Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 116-117

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 116-117“Mereka (orang-orang kafir) berkata: ‘Allah mempunyai anak’. Mahasuci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah: 116) Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: ‘Jadilah’ lalu jadilah ia.” (QS. Al-Baqarah: 117)
Ayat ini dan yang berikutnya mencakup bantahan terhadap orang-orang Nasrani serta yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Arab yang menjadikan Para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah. Maka Allah mendustakan pengakuan dan pernyataan mereka bahwa Allah mempunyai anak. Maka Dia pun berfirman: subhaanaHu (“Mahasuci Allah”) Artinya, Allah Mahatinggi, dan bersih dari semuanya itu.
Bal laHuu fis samaawaati wal ardli (“Bahkan apa yang ada di dalam langit dan bumi adalah kepunyaan-Nya.”) Artinya, persoalaannya tidak seperti yang diada-adakan oleh mereka, tetapi kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya. Dia-lah yang mengendalikan, menciptakan, memberikan rizki, menentukan takdir, dan memperjalankan mereka sesuai dengan kehendak-Nya. Segala sesuatu adalah hamba dan kepunyaan-Nya, dan semua kerajaan adalah milik-Nya. Bagaimana mungkin Dia memiliki anak dari kalangan mereka, padahal seorang anak itu lahir dari dua hal (jenis) yang sama (sebanding), sedang Allah Mahasuci lagi Mahatinggi dan tidak mempunyai tandingan, tidak pula memiliki sekutu dalam keagungan dan kebesaran-Nya, serta tidak pula Dia mempunyai isteri, lalu bagaimana Dia memiliki anak?
Sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya: “Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui Segala sesuatu.” (QS. Al-An’aam: 101)
Melalui ayat-ayat tersebut, Allah telah menetapkan bahwa Dia Rabb yang Mahaagung, tiada yang setara dan menyerupai-Nya. Dan segala sesuatu selain diri-Nya adalah makluk ciptaan-Nya dan berada di bawah pemeliharaan-Nya, lalu bagaimana mungkin Dia mempunyai anak dari kalangan mereka itu?
Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat dan surat al-Baqarah ini, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: ‘(Manusia) mendustakari-Ku, padahal tidak sepatutnya dia berbuat demikian. Dan dia mencaci-Ku, padahal tidak sepatutnya dia berbuat demikian. Adapun perbuatan dustanya terhadap-Ku adalah anggapan bahwa Aku tidak sanggup mengembalikannya seperti semula. Sedangkan celaaannya terhadap-Ku adalah pernyataannya bahwa Aku mempunyai anak. Mahasuci Aku dari mengambil istri dan anak.’” (HR. Al-Bukhari).
Dalam kitab Shahihain terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nabi beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun yang lebih sabar atas gangguan yang didengarnya daripada Allah, mereka menganggap Allah mempunyai anak, padahal Dia-lah yang Memberi rizki dan kesehatan kepada mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan firman-Nya, kullu laHuu qaanituun (“Semua tunduk kepadan-Nya”) Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya, qaanituun, “(Yaitu) yang mengerjakan shalat.” Dan berkenaan dengan firman-Nya, kullu laHuu qaanituun (“Semua tunduk kepada-Nya,”) Ikrimah dan Abu Malik mengatakan: “Mereka mengakui bahwa Dia-lah yang berhak diibadahi.”
Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid bahwa ayat: kullu laHuu qaanituun “(Yaitu), bahwa mereka senantiasa berbuat taat.” la mengemukakan: “Taatnya orang kafir ialah dengan sujud bayangannya, sedangkan orang kafir itu sendiri tidak mau sujud.” Pendapat ini bersumber dari Mujahid dan merupakan pilihan Ibnu Jarir. Semua pendapat ini disatukan dalam satu ungkapan, yaitu: Bahwa al-qunut berarti ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Dan hal itu terbagi dua, yaitu Syar’i (berdasarkan syari’at) dan Qadari (berdasarkan sunnatullah).
Sebagaimana yang difirmankan Allah swt yang artinya: “Hanya kepada Allah segala apa yang ada di langit dan bumi ini bersujud (tunduk patuh), baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa (dan sujud) pula bayang-bayangannya pada waktu pagi dan petang hari.” (QS. Ar-Ra’ad: 15)
Firman Allah: badii-‘us samaawati wal ardli (“Allah menciptakan langit dan bumi”) artinya Dia lah yang menciptakan keduanya. dengan tanpa adanya contoh sebelumnya. Mujahid dan as-Suddi menyatakan: “Hal ini sesuai dengan makna yang dituntut sesuai bahasa.”
Mengenai firman-Nya: badii-‘us samaawati wal ardli (“Allah menciptakan langit dan bumi”) Ibnu Jarir mengatakan, “Makna ayat tersebut adalah mubdi-‘uHumaa [yang menciptakan keduanya]”, karena sesungguhnya bentuk awal berwazan “muf-‘ilu” lalu ditashrif menjadi “fa-‘iilun” [yang berbuat], sebagaimana “mu’limu” ditasrfi menjadi “al-aaliimu” dan pembuatannya tidak meniru bentuk yang sama dan tidak didahului oleh seorang pun.
Ibnu Jarir menuturkan, dengan demikian, makna ayat ini adalah bahwa Allah Mahasuci dari memiliki anak. Dia-lah pemilik semua apa yang ada di langit dan bumi ini yang seluruhnya memberikan kesaksian akan keesaan-Nya serta mengakui hal itu dengan bersikap taat kepada-Nya. Dia-lah yang menciptakan dan mengadakan semua itu tanpa adanya asal dan contoh sebelumnya. Yang demikian itu merupakan pemberitahuan yang disampaikan Allah kepada hamba-hamba-Nya bahwa di antara yang memberikan kesaksian semacam itu adalah Nabi Isa al-Masih yang mereka menisbatkan sebagai anak Allah, sekaligus sebagai pemberitahuan kepada mereka bahwa yang menciptakan langit dan bumi tanpa asal-usul dan contoh adalah Rabb yang juga menciptakan al-Masih Isa as tanpa seorang bapak dengan kekuasaan-Nya. Ungkapan yang bersumber dari Ibnu Jarir rahimahullah ini, adalah ungkapan yang bagus dan benar.
Dan firman-Nya: wa idzaa qadlaa amran fa innamaa yaquulu laHuu kun fayakuun (“Dan jika Dia berkehendak [untuk menciptakan sesuatu], maka cukuplah Dia hanya mengatakan kepadanya, ‘jadilah,’ maka jadilah ia.”) Dengan ayat ini, Allah menjelaskan kesempurnaan, kemampuan dan keagungan kekuasaan-Nya, di mana jika Dia menetapkan sesuatu hal dan menghendaki wujudnya, maka Dia hanya cukup mengatakan: “Jadilah, ” maka jadi dan terwujudlah sesuatu itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
Allah berfirman yang artinya: “[penciptaan] ‘Isa di sisi Allah adalah seperti [penciptaan] Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ [seorang manusia], maka jadilah ia. ” (QS. Ali Imraan: 59).


EmoticonEmoticon