Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 10

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 10“Dalam Kati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. 2:10)
Mengenai Firman-Nya,
Fii quluubiHim mara-dlun (“Di dalam hati mereka ada penyakit,”) as-Suddi menceritakan, dari Ibnu Masud dan beberapa orang sahabat Rasulullah , ia mengatakan: “Yaitu keraguan, lalu Allah menambah keraguan itu dengan keraguan lagi”.
Menurut Ikrimah dan Thawus: “Di dalam hati mereka ada penyakit, yaitu riya.”
Sedangkan mengenai firman-Nya, bimaa kaanuu yakdzibuun (“Disebabkan mereka berdusta.”) Ada yang membaca” “yukadzdzibuun”. Mereka menyandang sifat ragu dan riya’. Sungguh mereka berdusta dan bahkan mereka mendustakan hal-hal yang ghaib.
Al-Qurthubi dan beberapa orang mufassir pernah ditanya mengenai hikmah Rasulullah menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik, padahal beliau mengetahui sendiri tokoh-tokoh mereka itu. Lalu para mufassir itu memberikan beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut, yang salah satunya adalah apa yang ditetapkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw pernah mengatakan kepada `Umar bin al-Khaththab: “Aku tidak suka kalau nanti bangsa Arab ini memperbincangkan, bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.”
Artinya, Nabi mengkhawatirkan terjadinya perubahan pada banyak orang Arab untuk masuk Islam, karena mereka tidak mengetahui hikmah dari pembunuhan tersebut. Padahal pembunuhan yang akan beliau lakukan terhadap orang munafik itu karena kekufuran. Sedang mereka hanya melihat pada yang mereka saksikan, lalu mereka mengatakan, “Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya.”
Al-Qurthubi mengatakan, demikian itulah yang menjadi pendapat para ulama kami dan ulama-ulama lainnya, sebagaimana Rasulullah telah memberikan sesuatu kepada orang-orang yang baru masuk Islam, padahal beliau mengetahui buruknya keyakinan mereka.
Imam Athiyyah mengatakan, yang demikian itu merupakan pendapat para sahabat Imam Malik yang telah ditetapkan Muhammad bin al Jahm, al-Qadhi Ismail, al-Abhari, dan dari Ibnul Majisyun. Di antaranya apa yang dikatakan Imam Malik: “Sebenamya Rasulullah menahan diri tidak membunuh orang- orang munafik itu dimaksudkan untuk menjelaskan kepada umatnya bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan berdasarkan pengetahuannya semata.”
Al-Qurthubi mengatakan, para ulama telah sepakat bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan pengetahuannya semata, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai hukum-hukum lainnya. Sedangkan Imam asy-Syafi’i mengatakan, Rasulullah menahan diri tidak membunuh orang-orang munafik atas tindakan mereka menampakkan keislaman, meskipun beliau mengetahui kemunafikan mereka itu, karena apa yang mereka tampakkan itu mengalahkan apa yang sebelumnya (kemunafikan).
Pendapat tersebut diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Apabila mereka mengatakannya, maka darah dan harta kekayaan mereka mendapat perlindungan dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka berada di tangan Allah.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Artinya, barangsiapa telah mengucapkan kalimat “Laa ilaaHa illallaaH” itu, maka berlaku baginya secara zhahir seluruh hukum Islam, dan jika ia meyakininya ia akan mendapatkan pahala di akhirat kelak. Dan jika tidak meyakininya, maka tidak akan mendatangkan manfaat baginya (di akhirat nanti) pemberlakuan hukum terhadapnya di dunia. Adapun keadaan mereka yaitu bercampur baur dengan orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah Tabaraka wa Ta ala berfirman yang artinya:
“Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: Bukankah kami dabulu bersama-sama dengan kamu?’ Mereka menjawab: `Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah. “‘ (QS. Al-Hadiid: 14).
Maksudnya, mereka bersama-sama dengan orang-orang mukmin di beberapa tempat di padang mahsyar, dan jika hari yang telah ditetapkan Allah itu tiba, maka perbedaan mereka tampak jelas dan akan terpisah dari orang-orang mukmin. Allah berfirman, wa hiila bainaHum wa baina maa yasytaHuun (“Dan dihalangi antara mereka dan apa yang mereka inginkan.”) (QS. Saba’: 54).
Golongan munafik juga tidak akan dapat bersujud bersama orang-orang mukmin, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa hadits. Di antaranya adalah apa yang dikatakan sebagian ulama, bahwa Nabi tidak membunuh orang-orang munafik itu, karena kejahatan mereka tidak dikhawatirkan dan disebabkan keberadaan Nabi di tengah-tengah mereka, beliau membacakan
ayat-ayat Allah yang memberikan penjelasan. Adapun setelah beliau wafat, mereka dibunuh jika mereka menampakkan kemunafikannya dan hal itu diketahui oleh umat Islam.
Imam Malik mengatakan: “Orang munafik pada masa Rasulullah adalah zindiq pada hari ini.” Mengenai hal itu penulis berkata, para ulama telah berbeda pendapat mengenai pembunuhan terhadap zindiq. Jika ia menampakkan kekufuran, apakah ia harus diminta bertaubat atau tidak, atau apakah harus dibedakan antara penyeru (kepada kezindikkannya) atau tidak, atau apakah kemurtadan berulang-ulang pada dirinya atau tidak? Ataukah ke-Islaman serta keluarnya dari Islam karena kemauan sendiri atau dipengaruhi orang lain? Mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat yang menjelaskan dan penetapannya sudah diberikan dalam kitab-kitab fiqih.


EmoticonEmoticon