Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 14-15

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah 
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 14-15“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman “. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (QS. 2:14-15)
Allah swt berfirman, jika orang-orang munafik itu bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Kemudian mereka menampakkan keimanan, perwalian, dan keakraban sebagai tipuan bagi orang-orang mukmin, dan sebagai kemunafikan, kepura-puraan, serta taqiyyah agar mereka mendapatkan kebaikan dan pembagian ghanimah (harta rampasan perang) mereka. ” Taqiyyah: Menyembunyikan keadaan jati diri yang sebenamya dan menipu manusia yang bukan termasuk kelompoknya, sebagai perlindungan dari kerusakan dan kerugian.-Pent.
Wa idzaa khalau ilaa syayaathiiniHim, (“dan jika mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka.”) Maksudnya, jika mereka kembali dan bergabung dengan syaitan-syaitan (para pemimpin) mereka.
Lafadz “khalau” mengandung makna “insharafuu” (kembali) karena ia muda’addi dengan huruf “ilaa” untuk menunjukkan fiil (kata kerja) yang tersembunyi (Samar) dan yang jelas disebutkan.
As-Suddi menceritakan, dari Abu Malik, “khalau” berarti pergi, dan kata “syayaathiiniHim” berarti orang-orang terhormat, para pembesar dan pemuka mereka dari para pendeta orang-orang Yahudi dan para pemuka orang-orang musyrik dan munafik.
Dan firman-Nya, qaaluu innaa ma’akum (“Mereka berkata sesungguhnya kami sependirian dengan kalian.”) Mengenai ayat ini, Muhammad bin Ishak, dari Ibnu Abbas mengatakan: “Artinya kami sejalan dengan kalian.”
Firman-Nya, innamaa nahnu mustaHzi-uun (“sebenarnya kami hanya mengolok-olok.”) Maksudnya, Sesungguhnya kami'(orang munafik) hanya memperolok dan mempermainkan kaum (mukminin) itu. Ad-Dhahhak berpendapat, dari Ibnu Abbas, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya memperolok-olok dan mencela sahabat Muhammad.” Hal yang senada juga dilontarkan oleh ar-Rabi’ bin Anas dan Qatadah.
Kemudian Allah mereka itu dengan berfirman, AllaaHu yastaHza-u biHim wa yamudduHum fii tug-yaaniHim ya’maHuun (“Allah akan (membalas) mengolok-olok mereka dan membiarkan-mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.”)
Ibnu Jarir mengatakan, Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia akan melakukan hal tersebut pada hari kiamat kelak melalui firman-Nya:
“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah Kami supaya Kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (al-Hadid: 13)
Dan juga firman-Nya yang artinya:
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Ali Imraan: 178)
Ibnu Jarir mengatakan, demikian itulah olok-olok, makar, celaaan dan makar Allah terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik. Menurut orang yang menafsirkan ayat ini dengan pengertian tersebut.
Ibnu Jarir menyampaikan, ulama lainnya mengatakan: olok-olok, celaan, dan hinaan yang dilontarkan Allah disebabkan oleh berbagai kemaksiatan dan kekufuran yang mereka lakukan.
Masih menurut Ibnu Jarir, terdapat pendapat lain lagi bahwa hal seperti itu dan semisal merupakan jawaban, sebagaimana ucapan seseorang kepada orang yang menipunya jika ia berhasil mengalahkannya: “Akulah yang menipumu.”
Hal itu bukan merupakan tipu daya dari-Nya, namun Dia mengatakan seperti itu jika hal itu (tipuan itu) ditujukan kepadanya. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka, dan Allah sebaik-baik pembuat tipu daya.” (Ali ‘Imraan: 54)
Dan juga firman-Nya: WallaaHu yastaHza-u biHim (“Allah akan membalas olok-olokan mereka.”) bahwasannya hal itu merupakan jawaban balasan, karena tidak ada makar dan olok-olok dari Allah swt. Artinya bahwa makar dan olok-olok mereka itu akan menimpa diri mereka sendiri. Ada juga yang mengatakan bahwa firman Allah berikut ini: innamaa nahnu mustaHzi-uun, AllaaaHu yastaHzi-u biHim (“sebenarnya kami hanya mengolok-olok, Allah akan [membalas] olok-olokan mereka.”)
Juga firman-Nya: yukhaadi’uunallaaHa wa Huwa yukhaadi’uHum (“sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka itu.”) (an-Nisaa’: 142)
Demikian halnya dengan firman-Nya: “Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” (at-Taubah: 79)
“Mereka melupakan Allah, dan Allah melupakan mereka.” (at-Taubah: 67)
Juga firman-firman-Nya yang semisal itu merupakan bentuk pemberitahuan dari Allah bahwa Dia akan memberikan balasan atas perolokan yang mereka lakukan serta menyiksa mereka akibat tipu daya mereka. Dia menyampaikan pemberitahuan mengenai pembalasan-Nya serta pemberian siksaan kepada mereka, bersamaan dengan pemberitahuan mengenai perbuatan mereka yang memang berhak mendapatkan balasan dan siksaan.
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema afkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah. ” (QS. Asy-Syuura: 40)
Demikian juga firman-Nya: 4
itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah ia. ” (QS. Al-Baqarah: 194).
Perlakuan pertama merupakan kezhaliman, sedangkan yang kedua (balasan) merupakan keadilan. Meskipun kedua kata itu sama, namun maknanya berbeda. Banyak pengertian dalam al-Qur’an semacam itu.
Masih menurut Ibnu Jarir, ulama yang lainnya mengatakan, arti semuanya itu adalah bahwa Allah memberitahukan mengenai orang-orang munafik itu, jika mereka kembali kepada para pemimpin mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami bersama kalian dalam mendustakan Muhammad dan apa yang dibawanya. Dan apa yang kami ucapkan kepada mereka itu sebenarnya hanyalah olok-olok belaka.” Kemudian Allah memberitahukan bahwa Dia memperolok-olok mereka, lalu memperlihatkan kepada mereka hukum-hukum-Nya di dunia, berupa keterpeliharaan nyawa dan harta kekayaan mereka, berbeda dengan apa yang akan mereka terima kelak di sisi-Nya di akhirat, yaitu berupa adzab dan siksaan.
Setelah itu Ibnu Jarir memperkuat dan mendukung pendapat ini, karena secara ijma’ Allah Mahasuci dari perbuatan makar, tipu daya, kebohongan yang dilakukan dengan tujuan main-main. Sedangkan yang dilakukan-Nya atas dasar hukuman pembalasan dan pemberian imbalan secara adil, maka hal itu tidak mustahil bagi-Nya.
Ibnu Jarir menuturkan, hal yang serupa dengan apa yang kami katakan adalah apa yang diriwayatkan Abu Kuraib dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah: AllaaHu yastaHza-u biHim “Allah akan (‘membalas) mengolok-olok perbuatan mereka sebelumnya.
Sedangkan mengenai firman-Nya: wa yamudduHum fii tughyaaniHim ya’maHuun (“dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.”) as-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah al-Hamadani dari Ibnu Mas’ud serta dari beberapa shahabat Rasulullah saw. bahwa “yamudduHum” berarti pemberian tangguh kepada mereka.
Mujahid mengatakan bahwa “yamudduHum” berarti pemberian tambahan kepada mereka. dan sebagian lain mereka mengatakan: “Setiap kali mereka berbuat dosa, mereka diberi nikmat, pada hakekatnya nikmat itu adalah kesengsaraan.”
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’am: 44-45)
Ibnu Jarir berpendapat, yang benar adalah, “Kami membiarkan tambahan kepada mereka dengan membiarkan mereka dalam kesesatan dan kedurhakaan.” Sebagaimana firman Allah:
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (al-An’am: 110)
Tughyaanu, artinya berlebihan dalam melakukan sesuatu sebagaimana firman-Nya: innaa lammaa thaghal maa-u hamalnaakum fil jaariyaH (“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik [sampai ke gunung] Kami bawa [nenek moyang] kamu, ke dalam bahtera,”) (al-Haaqqah: 11)
Ad-Dahhak menceritakan dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan “fii tughyaaniHim ya’maHuun” maksudnya adalah mereka terombang-ambing dalam kekufuran. Demikian pula as-Suddi (dengan sanadnya berasal dari sahabat) dalam menafsirkan ayat ini.
Ibnu Jarir berkata: “al’amaHu” adalah kesesatan, jika dikatakan “’imaHa fulaanun, ya’maHu ‘amaHaa wa ‘umuuHaa” maksudnya adalah si fulan itu telah tersesat. Ibnu Jarir berkata, makna firman-Nya: “fii tughyaaniHim ya’maHuun” adalah terombang-ambing dalam kesesatan dan kekafiran. Bingung dan sesat tidak menemukan jalan keluar karena Allah telah mengunci hati mereka dan mengecapnya, juga membutakan pandangan mereka dari petunjuk sehingga tertutup pandangan mereka. mereka tidak dapat menemukan petunjuk dan tidak dapat menemukan jalan keluar.
Sedangkan menurut sebagian ulama, “al’uzyu” digunakan pada mata, sedangkan “al’amaHu” (bingung) pada hati, namun “al’amaa” (buta) digunakan juga pada hati, Allah berfiman yang artinya: “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al-Hajj: 46)
Jika dikatakan “’amiHar rajulu” (artinya: lelaki itu pergi tanpa mengetahui tujuan) bentuk mudlari’nya “ya’maHu” bentuk masdarnya “’amuuHan” bentuk isim failnya “’amiHun” dan “’aamiHun” jika dikatakan: dzaHabat ibluHul amHaa-u; maksudnya: jika untanya tidak diketahui kemana perginya.


EmoticonEmoticon