Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 114

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 114“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid masjid Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka tidak sepatutnya masuk ke dalamnya [masjid Allah] kecuali dengan rasa takut [kepada Allah]. Mereka di dunia mendapatkan kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (QS-Al-Baqarah: 114)
Para mufasir berbeda pendapat mengenai siapakah orang yang menghalangi masuk masjid dan berusaha merusaknya. Terdapat dua pendapat berkenaan dengan hal tersebut:
Pendapat pertama, apa yang diriwayatkan oleh al-Aufi, dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: wa man adh-lamu mimmam mana’a masaajidallaaHi ay yudzkara fiiHas muHuu (“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya.”) ia mengatakan, “Yakni orang-orang Nasrani.” Mujahid juga mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang Nasrani. Mereka membuang berbagai macam kotoran ke Baitul Maqdis dan menghalang-halangi orang agar tidak shalat di dalamnya.”
Sa’id meriwayatkan dari Qatadah, ia menuturkan, “Mereka itu adalah orang-orang Nasrani, musuh Allah, yang karena kebenciannya kepada orang Yahudi, mereka membantu Bukhtannasr penguasa Babilonia, penganut agama Majusi, untuk merobohkan Baitul Maqdis.”
Pendapat kedua, apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir mengenai firman-Nya: wa man adh-lamu mimmam mana’a masaajidallaaHi ay yudzkara fiiHas muHuu wa sa’aa fii kharaabiHaa (“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya?”) Ibnu Zaid mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menghalangi Rasulullah saw. dan para shahabatnya untuk masuk ke kota Makkah pada saat terjadinya peristiwa Hudaibiyah sehingga beliau menyembelih kurbannya di Dzi Thuwa dan mengajak mereka berdamai. Dan Rasulullah saw. berkata kepada mereka: “Tidak ada seorang pun yang boleh menghalang-halangi dari Baitullah ini. Dulu, seseorang dapat bertemu dengan pembunuh ayahnya dan saudaranya, dan ia tidak menghalanginya.”
Maka mereka menjawab, “Pembunuh ayah-ayah kami pada perang Badar tidak boleh masuk ke kawasan kami, sedangkan kami masih ada di sini.”
Sedang mengenai firman Allah: wa sa’aa fii kharaabiHaa (“dan berusaha untuk merobohkannya.”) Ibnu Zaid mengatakan, “Mereka itu menghalang-halangi orang yang hendak memakmurkan masjid dengan berdzikir kepada-Nya dan mendatanginya untuk menunaikan haji dan umrah.”
Karena itu Allah berfirman yang artinya, “Hanya orang-orang yang memakmurkan masjid Allah yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut [kepada siapapun] selain kepada Allah.” (at-Taubah 18)
Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid di sini bukan hanya sekedar menghiasi dan membangun fisiknya saja, tetapi juga dengan berdzikir kepada Allah di dalamnya, menegakkan syariat-Nya, serta menjauhkan najis dan syirik.
Dan firman-Nya: ulaa-ika maa kaana laHum ay yadkhuluuHaa illaa khaa-ifiin (“Mereka itu tidak sepatutnya memasukinya kecuali dengan rasa takut [kepada Allah].”) ayat tersebut berupa berita tetapi bermakna perintah. Artinya, “Jangan kalian perkenankan mereka memasuki masjid jika kalian bisa menguasai mereka, kecuali sudah ada perdamaian dan pembayaran jizyah. Oleh karena itu setelah Rasulullah saw. berhasil membebaskan kota Makkah pada tahun berikutnya, yaitu pada tahun 9 Hijriyah, beliau langsung berseru di tanah lapang di Mina:
“Ketahuilah, setelah tahun ini, tidak diperbolehkan seorang musyrik pun menunaikan ibadah haji dan mengerjakan thawaf dalam kedaan telanjang. Barang-siapa yang masih mempunyai masa tinggal, maka pengukuhannya itu berakhir sampai habis masanya.”
Yang demikian itu tidak lain untuk menghormati lingkungan Masjidilharam dan menyucikan negeri yang padanya Rasulullah diutus kepada umat manusia secara keseluruhan untuk menyampaikan berita gembira sekaligus juga peringatan. Itulah penghinaan bagi mereka di dunia, karena balasan itu sesuai dengan amal perbuatan. Sebagaimana mereka telah menghalangi orang-orang mukmin dari Masjidilharam, maka mereka pun dihalangi darinya. Dan sebagaimana mereka telah mengusir orang-orang mukmin dari Makkah, maka mereka pun diusir darinya.
Firman-Nya, wa laHum fil aakhirati ‘adzaabun ‘dhiim (“Dan bagi meraka adzab yang besar di akhirat,”) karena mereka telah menginjak-injak kehormatan Masjidilharam dan menghinakannya dengan menempatkan berhala-berhala di sekitarnya, berdo’a kepada selain Allah di dalamnya, serta mengerjakan thawaf di sana dalam keadaan telanjang, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dibenci Allah u dan Rasul-Nya.
Sedangkan ulama yang menafsirkan sebagai Baitulmaqdis, maka Ka’ab al-Ahbar mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang Nasrani itu ketika berhasil mengusai Baitulmaqdis, maka mereka merobohkannya.” Dan setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, Dia pun menurunkan ayat: wa man adh-lamu mimmam mana’a masaajidallaaHi ay yudzkara fiiHas muHuu wa sa’aa fii kharaabiHaa ulaa-ika maa kaana laHum ay yadkhuluuHaa illaa khaa-ifiin (“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya memasukinya kecuali dengan rasa takut [kepada Allah].”)
Oleh karena itu, tidak ada di muka bumi ini seorang Nasrani pun yang berani masuk Baitulmaqdis kecuali dalam keadaan takut. As-Suddi mengatakan: “Sekarang ini, tidak ada seorang Romawi pun di muka bumi ini yang berani memasuki Baitulmaqdis melainkan dalam keadaan takut dipenggal lehernya ditakutkan dengan pembayaran jizyah yang harus dilaksanakannya.”
Menurut panafsiran as-Suddi, Ikrimah, dan Wa’il bin Dawud, kehinaan mereka di dunia itu akan benar-benar terwujud dengan munculnyaa Imam Mahdi. Sedangkan Qatadah menafsirkannya dengan pembayaran jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
Yang benar bahwa kehinaan di dunia itu lebih umum dari semuanya itu. Dalam sebuah hadits disebutkan mengenai permohonan perlindungan dari kehinaan dunia dan adzab akhirat. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Bisyir bin Artha’ah, ia menceritakan, Rasulullah pernah memanjatkan do’a: “Ya Allah, perbaikilah akhir dari segala urusan kami seluruhnya, serta jauhkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksa akhirat.” (HR. Ahmad; Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iifu1 jaami’ (1169).-ed)
Hadits di atas derajatnya hasan, tetapi tidak terdapat dalam Kutubus Sittah. Dan Bisyir bin Artha’ah tidak pernah meriwayatkan hadits kecuali hadits ini dan satu lagi yaitu hadits: potong tangan didalam peperangan.


EmoticonEmoticon