternyata tidak menyentuhnya.”
(Hadits tersebut terdapat dalam kitab ash-Shahihain melalui jalur dari Jabir)
Sedangkan di dalam Shahih Muslim disebutkan, “Setelah sampai di Madinah, kami langsung menemui Rasulullah saw. lalu kami ceritakan hal itu, maka beliau bersabda: ‘Yang demikian itu adalah rizki yang dikeluarkan Allah untuk kalian. Apakah kalian masih membawa dagingnya untuk kalian berikan kepada kami?’
Selanjutnya kami mengirimkan utusan kepada Rasulullah saw. untuk memberikan beberapa potong daging kepada beliau, maka beliau pun memakannya.”
Malik meriwayatkan dari Shafwan bin Salim, dari Sa’id bin Salamah seorang keturunan Ibnu Azraq, bahwa Mughirah bin Abu Burdah seorang keturunan Bani Abduddar pernah mendengar Abu Hurairah ra berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., orang itu mengatakan: “Ya Rasulallah, kami pernah berlayar mengarungi lautan, dan kami hanya membawa sedikit air. Jika kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Maka Rasulullah pun menjawab: “Air [laut] itu suci, dan bangkainya pun halal.”
(Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta para penulis kitab as-Sunan yang berjumlah empat orang, dan dishahihkan oleh Imam al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan yang lainnya.)
Menurut riwayat an-Nasa’i juga Imam Ahmad dan Abu Dawud, dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah saw. melarang membunuh katak.”
Ulama lainnya berpendapat: binatang buruan laut yang dapat dimakan adalah ikan, dan tidak diperbolehkan memakan katak. Lalu mereka berbeda pendapat tentang binatang selain kedua binatang di atas [ikan dan katak].
Ada juga yang berpendapat bahwa binatang selain kedua hal itu tidak boleh dimakan. Dan ada lagi yang berpendapat, apa yang serupa dengan yang boleh dimakan di darat boleh juga dimakan di laut. Dan apa saja yang serupa tidak boleh dimakan di darat tidak boleh juga dimakan di laut. Semua itu merupakan pendapat-pendapat yang ada di kalangan madzhab Syafi’i.
Adapun Abu Hanifah mengatakan, bangkai binatang laut tidak boleh dimakan, sebagaimana halnya bangkai binatang darat juga tidak boleh dimakan. Yang demikian itu berdasarkan kepada keumuman firman Allah: hurrimat ‘alaikumul maitatu (“Diharamkan bagi kamu [memakan] bangkai.”) (al-Maa-idah: 3)
Jumhur pengikut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan dalil dengan hadits tetang ikan paus yang telah dikemukakan di atas dan dengan hadits Rasulullah saw.: “Air [laut] itu suci dan bangkainya pun halal.”
Allah berfirman: wa harrama ‘alaikum shaidul barri maa dumtum huruman (“Dan diharamkan [menangkap] binatang buruan darat selama kamu dalam ihram.”) yaitu ketika kalian sedang menjalani ihram, kalian diharamkan untuk berburu. Dalam hal ini terdapat dalil yang menunjukkan pengharaman hal itu.
Jadi, jika seseorang yang berihram berburu binatang buruan dengan sengaja, ia berdosa dan harus membayar denda, atau jika membunuhnya karena kelalaian [tidak sengaja], ia harus membayar denda dan diharamkan baginya memakannya, karena baginya binatang itu adalah ibarat bangkai. Demikian halnya bagi yang lainnya dari kalangan orang-orang yang berihram dan yang tidak berihram, menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i pada salah satu dari dua pendapatnya. Dan hal itu juga dikemukakan oleh ‘Atha’, al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan yang lainnya.
Jika ia memakannya atau sebagian darinya, apakah ia harus membayar denda yang kedua kalianya? Mengenai hal ini ada dua pendapat:
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ia harus membayar denda. Abdurrazzaq mengatakan dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’: “Jika ia menyembelih, lalu memakannya, dia harus membayar dua kafarat.” Dan pendapat itu pula yang menjadi pegangan sekelompok ulama.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak harus membayar denda karena memakannya. Demikian ditetapkan oleh Imam Malik bin Anas.
Abu Umar bin Abdil Barr berkata: “Pendapat ini merupakan pendapat para fuqaha kota-kota besar dan jumhur ulama.” Kemudian Abu Umar berkomentar terhadap permasalahan, jika seseorang berhubungan badan, lalu ia melakukan hubungan badan lagi, kemudian ia melakukan lagi [ketiga kalinya] sebelum diputuskan baginya hukuman, maka baginya hanya satu hukuman.
Abu Hanifah berkata: “Ia berkewajiban membayar nilai yang setara dengan apa yang ia makan.” wallaaHu a’lam.
Jika orang yang bertahallul berburu binatang buruan, lalu ia memberikannya kepada orang yang berihram, menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dalam sebuah riwayat, dan jumhur ulama berpendapat: orang yang berihram itu tidak boleh memakannya. Hal ini didasarkan pada hadits ash-Sha’b bin Jas-tsamah. Dia pernah menghadiahkan seekor keledai liar kepada Nabi saw ketika beliau sedang berada di Abwa’ atau Waddan. Maka beliau mengembalikannya. Tatkala beliau melihat perubahan raut wajahnya, beliau bersabda:
“Sesungguhnya kami tidak mengembalikannya kepadamu, melainkan karena kami tengah mengerjakan ihram.”
(Hadits ini dikeluarkan di dalam ash-Shahihain, dan hadits ini mempunyai lafadz yang banyak sekali)
Para ulama berkata: “Maksud dari penolakan Nabi saw. adalah beliau menduga orang itu memburu keledai liar tersebut semata-mata untuk diberikan kepada beliau. Oleh karena itu beliau menolaknya.” Akan tetapi jika hal tersebut tidak dimaksudkan demikian, dagingnya boleh dimakan, yaitu berdasarkan hadits Abu Qatadah ketika ia berburu keledai liar, yang ketika itu ia tidak dalam keadaan berihram. Sedangkan para shahabanya tengah berihram. Maka mereka tidak langsung memakannya, tetapi mereka bertanya terlebih dahulu kepada Rasulullah saw. beliau bertanya: “Apakah ada seorang di antara kalian yang menunjukkannya, atau membantu membunuhnya?” “Tidak,” jawab mereka. Maka beliau bersabda: “Makanlah.” Rasulullah saw pun ikut memakan daging buruan itu. (kisah ini telah ditegaskan dalam ash-shahihain dengan lafadz yang banyak).
Imam Ahmad mengatakan dari Jabir bin ‘Abdillah: “Rasulullah bersabda –Qutaibah menceritakan dalam haditsnya: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Berburu binatang daratan adalah halal bagi kalian.”
Sa’id berkata: “Dan kalian dalam keadaan berikhram, selama kalian bukan orang yang memburunya, atau bukan sengaja diburu untuk kalian.”
(Hal yang sama juga diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Nasa-i, yang semuanya dari Qutaibah. At-Tirmidzi mengatakan: “Kami tidak mengetahui bahwa Muththalib pernah mendengar dari Jabir.” Juga diriwayatkan Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i melalui jalan ‘Amr bin Abi ‘Amr, dari maulanya, al-Muththalib, dari Jabir. Kemudian asy-Syafi’i berkata: “Ini merupakan hadits terbaik yang diriwayatkan dalam masalah ini.”)
Malik mengatakan dari ‘Abdullah bin Abu Bakar, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah, ia berkata: Aku pernah melihat ‘Utsman bin ‘Affan di ‘Araj ketika ia sedang berihram saat di musim panas, dan ia menutup wajahnya dengan kain beludru berwarna ungu. Lalu ia datang dengan membawa daging binatang buruan. Kemudian ia berkata kepada para sahabatnya: “Makanlah.” Maka mereka berkata: “Apakah engkau tidak ikut makan?” Utsman menjawab: “Keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya binatang buruan itu diburu hanya untukku.”
Allah berfirman: wat taqullaaHal ladzii ilaiHi tuhsyaruun (“Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.”) maksudnya bertakwalah kepada Allah atas apa yang Allah larang kalian melakukannya. Yaitu yang kepada-Nya kalian akan dikumpulkan dan bukan kepada selain-Nya. Dalam penggalan ayat tersebut terdapat penekanan dan penegasan pada peringatan. Setelah itu Allah menyebutkan tentang pengumpulan dan hari kiamat sebagai tekanan pada ancaman dan peringatan.
Allah berfirman: ja’alallaaHul ka’batal baital haraama qiyaamal linnaasi wasy syaHral haraama wal Hadya wal qalaa-ida dzaalika lita’lamuu annallaaHa ya’lamu maa fis samaawaati wamaa fil ardli wa annallaaHa bikulli syai-in ‘aliim.
(“Allah telah menjadikan ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia] bagi manusia, dan [demikian pula] bulan Haram, hadya, dan qalaid. [Allah menjadikan yang] demikian itu agar kamu tahu bahwa –sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”)
Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya bahwa Allah telah membangunkan Baitul Haram sebagai tempat ibadah, tempat berlindung, dan mencari keamanan bagi umat manusia, di sana mereka tinggal dengan penuh rasa aman. Ada yang berpendapat: di tempat itu mereka menjalankan semua syariat-Nya.
Mengenai firman-Nya: qiyaamal linnaasi (“Sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia] bagi manusia”) Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: “Sebagai tempat ummat untuk menjalankan agama mereka, dan sebagai syi’ar bagi haji mereka.” dari Mujahid, ia mengatakan: “Sebagai tempat beribadah bagi umat manusia.”
Disebut Ka’bah, karena ia merupakan bangunan persegi empat. Dan Baitul Haram disebut bait [rumah], karena ia mempunyai atap dan dinding, dan ia adalah hakekat rumah yang sebenarnya, meskipun tidak ada seorang pun yang menempatinya. Dan disebut “haram” karena pengharamannya oleh Allah, seperti pengharaman-Nya atas berburu binatang buruannya [di Tanah Haram] atau memotong pohonnnya.
Allah berfirman: al ka’batal baital haraama qiyaaman (“Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat [peribadatan dan urusan dunia]”) Ka’bah merupakan maf’ul [obyek] pertama bagi kata ja’ala [menjadikan]. Adapun kata al-bait [rumah] merupakan ‘athaf bayan. Adapun kata al-haram merupakan na’at [sifat] bagi kata al-bait. Dan kata qiyaman merupakan maf’ul kedua.
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi mengatakan: “Para ulama mengemukakan: Hikmah dijadikannya semua itu sebagai tempat ibadah bagi umat manusia, adalah manusia menciptakan manusia dengan tabiat kemanusiaan, yaitu berupa kedengkian, saling bersaing, saling memutuskan, saling membelakangi, saling merampas, menyerang, membunuh, dan balas dendam. Merupakan suatu kepastian di balik hikmah Ilahiyyah dan kehendak-Nya, bahwa barangsiapa yang selalu menjaga dirinya dari sifat-sifat tercela tersebut, kesudahannya akan terpuji.
Allah berfirman: innii jaa’ilun fil ardli khaliifatan (“Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi”) dengan demikian Allah memerintahkan mereka untuk mendirikan kekhalifahan dan urusan mereka kepada satu orang, yang dapat menghindarkan mereka dari perselisihan dan mengarahkan mereka pada persatuan, serta menolak orang dhalim dari yang didhalimi, dan melindungi orang yang mengajukan perwakilan kepadanya.”
Ibnu Qasim meriwayatkan: Malik menceritakan kepada kami, bahwa ‘Utsman bin ‘Affan pernah berkata: “Karunia yang diberikan oleh Allah kepada seorang imam sehingga dapat berbuat adil, melebihi karunia yang Allah berikan kepada seseorang yang memahami al-Qur’an.”
Abu ‘Umar menyebutkan: “Adanya penguasa selama satu tahun dalam keadaan kacau akan lebih sedikit dampak negatifnya daripada keadaan manusia yang kacau tanpa penguasa dalam waktu sesaat.”
Lalu Allah mengadakan kekhalifahan untuk mendapatkan manfaat ini, supaya dengan demikian, semuanya dapat berjalan sesuai dengan pandangannya, dan karenanya Allah akan menjaga sikap berlebihan masyarakat. Maka Allah mengagungkan Baitul Haram di dalam hati mereka, dan memunculkan di dalam diri mereka kewibawaannya [Baitul Haram], dan mengagungkan kesuciannya di tengah-tengah mereka. orang yang berlindung kepadanya, akan terperlihara dan orang yang tertindas akan terjaga jika berada di dalamnya.
Berkenaan dengan ini Allah berfirman: awalam yaraw annaa ja’alnaa haraman aaminaw wa yutakhaththafun naasu min hauliHim (“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan [negeri mereka] tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya saling merampok?”)(al-Ankabuut: 67). Dan Baitul Haram adalah rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia. Firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia.” (Ali ‘Imraan: 96-97)
Firman Allah: wasy syaHral haraama (“Dan [demikian pula] bulan Haram”) maksudnya dan Allah menjadikan bulan Haram itu sebagai tempat perlindungan yang lain, yang memberikan rasa aman kepada umat manusia, dalam tindakan dan kehidupan mereka. dengan demikian Baitula Haram adalah perlindungan yang bersifat makani [tempat], sementara bulan Haram adalah sebagai perlindungan yang bersifat zamani [waktu]. Yang dimaksud dengan bulan Haram adalah empat bulan Haram, dan hal itu merupakan nama jenis. Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya adalah empat bulan Haram.” (at-Taubah: 36)
Tiga bulan di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, yang keempat adalah Rajab. Allah telah menjadikannya pada pertengahan tahun sebagai wujud kelembutan [kasih sayang-Nya] bagi semua hamba-Nya, dan pemberian rasa aman kepada mereka dalam setahun. Dengan rahmat dan kasih-sayang-Nya, Allah menciptakan “penghormatan” dan “pengagungan” pada hati dan diri manusia terhadap bulan-bulan Haram tersebut. Jiwa dan hati seseorang tidak merasa takut atau ingin membalas dendam pada bulan-bulan tersebut, sehingga ada seseorang yang bertemu dengan pembunuh ayahnya tetapi ia tidak melakukan balas dendam dan menyakiti sedikitpun.
Allah berfirman: wal Hadya wal qalaa-ida (“Dan [demikian pula] hadya dan qalaid.”) Allah telah menjadikan hadya sebagai pemberi rasa aman bagi orang yang menggiringnya. Karena menggiringnya berarti memberitahukan bahwa pelakunya itu tengah beribadah, sehingga tidak ada yang berbuat jahat kepadanya. Demikian halnya dengan pemakaian al-qalaid [kalung pada hewan kurban]. Dulu pada zaman Jahiliyyah, orang yang hendak berangkat haji mengalungi diri dengan tombak dan ketika pulang kembali ke rumah, ia mengalungi diri dengan salah satu pohon Tanah Haram. Hal tersebut diharapkan akan menghindarkannya dari pencuri atau perampok atau yang lainnya.
Hal yang sama terdapat pada pengalungan hewan kurban dan pemberian syi’ar padanya, maka hal itu memberikan rasa aman baginya. Kemudian datang Islam, maka rasa aman pun tersebar dimana-mana, dan dunia pun berjalan dengan teratur dan pada rel keadilan. Islam mengakui dan mendukung setiap kemaslahatan dan kebaikan; membasmi segala bentuk khurafat dan berbagai kebiasaan buruk. Segala puji dan karunia hanya milik Allah.
Firman Allah: dzaalika lita’lamuu annallaaHa ya’lamu maa fis samaawaati wa maa fil ardli wa annallaaHa bikulli syai-in ‘aliim (“[Allah menjadikan yang] demikian itu agar kamu tahu bahwa sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu.”)
Firman-Nya tersebut memberikan isyarat kepada dijadikannya semuanya itu sebagai tempat ibadah bagi manusia, agar kalian mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengetahui semua urusan secara terinci, baik yang terdapat di langit maupun dibumi, dan Allah mengetahui kemaslahatan makhluk yang menghuninya. Allah Mahalembut lagi Mahamengetahui.
Firman-Nya: i’lamuu annallaaHa syadiidul ‘iqaabi wa annallaaHa ghafuurur rahiim (“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya, dan bahwa sesungguhnya Allah Mahapengampun Lagi Mahapenyayang.”)
Allah memberitahukan bahwa Allah memiliki siksa yang amat pedih sebagai ancaman bagi orang-orang yang suka berbuat maksiat kepada-Nya, dan mendustakan Rasul-Rasul-Nya. Selain itu, agar orang-orang yang berbuat maksiat itu tidak merasa aman akan adzab-Nya, hanya karena keluasan rahmat-Nya dan penangguhan adzab-Nya yang cukup lama.
Allah pun memberitahukan bahwa Allah Mahapengampun Lagi Mahapenyayang, sebagai pemberi harapan dan dorongan bagi orang-orang yang bertaubat kepada-Nya, menaati-Nya, membenarkan Rasul-Rasul-Nya, khususnya apa yang dibawa oleh Rasul-Nya, Muhammad saw., yang merupakan penutup para Nabi sekaligus pemimpin para Rasul.
Firman-Nya: maa ‘alar rasuuli illaal balaaghu (“Kewajiban Rasul itu tidak lain hanyalah menyampaikan”) maksudnya tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan hidayah, taufiq maupun pahala, karena tugasnya tidak lain hanyalah menyampaikan saja, sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya:
“Jika mereka berpaling, maka Kami tidak mengutusmu sebagai pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan [risalah].” (asy-Syuura: 48)
Dan Rasulullah saw. telah menyampaikan dan menunaikan amanah yang diembankan kepada beliau, dan sudah pula memberikan nasehat kepada umatnya. Allah berfirman yang artinya: “Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan kamu sekali-sekali tidak tercela.” (adz-Dzaariyaat: 54)
Dalam hadits mengenai Haji Wada’, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Muslim dan Abu Dawud, Rasulullah saw. bersabda:
“Aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang kalian tidak akan tersesat setelahku jika kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah. Dan kalian akan ditanya mengenai diriku, maka apa yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab: “Kami akan bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan amanat, serta memberikan nasehat.” Kemudian beliau bersabda seraya mengangkat jari telunjuk, dan mengarahkan kepada orang-orang: “[Ya] Allah saksikanlah!” sebanyak tiga kali.
Firman-Nya: wallaaHu ya’lamu maa tubduuna (“Dan Allah mengetahui apa yang kamu tampakkan.”) Yaitu yang kalian perlihatkan. Wa maa taktumuun (“Dan apa yang kamu sembunyikan”) maksudnya apa yang kalian rahasiakan di dalam hati kalian, berupa kekufuran dan yang lainnya. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun dari amal kalian yang tersembunyi bagi Allah, dan Dia akan memberikan balasan atasnya. Jika baik akan diberi balasan kebaikan, dan jika buruk akan diberi balasan keburukan. Dalam penggalan ayat ini terdapat ancaman dan peringatan yang keras.


EmoticonEmoticon