Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 92-93

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 92-93“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman, serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka denganmu, maka (hendaklah sipembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.(QS. 4:92) Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya, serta menyediakan adzab yang besar baginya. (QS. 4:93)” (an-Nisaa’: 92-93)
Allah berfirman: “Tidak boleh bagi seorang mukmin membunuh saudaranya yang mukmin dengan jalan apapun.” Sebagaimana terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yangberhak diibadahi) kecuali Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga alasan; jiwa (dibalas) dengan jiwa, orang yang telah menikah yang berzina dan orang yang keluar dari agama meninggalkan jama’ah.”
Kemudian jika terjadi sesuatu di antara tiga alasan tersebut, makatidak boleh individu dari masyarakat membunuhnya. Hal itu hanya boleh dilaksanakan oleh imam atau pihak yang diberi wewenang.
Firman Allah: illaa khatha-an (“Kecuali karena tersalah.”) Menurut para ahli tafsir, kalimat ini adalah ) istitsna’ munqathi’ (pengecualian terputus), seperti perkataan sya’ir:
Dari telurnya (burung unta itu) tak pernah pergi jauh dan tak pernah menginjak tanah.
Kecuali karena cuaca dingin yang memaksanya pergi berpindah.
Dan banyak lagi bukti-bukti yang lain. Sebab turunnya ayat ini diperselisihkan. Mujahid dan lain-lain berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan`Iyasy bin Abi Rabi’ah saudara seibu Abu Jahal. Ibunya yaitu Asma’ binti Makhramah. Hal itu karena `Iyasy membunuh al-Harits bin Yazid al-Ghamidi, seorang laki-laki yang penah menyiksanya bersama saudaranya (Abu Jahal) karena masuk Islam. `Iyasy lalu menyembunyikan kemarahan kepada orang itu. Laki-laki (al-Harits) tersebut kemudian masuk Islam dan hijrah, sedangkan`Iyasy tidak mengetahuinya. Ketika hari fat-hu Makkah, dia melihat lalu menyangka bahwa laki-laki (al-Harits) itu masih menganut agamanya, sehingga `Iyasy pun menyerangnya dan membunuhnya. Lalu, Allah menurunkan ayat ini.”
`Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: “Ayat ini turun tentang Abud Darda’ yang membunuh seorang laki-laki yang telah mengucapkan kalimat keimanan, di saat ia mengangkat pedangnya dan dia pun menebaskan pedang padanya dan dia telah mengucapkan (kalimat keimanan) itu. Ketika diceritakan kepada Nabi saw, Abud Darda’ berkata: `Dia mengucapkannya hanya untuk melindungi diri.’ Beliau bersabda: `Apakah engkau belah dadanya?’ Kisah ini terdapat dalam kitab shahih, tetapi bukan mengenai Abud Darda. (Pelaku kisah sebagaimana dalam hadits shahih adalah Usamah bin Zaid)
Dan firman-Nya: wa man qatala mu’minan khatha-an fatahriiru raqabatim mu’minatiw wadiyatum musallamatun ilaa aHliHi (“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, [hendaklah] memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman, serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya [si terbunuh itu]”.) Ini adalah dua kewajiban untuk pembunuhan karena tersalah, salah satunya adalah kaffarat akibat melakukan dosa besar, sekalipun tersalah. Dan di antara syarat kaffarat adalah memerdekakan budak yang mukmin, tidak boleh yang kafir.
Pendapat Jumhur adalah kapanpun seorang itu muslim, maka dibenarkan memerdekakannya sebagai kaffarat, baik budak yang masih kecil atau yang sudah besar. Imam Ahmad meriwayatkan dari `Abdullah bin `Abdillah, dari seorang laki-laki Anshar bahwa ia datang membawa seorang budak hitam, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku punya kewajiban memerdekakan budak mukmin. Jika engkau berpendapat dia mukmin, aku akan memerdekakannya, maka Rasulullah saw. bertanya kepada budak itu: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang haq) kecuali Allah?” Dia menjawab: “Ya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Dia menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apakah engkau beriman dengan kebangkitan setelah mati?” Dia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: “Merdekakanlah.” (Isnad hadits ini shahih, sedangkan ketidaktahuan nama Sahabat ada berpengaruh dalam keshahihannya).
Di dalam kitab al-Mu waththa’ karya Imam Malik serta Musnad asy-Syafi’i dan Musnad Ahmad, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud dan Sunan an-Nasa’i, Mu’awiyah bin al-Hakam bahwa tatkala ia datang membawa budak wanita hitam, Rasulullah berkata kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di langit.” Beliau bertanya: “Siapa aku?” Dia menjawab: “Engkau Rasulullah saw.” Rasulullah saw. bersabda: “Merdekakanlah dia, karena dia adalah wanita mukminah.”
Firman Allah: wadiyatum muslimatun ilaa aHliHaa (“Membayar diyat yang diserabkan kepada keluarganya.”) Yaitu kewajiban kedua antara pembunuh terhadap keluarga korban, sebagai ganti atas sesuatu yang hilang dari mereka, yaitu si korban. Diyat ini wajib dibagi lima macam, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para penulis kitab Sunan, dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, Rasulullah saw. menetapkan untuk diyat (denda pembunuhan) karena tersalah; 20 ekor anak unta betina yang umurnya masuk dua tahun, 20 ekor anak unta jantan yang urnurnya masuk dua tahun, 20 ekor anak unta betina yang umurnya masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina yang umurnya masuk lima tahun, dan 20 ekor anak unta betina yang umurnya masuk empat tahun. Demikian menurut (teks) an-Nasa’i.
At-Tirmidzi berkata: “Kami tidak mengetahuinya secara marfu’ kecuali dari jalan ini. Dan diriwayatkan secara mauquf dari `Abdullah, sebagaimana diriwayatkan pula dari `Ali dan sekelompok (Sahabat) lainnya.”
Satu pendapat mengatakan: “Wajib dibagi menjadi empat macam. Diyat ini hanya wajib atas wali pembunuh, bukan dalam hartanya (harta si pembunuh).”
Asy-Syafi’i berkata: “Aku tidak mengetahui ada perbedaan bahwa Rasulullah saw. menetapkan diyat untuk wali. Hal itu lebih banyak dari pada hadits-hadits khusus.” Pandangan yang dikemukakan ini ada dalam banyak hadits.
Di antaranya hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Dua wanita Hudzail bertikai. Salah satunya dilempar batu hingga dia dan anak dalam kandungannya meninggal. Mereka lalu mengadukan perkara tersebut kepada Rasulullah saw, lalu beliau memutuskan bahwa diyat janinnya adalah memerdekakan budak laki-laki atau wanita. Sedangkan diyat wanita ditetapkan atas walinya. Ini mengandung pengertian, bahwa hukum tindakan sengaja yang salah adalah sama dengan hukum semata-semata salah (dalam pembunuhan) dalam kewajiban diyatnya. Akan tetapi dalam hal ini, diyat wajib dibagi tiga karena serupa dengan yang sengaja.
Di dalam kitab Shahih al-Bukhari dari `Abdullah bin `Umar, ia berkata: “Rasulullah saw. mengutus Khalid bin al-Walid kepada Bani Judzaimah untuk masuk Islam, mereka tidak bisa sempurna mengucapkan: `Kami Islam.’ Mereka hanya mengucapkan: ‘Shabana’ (Kami telah keluar dari agama kami, agama kaum kami), lalu Khalid membunuh mereka. Berita itu sampai kepada Nabi, lalu dengan mengangkat kedua tangannya beliau bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh Khalid.’ Lalu beliau mengutus `Ali untuk menebus orang-orang yang terbunuh, dan harta-harta mereka yang rusak (hancur), hingga tempat minum dan makan anjing mereka.”
Dari hadits ini dapat diambil hukum bahwa kesalahan Imam dan para pelaksananya dibebankan kepada Baitul Maal.
Firman-Nya: illaa ay yash-shaddaquu (“Kecuali jika mereka bersedekah.”) Yaitu wajib memberikan diyat yang diserahkan kepada keluarga korban, kecuali mereka merelakannya, maka hal itu tidak lagi menjadi wajib.
Firman Allah: fa in kaana min qaumn ‘aduwwil lakum wa Huwa mu’minun fa tahriruu raqabatim mu’minatin (“Jika ia [si terbunuh] dari kaum yang memusiuhimu, padahal ia mukmin, maka [hendaklah si pembunuh] memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.”) Jika si korban adalah seorang muslim, sedangkan walinya adalah kafir harbi, maka tidak berlaku diyat untuk mereka. Kewajiban pembunuh adalah membebaskan budak mukmin dan tidak ada kewajiban lainnya.
Firman-Nya: wa in kaana min qaumim bainakum wa bainaHum miitsaaq (“Dan jika ia [si terbunuh] dari kaum [kafir] yang ada perjanjian [damai] antara mereka dengan kamu. Yaitu jika para wali si korban adalah ahlul dzimmah atau yang memiliki perjanjian damai, maka mereka mendapatkan diyat korban. Jika si korbanmukmin, maka wajib diyat sempurna, begitu juga jika si korban itu kafir menurut sebagian ulama.
Pendapat lain mengatakan: “Bagi orang kafir, wajib setengah diyat orang muslim.” Satu pendapat lagi mengatakan 1/3, sebagaimana diuraikan dalam kitab “al-Ahkaam” (karangan Ibnu Katsir). Wajib pula pembunuh memerdekakan seorang budak mukmin.
Fa mal lam yajid fashiyaamu syaHraini mutataabi’aini (“Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut”.) Yaitu tidak boleh berbuka di antara hari-hari itu, harus bersambung terus-menerus. Jika ia berbuka tanpa udzur seperti dari udzur sakit, haid atau nifas, maka harus mulai dari awal. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah safar (bepergian), apakah dapat memutuskan puasanya atau tidak. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
Firman-Nya: taubatam minallaaHi wa kaanallaaHu ‘aliiman hakiiman (“Sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana”.) Yaitu, taubat pembunuh karena salah, jika tidak mendapatkan budak yang harus dimerdekakan, ia harus puasa 2 bulan berturut-turut. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang tidak mampu berpuasa, apakah wajib memberi makan 60 orang miskin, seperti dalam kaffarat zhihar, hal ini terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan ya, sebagaimana yang dinashkan (di-sebutkan dalam al-Qur’an) tentang kaffarat zhihar. Di sini memang tidak disebutkan, karena tempatnya adalah dalam upaya mengancam, memberikan rasa takut atau memperingatkan, sehingga jika disebut masalah memberi makan, maka tidak sesuai, karena mengandung kemudahan dan keringanan.
Pendapat kedua mengatakan, tidak boleh berpaling kepada memberi makan, seandainya hal itu wajib, niscaya penjelasannya tidak diakhirkan pada waktu dibutuhkan.
Wa kaanallaaHu ‘aliiman hakiiman (“Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”) Tafsimya sudah berlalu berkali-kali.
Kemudian, setelah Allah menjelaskan hukum pembunuhan tersalah. Allah pun menjelaskan hukum pembunuhan dengan sengaja, Allah berfirman: wa may yaqtul mu’minam muta’ammidan (“Dan barangsiapa yang nembunuh seorang mukmin dengan sengaja.”) Ini adalah ancaman keras, orang yang melakukan dosa besar yang mana pada beberapa tempat dalamal-Qur’an diiringi dengan dosa syirik. Allah berfirman dalam Surat al-Furqaan yang artinya: “Dan orang-orang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar.” (Al-Furqaan: 68)
Ayat-ayat dan hadits yang mengharamkan pembunuhan banyak sekali, antaranya hadits yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Ibnu Mas’ud ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Hal pertama kali yang akan diadili pada hari Kiamat adalah masalah darah.”
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari `Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Seorang mukmin senantiasa dalam keadaan cepat dalam perjalanannya selama belum menumpahkan darah haram. Jika ia menumpahkan darah haram, maka terhentilah (karena lelah dan lemah).”
Dalam hadits lain disebutkan: “Barangsiapa yang membantu pembunuhan seorang muslim sekali pun dengan setengah kalimat, maka pada hari Kiamat ia akan datang dan tercatat di antara matanya orang yang putus asa dari rahmat Allah.” (Sunan Ibnu Majab dalam bab: “Diyat.”)
Ibnu `Abbas berpendapat bahwa tidak berlaku taubat bagi pembunuh seorang muslim secara sengaja.
Al-Bukhari berkata, Adam menceritakan kepada kami, dari Syu’bah, al-Mughirah bin Nu’man, ia berkata, Aku mendengar Ibnu Jubair berkata: “Ulama Kufah berbeda pendapat tentang masalah tesebut, lalu aku pergi menuju Ibnu `Abbas untuk menanyakannya. Beliau menjawab (bahwa) ayat: wa may yaqtul mu’minam muta’ammidan fa jazaa-uHuu jaHannama (“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam,”) adalah ayat yang terakhir turun dan tidak ada lagi yang menasakhnya. (Demikian yang diriwayatkan Imam Muslim dan an-Nasa’i).
Di antara ulama Salaf yang berpendapat tidak diterimanya taubat yang (membunuh dengan sengaja) adalah Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Abdullah bin `Umar, Abu Salamah bin `Abdurrahman, `Ubaid bin ‘Umair, al-Hasan, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim yang dinukil oleh Ibnu Hatim.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Idris, ia berkata, aku mendengar Mu’awiyah berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Setiap dosa pasti diampuni oleh Allah, kecuali seseorang yang mati kafir atau seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” (Juga diriwayatkan an-Nasa’i). Wallahu a’lam.
Sedangkan pendapat Jumhur ulama Salaf dan khalaf bahwa pembunuh masih memiliki kesempatan taubat antara dia dan Allah. Jika ia taubat kembali kepada Allah ‘, khusyu’, tunduk dan beramal shalih, niscaya Allah akan menggantikan keburukannya dengan kebaikan serta menjadikanh ridha kepadanya, dan ridha terhadap kezhalimannya. Allah berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah. Dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan yang benar dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan adzab pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih.” (Al-Furqaan: 68-70)
Ini adalah berita yang tidak dapat dihapus atau dibatalkan dan ayat tersebut adalah ditujukan kepada orang-orang musyrik. Sedang mengarahkan ayat ini pada orang-orang mukmin merupakan hal yang bertentangan dengan zhahirnya. Dan arahan seperti itu memerlukan dalil. Wallahu a’lam.
Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah”. (QS. Az-Zumar: 53). Ini berlaku umum untuk semua dosa; kekufuran, kesyirikan, keraguan, kemunafikan, pembunuhan, kefasikan dan lain-lain, maka siapa saja yang dari semua itu, Allah pasti akan menerimanya.
Allah berfirman: innallaaHa laa yaghfiru ay yusyraka biHii wa yaghfiru maa duuna dzaalika limay yasyaa-u (“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni segala dosa yang selain dari [syirik] itu.”) (QS. An-Nisaa’: 48). Ayat ini umum untuk semua dosa selain syirik. Penyebutan hal itu dalam surat yang mulia ini, baik sebelum maupun sesudah ayat ini adalah untuk memperkuat harapan. Wallahu a’lam.
Telah tersebut di dalam kitab ash-Shahihain tentang kisah seorang Bani Israil yang membunuh 100 jiwa. Kemudian, ia bertanya kepada seorang alim, apakah ia dapat bertaubat, lalu sang alim berkata: “Siapa yang dapat menghalangi antara engkau dan taubat.” Lalu ia menunjuki kepada sebuah negeri untuk beribadah kepada Allah, lalu ia hijrah ke sana dan meninggal di jalan, lalu dicabut ruhnya oleh Malaikat rahmat.
Jika ini berlaku pada Bani Israil, maka untuk umat ini penerimaan taubat lebih utama dan lebih patut. Karena Allah telah meletakkan dari kita beban-beban dan belenggu-belenggu yang dahulu dibebankan atas mereka, serta telah mengutus Nabi kita dengan agama hanifiyyah yang penuh kemudahan. Sedangkan ayat yang mulia ini yaitu firman Allah: wa may yaqtul mu’minam muta’ammidam (“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.”) Abu Hurairah dan Jama’ah Para Salaf berkata: “Ini adalah balasan untuknya (pembunuh seorang mukmin dengan sengaja), jika Allah membalasnya.”
Makna ungkapan ini bahwa, sesungguhnya inilah balasannya jika ia dibalas atasnya. Demikianlah setiap ancaman terhadap satu dosa, akan tetapi terkadang ada amal-amal shalih yang menjadi penghalang sampainya balasan tersebut kepadanya, berdasarkan salah satu di antara dua pendapat golongan penyeimbang dan hati-hati. Dan ini adalah pendapat terbaik yang ada pada bab ancaman. Wallahu a’lam.
Seandainya pembunuh itu masuk ke dalam api Neraka -baik menurut pendapat Ibnu `Abbas dan Para pendukungnya yang menyatakan tidak diterima taubatnya, ataupun menurut pendapat Jumhur di mana tidak ada amal shalih yang dapat menyelamatkannya- maka dia tidak kekal selama-selamanya di Neraka. Akan tetapi yang dimaksud khulud (kekalnya) di sini adalah tinggal lama.
Sesungguhnya ada hadits-hadits yang mutawatir bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya akan keluar dari api Neraka, orang yang di dalam hatinya terdapat iman walaupun seberat biji sawi yang paling kecil.”
Sedangkan orang yang mati dalam keadaan kafir, maka nash menegaskan bahwa Allah tidak mengampuninya sama sekali. Sedangkan tuntutan korban terhadap pembunuh pada hari Kiamat, itu merupakan salah satu hak manusia dan hal itu tidak dapat gugur dengan sebab taubat. Akan tetapi mesti dikembalikan (hal itu) kepada mereka. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara korban pembunuhan, korban pencurian, korban perampasan, korban pencemaran nama baik dan seluruh hak-hak anak Adam.
Karena, sesungguhnya ijma’ mengaitkan bahwa hal tersebut tidak gugur dengan sebab taubat, akan tetapi harus dikembalikan kepada mereka dalam kebenaran taubat. Jika hal itu tidak terlaksana, maka harus ada tuntutan pada hari Kiamat, akan tetapi adanya tuntutan itu tidak berarti adanya pembalasan. Karena bisa jadi pembunuh memiliki amal-amal shalih yang diserahkan kepada korban atau sebagian amalnya. Kemudian masih tersisa pahalanya dan bisa untuk masuk Jannah atau Allah akan menggantikan untuk si korban itu karunia yang dikehendaki-Nya, berupa istana dan kenikmatan Surga serta mengangkat derajatnya, dan lain-lain. Wallahu a’lam.
Sedangkan untuk pembunuh yang sengaja, berlaku hukum-hukum dunia dan hukum-hukum akhirat. Untuk hukum-hukum dunia diserahkan kepada wali korban. Allah berfirman, “Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telab memberi kekuasaan kepada ahli warisnya.” (QS. Al-Israa’: 33).
Mereka (para wali) dapat memilih antara membunuh (qishash) atau memaafkannya atau mengambil diyat berat (100 unta) yang dibagi 3 macam umur (30 unta umur empat tahun,30 unta umur lima tahun, dan 40 khalfah) sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab “al-Ahkaam” (Ibnu Katsir).
Para Imam berbeda pendapat, apakah ia wajib membayar kaffarat dengan memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan (60 orang miskin) menurut salah satu pendapat terdahulu pada pembahasan tentang kaffarat pembunuhan karena tersalah.
Dalam hal ini ada dua pendapat; Imam Asy-Syafi’i, para pengikutnya dan sekelompok ulama berkata: “Ya wajib. Karena, jika ia wajib kaffarat dalam tersalah, maka mewajibkan kaffarat terhadap pembunuh dengan sengaja lebih tepat.” Sedangkan para pengikut Imam Ahmad dan yang lainnya berkata: “Dosa pembunuh yang sengaja terlalu besar untuk bisa ditebus. Maka tidak berlaku kaffarat padanya, begitu pula sumpah palsu”. Mereka tidak dapat membedakan antara dua bentuk tersebut dan antara shalat yang ditinggalkan dengan sengaja. Karena mereka berkata: “Wajib qadha jika (shalat itu) ditinggalkan dengan sengaja.”
Ulama yang berpendapat wajibnya kaffarat dalam pembunuhan yang disengaja, berdalil dengan riwayat Imam Ahmad dari Watsilah bin al-Asqa’, ia berkata: “Sekelompok Bani Sulaim mendatangi Nabi saw. dan berkata: “Sesungguhnya teman kami telah diwajibkan (masuk Neraka karena membunuh).” Beliau bersabda: “Merdekakanlah seorang budak wanita, niscaya Allah akan menebus setiap satu anggota tubuh budak itu dengan satu anggota tubuhnya dari api Neraka.” (Dan demikian pula riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i).


EmoticonEmoticon