Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 229-230

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 229-230“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 229) Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 230)
Ayat mulia ini menghapus tradisi yang berlaku yaitu seorang laki-laki lebih berhak merujuk isterinya mentalaknya seratus kali selama masih dalam menjalani masa iddah. Ketika tradisi tersebut banyak merugikan para isteri, maka Allah membatasi mereka dengan tiga talak saja, dan membolehkan mereka untuk merujuknya kembali pada talak pertama dan kedua saja, dan tidak memungkinkan untuk ruju’ (kembali) lagi setelah talak yang ketiga. Sebagaimana firman-Nya: ath-thalaaqu marrataani fa imsaakum bima’ruufin au tasriihu bi ihsaan (“Talak [yang dapat dirujuk] dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.”)
Dan dalam kitab, Sunan Abu Dawud, bab Naskhul muraja’ah ba’dal-muthallaqaatits-tsalats (dihapuskannya ruju’ setelah talak yang ketiga), diriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya: wal muthallaqaatu yatarabbashna bi anfusiHinna tsalaatsata quruu-iw walaa yahillu laHunna ay yaktumna maa khalaqallaaHu fii arhaamiHinna; ia mengatakan, yaitu bahwasanya jika seorang laki-laki menalak istrinya, maka ia lebih berhak merujuknya meskipun is telah menalaknya tiga kali. Lalu hal itu dinasakh (dihapus) dengan firman Allah: ath-thalaaqu marrataani (“Talak [yang dapat dirujuk] dua kali.”) (HR. Imam Nasa’i).
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwasanya ada seorang laki-laki yang mengatakan kepada isterinya, “Aku tidak akan pernah menceraikanmu untuk selama-lamanya dan tidak juga mencampurimu untuk selama-lamanya.” “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Tanya isterinya itu. Maka ia menjawab: “Aku akan menceraikanmu hingga apabila masa iddahmu sudah dekat, aku akan merujukmu kembali.” Kemudian wanita itu pun datang kepada Rasulullah saw, dan menceritakan hal itu kepada beliau, maka Allah swt. menurunkan ayat: ath-thalaaqu marrataani (“Talak [yang dapatdirujuk] dua kali.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsirnya, juga Abd bin Humaid dalam tafsirnya, dan at-Tirmidzi sebagai hadits mursal, dan ia mengatakan ini lebih shahih. Selain itu, hadits tersebut juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan menurutnya hadits tersebut berisnad shahih.
Dan firman Allah berikutnya: fa imsaakum bima’ruufin au tasriihu bi ihsaan (“Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma ruf atau menceraikannyadengan cara yang baik.”) Artinya, jika engkau (seorang suami) mengucapkan talak kepada istri pada saat yang pertama kalinya atau pada saat yang kedua kalinya, maka engkau mempunyai dua pilihan selama masa iddahnya masih tersisa, merujuknya kembali dengan niat mengadakan ishlah dan dengan berbuat baik kepadanya atau membiarkannya menyelesaikan masa iddahnya, hingga akhirnya dirimu memilih untuk menceraikannya maka ceraikanlah dengan cara yang baik, dengan tidak menzhalimi haknya sedikit pun dan tidak juga merugikannya.
Dalam tafsirnya, Abd bin Humaid meriwayatkan, dari Ismail bin Sami’, bahwa Abu Razin al-Asadi mengatakan, ada seseorang yang berkata: “Ya Rasulallah, bagaimana pendapat anda mengenai firman Allah Ta’ala: “Talak [yang dapat dirujuk] dua kali,” lalu di mana dengan yang ketiganya?” Maka beliau menjawab, “Yang ketiga adalah (pada kalimat) menceraikannya dengan cara yang baik.” Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad.
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan, dari Anas bin Malik, ia menceritakan, ada seseorang yang datang kepada Nabi saw. seraya berkata: “Ya Rasulallah, Allah telah menyebutkan talak dua kali. Lalu di mana yang ketiga?” Maka beliau pun bersabda: “Merujuk kembali dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.”
Firman Allah: wa laa yahillu lakum an ta’khudzuu mimmaa aataitumuuHunna syai-an (“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka.”) Artinya, kalian tidak menyusahkan, membuat mengeluh dan mempersulit mereka (wanita) dengan tujuan supaya mereka menebus apa yang telah kalian berikan kepada mereka sebagian atau seluruhnya. Sebagaimana firman Allah [yang artinya]: “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. An-Nisaa’: 19).
Jika seorang isteri memberikan sesuatu dengan ketulusan hatinya, maka mengenai hal itu Allah swt. telah berfirman yang artinya: “Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. An-Nisaa’: 4).
Tetapi jika suami isteri saling berselisih, di mana si isteri tidak melaksanakan hak suaminya dan ia sangat membencinya, serta tidak mampu menggaulinya, maka ia (isteri) dapat memberikan tebusan kepada suaminya atas apa yang pernah diberikan suaminya kepadanya. Tidak ada dosa baginya untuk mengeluarkan tebusan itu kepada suaminya, dan tidak ada dosa bagi suami untuk menerima tebusan dari isterinya. Oleh karena itu, Allah berfirman:
wa laa yahillu lakum an ta’khudzuu mimmaa aataitumuuHunna syai-an illaa ay yakhaafaa allaa yuqiimaa huduudallaaHi falaa junaaha ‘alaiHimaa fiimaftadat biHii (“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”)
Tetapi jika tidak ada alasan bagi si isteri, lalu ia meminta tebusan dari suaminya, maka mengenai hal ini, Ibnu Jarir telah meriwayatkan, dari Tsauban, bahwa Rasulullah bersabda: “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi, dan ia mengatakan: hadits hasan.
Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Abu Qalabah, ia menceritakan, bahwa Abu Asma’ dan Tsauban pernah berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya dengan alasan yang tidak dibenarkan, maka diharamkan baginya wangi surga.”
Demikian pula diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, dari Hamad bin Zaid.
Kemudian banyak kelompok dari kalangan ulama salaf dan para imam khalaf yang menyatakan, bahwasanya tidak dibolehkan khulu’ (talak yang ditebus oleh si isteri) kecuali terjadi syigaq (perselisihan) dan nusyuz (kedurhakaan) dari pihak isteri. Maka pada saat itu, bagi suami diperbolehkan untuk menerima fidyah (tebusan). Dalam hal itu, mereka berlandaskan pada firman Allah:
wa laa yahillu lakum an ta’khudzuu mimmaa aataitumuuHunna syai-an illaa ay yakhaafaa allaa yuqiimaa huduudallaaHi (“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah.”)
Lebih lanjut mereka mengemukakan: “Khulu’ itu tidak disyariatkan kecuali dalam kondisi seperti ini, sehingga tidak diperbolehkan melakukan khulu’ dalam kondisi yang lain kecuali dengan dalil. Karena pada dasarnya khulu’ itu tidak ada.”
Di antara yang berpendapat demikian itu adalah Ibnu Abbas, Thawus, Ibrahim, Atha’, al-Hasan, dan jumhur ulama. Sampai Imam Malik dan al-Auza’i mengatakan, “Seandainya suami mengambil suatu tebusan dan isterinya, sedangkan hal itu memudharatkan pihak isteri, maka ia harus mengembalikannya, dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj ‘i.” Dan menurut Imam Malik, “Itulah persoalan yang sering kujumpai menimpa banyak orang.”
Dan Imam Syafi’i rahimahullahu berpendapat bahwa khulu’ itu diperbolehkan pada waktu terjadi perselisihan dan ketika dicapai kesepakatan dengan cara yang lebih baik dan tepat. Dan yang demikian itu merupakan pendapat seluruh sahabatnya.
Ibnu Jarir rahimahullahu menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syamasy dengan istrinya, Habibah binti Abdullahbin Ubay bin Salul. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa jalan peri-wayatan hadits ini dengan berbagai perbedaan lafazhnya.
Dalam kitab al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan, dari Habibah binti Sahal al-Anshari, bahwa ia pernah menjadi isteri Tsabit bin Qais bin Syamasy. Ketika itu Rasulullah saw. hendak berangkat mengerjakan shalat Subuh, lalu beliau menemukan Habibah binti Sahal berada di pintunya pada saat gelap gulita diakhir malam. Maka beliau bertanya: “Siapa ini?” Ia menjawab: “Aku Habibah binti Sahal.” “Apa gerangan yang terjadi padamu?” Tanya Rasulullah saw. Habibah berujar: “Aku bukan isteri Tsabit lagi.” Ketika suami-nya, Tsabit bin Qais datang, Rasulullah saw. pun berkata kepadanya: “Ini adalah Habibah binti Sahal, ia telah menceritakan apa yang menjadi masalahnya.” Maka Habibah bertutur: “Ya Rasulullah, semua yang ia berikan kepadaku masih berada padaku.” Kemudian beliau berkata kepada Tsabit: “Ambillah darinya.” Maka ia pun mengambil tebusan darinya dan Habibah pun berkumpul bersama keluarganya (pulang ke rumah orang tuanya). Demikian pula diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i.
Para imam berbeda pendapat mengenai apakah boleh bagi seorang suami meminta tebusan kepada isterinya melebihi dari apa yang pernah ia berikan kepadanya. Jumhur ulama membolehkan hal tersebut. Hal itu didasarkan pada keumuman firman Allah: fa laa junaaha ‘alaiHimaa fiimaftadatbiHi (“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Katsir, Maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Umar, seorang wanita yang melakukan nusyuz (membangkang terhadap suaminya). Lalu Umar memerintahkan agar membawa wanita itu ke sebuah rumah yang banyak sampah, setelah itu wanita itu dipanggil, lalu ditanyakan: “Apa yang engkau rasakan?” Ia menjawab: “Aku tidak memperoleh ketenangan selama berada bersamanya kecuali malam ini saat engkau menahanku.” Kemudian Umar berkata kepada suaminya: “Ceraikanlah ia walaupun dengan tebusan antingnya.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abdurrazak, dari Mu’ammar, dari Katsir, budak Ibnu Samurah, lalu ia menyebutkan matan hadits tersebut seraya menambahkan, “Maka Umar menahannya di tempat itu selama tiga hari.”
Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Utsman membolehkan khulu’ dengan selain dari kepangan rambutnya. Artinya, seorang suami boleh mengambil apa pun yang berada di tangannya, sedikit maupun banyak, dan tidak meninggalkan apa pun kecuali kepangan rambutnya. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim an-Nakha’i, Qutaibah bin Dzuwaib, Hasan bin Shalih, dan Utsman al-Batti. Dan itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, serta menjadi pilihan Ibnu Jarir. Para sahabat Abu Hanifah mengatakan: “Jika kemadharatan berasal dari pihak isteri, maka suami boleh mengambil semua yang telah ia berikan. Para sahabat Abu Hanifah juga mengatakan: “Suami boleh mengambil apa yang pernah diberikan kepadanya dan tidak boleh lebih dari itu. Jika pihak suami menuntut tambahan, maka harus lewat pengadilan. Dan jika kemadharatan itu berasal dari pihak suami, maka si suami tidak diperbolehkan mengambil sesuatu apa pun darinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya, maka harus lewat pengadilan.”
Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishak bin Rahawaih mengatakan: “Suami tidak diperbolehkan mengambil melebihi dari apa yang pernah diberikan kepada isterinya.” Ini juga merupakan pendapat Sa’id bin Musayyab, Atha’, Amr bin Syu’aib, az-Zuhri, Thawus, Hasan al-Bashri, Sya’bi, Hamad bin Abi Sulaiman dan Rabi’ bin Anas.
Mu’ammar dan al-Hakam menceritakan, Ali pernah mengatakan: “Suami tidak diperbolehkan mengambil dari istri yang meminta cerai melebihi apa yang pernah ia berikan kepadanya.”
Al-Auza’i pernah mengemukakan, para hakim tidak memperbolehkan suami mengambil dari isterinya melebihi apa yang telah ia berikan kepadanya.
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis katakan, pendapat itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Abd bin Humaid, dari Atha’, bahwasanya Nabi membenci seorang suami yang mengambil melebihi dari apa yang pernah ia berikan. Mereka menafsirkan makna ayat: fa laa junaaha ‘alaiHimaa fiimaftadatbiHi (“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya,”) dengan pengertian dari apa yang telah diberikannya. Karena ayat itu telah didahului oleh ayat [yang artinya]:
“Tidak halal bagimu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, ” dari pemberian itu.
Imam Syafi’i mengatakan, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai masalah khulu’, lalu Sufyan memberitahu kami, dari Ibnu Abbas mengenai seseorang yang menceraikan isterinya dengan talak dua, setelah itu isterinya meminta khulu’ darinya, maka ia boleh menikahinya kembali jika ia menghendaki, karena Allah telah berfirman yang artinya:
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yangdiberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim. Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulab hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 229-230).
Lebih lanjut Imam Syafi’i menceritakan, Sufyan memberitahu kamidari Amr, dari Ikrimah, ia mengatakan: “Segala sesuatu yang diselesaikan dengan harta kekayaan itu bukan termasuk talak.”
Diriwayatkan oleh ulama lainnya (selain Imam Syafi’i) dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim bin Sa’ad bin Abi Waqqash pernah bertanya kepadanya, ia menuturkan, “Ada seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak dua, lalu istrinya mengkhulu’nya, apakah boleh ia menikahinya kembali?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya boleh, karena khulu’ bukanlah talak. Allah Ta’ala telah menyebutkan talak pada bagian awal dan akhir ayat, sedangkan khulu’ berada di antara keduanya. Dengan demikian, khulu’ itu bukanlah sesuatu yang dianggap sebagai talak.” Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat: ath thalaaqu marrataani fa imsaakum bima’ruufin au tasriihu bi ihsaan; dan ayat: fa in thalaqaHaa falaa tahillu laHuu mim ba’du hattaa tankiha zaujan ghairaHu.
Inilah yang menjadi pendapat Ibnu Abbas, bahwa khulu’ itu bukanlah talak melainkan hanyalah fasakh (pembatalan persetujuan). Dan hal ini diriwayatkan pula dari Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan Ibnu Umar.
Ini juga merupakan pendapat Thawus, Ikrimah, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsaur, Dawud bin Ali adz-Dzahiri. Selain itu, ia juga merupakan qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i. Dan itulah makna lahiriyah ayat tersebut.
Pendapat lainnya menyatakan bahwa khulu’ itu adalah talak ba’in, kecuali jika diniati lebih dari itu. Imam Malik meriwayatkan, dari Ummu Bakar al-Aslamiyah, bahwa ia pernah meminta khulu’ dari suaminya, Abdullah bin Khalid bin Usaid, lalu keduanya mendatangi Utsman bin Affan untuk menanyakan hal itu, lalu Utsman menjawab, “Yang demikian itu sudah merupakan talak, kecuali jika ia menyebutkan sesuatu, maka ia tergantung pada apa yang ia sebut.” Imam Syafi’i mengatakan: “Aku tidak mengenal Jahman (perawi atsar ini).” Dan Imam Ahmad bin Hanbal juga melemahkan atsar tersebut. Wallahu a’lam.
Hal senada juga diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Masud, dan Ibnu Umar. Ini juga merupakan pendapat Sa’id bin Musayyab, Hasan al-Bashri, Atha’, Syura’ih, asy-Sya’bi, Ibrahim, Jabir bin Zaid. Juga Imam Malik, Abu Hanifah dan para sahabatnya, ats-Tsauri, al-Auza’i, Abu Utsman al-Batti, dan qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i. Hanya saja para pengikut Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika orang yang melakukan khulu’ itu berniat sebagai talak satu, talak dua atau talak secara mutlak, maka yang terjadi adalah talak satu raj’i dan jika berniat talak tiga, maka menjadi talak tiga.
Permasalahan:
Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dalam suatu riwayat yang masyhur berpendapat bahwa iddah wanita yang khulu’ sama dengan iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’, jika ia termasuk wanita yang sedang haidh. Hal itu pula yang menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Syihab, al-Hasan, asy-Sya’abi, Ibrahim an-Nakha’i, AbuIyyadh, Khalas bin Umar, Qatadah, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad dan Abul-Ubaid.
At-Tirmidzi mengatakan: “Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan juga yang lainnya. Yang menjadi landasan mereka adalah bahwa khulu’ itu adalah talak, sehingga seorang wanita yang meminta khulu’ harus menjalani iddah sebagaimana wanita-wanita yang dicerai suaminya.”
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa wanita yang dikhulu’ itu hanya menjalani iddah satu kali haid saja untuk memastikan kesucian rahimnya. Dari Rabi’ binti Mu’awwidz bin Afra’, bahwa ia pernah meminta khulu’ pada masa Rasulullah saw, lalu beliau memerintahkanya -atau diperintahkan- untuk menjalani iddah dengan satu kali haidh.
At-Tirmidzi mengatakan: “Yang shahih adalah (kalimat) bahwa wanita tersebut diperintahkan untuk menjalani iddah selama satu kali haid.”
Permasalahan:
Menurut imam empat madzhab dan juga jumhur ulama, suami yang mengkhulu’ tidak diperbolehkan merujuk isteri yang dikhulu’ pada masa iddah tanpa adanya keridhaan dari isterinya, karena pada saat itu wanita tersebut telah menguasai (memiliki hak atas) dirinya sendiri melalui tebusan yang telah ia berikan kepadanya. Namun semua ulama bersepakat bahwa si suami boleh menikahi kembali wanita (mantan isterinya) itu pada saat menjalani masa iddah.
Permasalahan:
Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lain kepada istri pada masa iddah? Mengenai hal tersebut, terdapat tiga pendapat:
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa si suami itu tidak boleh menjatuhkan talak yang lain, karena si isteri telah memiliki dirinya sendiri dan telah terlepas dari mantan suaminya. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ikrimah, Jabir bin Zaid, Hasan al-Bashri, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rahawaih, dan Abu Tsaur.
Kedua, Imam Malik berpendapat, jika khulu’ itu diikuti oleh talak tanpa tenggang waktu di antara keduanya, maka jatuhlah talak, dan jika di antara keduanya (lafadz khulu’ dan talak) si suami diam sebentar, maka tidak terjadi talak. Ibnu Abdul Barr mengatakan: “Pendapat ini menyerupai apa yang diriwayatkan dari Utsman ra.”
Ketiga, bahwa bagaimanapun pada si isteri tersebut telah jatuh talak selama dalam masa iddah. Hal ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah dan para sahabatnya, ats-Tsauri dan az-Auza’i. Juga menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Syuraih, Thawus, Ibrahim, az-Zuhri, al-Hakim, al-Hakam dan Hamad bin Abi Sulaiman.
Firman Allah: tilka huduudullaaHi falaa ta’taduuHaa wa may yata-‘adda huduudallaaHi fa ulaa-ika Humudh dhaalimuun (“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya: Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dhalim.”) Maksudnya, semua syari’at yang telah ditetapkan bagi kalian merupakan batasan-batasan yang diberikan Allah swt, maka janganlah kalian melanggarnya.
Sebagaimana hal tersebut telah ditegaskan dalam hadits shahih: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai batasan, maka janganlah kalian melampauinya. Dia pun telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dan telah mengharamkan berbagai larangan, maka janganlah kalian melanggarnya. Allah membiarkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian menanyakan hal itu.”
Ayat ini juga dijadikan dalil bagi orang-orang yang berpendapat bahwa yang menghimpun (mengucapkan) talak tiga dalam satu ucapan sekaligus adalah haram. Sebagaimana yang menjadi pendapat madzhab Maliki dan yang sejalan dengan mereka. Dan menurut mereka, yang sunnah adalah menjatuhkan talak satu kali, karena sebagaimana telah difirmankan Allah: “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali.” Dan setelah itu Allah swt. berfirman: tilka huduudullaaHi falaa ta’taduuHaa wa may yata-‘adda huduudallaaHi fa ulaa-ika Humudh dhaalimuun (“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya: Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dhalim.”)
Firman Allah swt. selanjutnya: fa in thallaqaHaa falaa tahillu laHuu mim ba’du hattaa tankiha zaujan ghairaHu (“Kemudian jika si suami menalaknya [sesudah talak yang kedua], maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia menikah dengan suami yang lain.”) Maksudnya, jika seorang suami menceraikan istrinya yang ketiga kalinya, yang sebelumnya ia telah menjatuhkan dua kali talak, maka si istri haram dirujuk oleh si suami tersebut sebelum wanita itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Artinya, hingga wanita itu berhubungan badan dengan laki-laki melalui pernikahan yang sah.
Jika wanita itu disetubuhi oleh laki-laki lain tanpa melalui proses pernikahan, sekalipun karena perbudakan, maka mantan suami yang pertama tidak boleh merujuk kembali mantan istrinya tersebut. Karena lelaki itu bukan sebagai suami. Demikian halnya, jika wanita itu sudah menikah kembali dengan laki-laki lain tetapi belum dicampuri oleh sang suami, maka belum halal bagi suami pertama.
Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwasanya ada seseorang laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, wanita itu menikah kembali dengan laki-laki lain, kemudian laki-laki itu menceraikannya sebelum menyetubuhinya, lalu ditanyakan kepada Rasulullah apakah boleh bagi mantan suaminya yang pertama merujuknya kembali? Maka Rasulullah pun bersabda: “Tidak, sehingga ia (suami kedua) itu merasakan al-‘Usailah (madu)nya sebagaimana yang telah dirasakan oleh suami pertama.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i.).
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Aisyah radiallahu anha, katanya: “Istri Rifa’ah al-Quradzi masuk, sedang aku dan Abu Bakar berada di samping Nabi saw, lalu ia mengatakan, “Sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku dengan talak tiga, dan Abdurrahman bin Zubair telah menikahiku. Dan miliknya (kemaluan Abdurrahman bin Zubair) bagaikan ujung kain jilbab, seraya memegang ujung kain jilbabnya, sedangkan saat itu Khalid bin Sa’idbin ‘Ash berada di pintu belum diizinkan masuk, ia berujar; “Hai Abu Bakar, tidakkah engkau melarang wanita ini berbicara blak-blakan di hadapan Nabi.” Kemudian Rasulullah tersenyum seraya berkata (kepada bekas isteri Rifa’ah): “Sepertinya engkau hendak kembali ke Rifa’ah. Tidak boleh, sehingga engkau merasakan madunya (kemanisannya) dan ia merasakan madumu.”
Demikian pula yang diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i. Sedangkan dalam hadits Abdur Razak, menurut riwayat Muslim, bahwa Rifa’ah menceraikannya pada kali ketiga. Hadits tersebut juga diriwayatkan jama’ah kecuali Abu Dawud, al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i.
Penjelasan:
Suami kedua yang dimaksud harus benar-benar suka dan bertujuan untuk hidup berdua selamanya, sebagaimana disyaria’atkan dalam pemikahan. Dan selain itu Imam Malik mensyaratkan, suami harus menyetubuhi istrinya itu pada saat yang dibenarkan. Jika ia menyetubuhinya pada saat istrinya itu sedang menjalankan ihram atau berpuasa atau beri’tikaf atau sedang haid atau nifas. Atau pihak suami barunya itu sedang dalam keadaan puasa atau ihram atau sedang i’tikaf, maka mantan suami pertama belum diperbolehkan untuk merujuknya. Demikian juga jika suami barunya itu seorang dzimmi, maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menikahinya, karena pernikahan dengan orang kafir itu tidak sah (batal), menurut beliau.
Maksud al-‘Usailah dalam hadits Rasulullah ini bukanlah air mani (sperma). Hal itu sebagaimana yang diuraikan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Nasa’i, dari Aisyah radiallahu anha, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya al-‘Usailah itu berarti jima’ (persetubuhan).”
Muhallil: Orang yang menikah hanya untuk menghalalkan seorang wanita bagi mantan suaminya.
Muhallal lahu: Suami pertama yang meminta muhallil melakukan hal itu ataupun si wanita jika ia yang memintanya.
Dan jika suami yang kedua hanya bertujuan untuk menghalalkan wanita itu bagi suami pertama, maka inilah yang disebut muhallil (yang menghalalkan) yang mana beberapa hadits telah mencela dan melaknatnya. Dan jika muhallil menyatakan maksudnya secara jelas di dalam akad, maka batallah pernikahan tersebut. Demikian menurut pendapat jumhur ulama. Beberapa hadits yang berkenaan dengan muhallil dan muhallallahu:
“Rasulullah saw. melaknat wanita yang mentato (kulitnya) dan wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang minta disambungkan rambutnya, muhallil dan muhallal-lahu dan orang yang memakan riba dan yang memberikannya.”
Kemudian Imam Ahmad, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i juga meriwayatkandari jalur lain. Dan at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
At-Tirmidzi mengatakan, para ulama dari kalangan sahabat, di antaranya Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut. Ini juga merupakan pendapat para fuqaha dari kalangan tabi’in.
Hal itu juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, dan Ibnu Abbas.
Dalam kitab al-Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan, dari Ibnu Umarbin Nafi’, dari ayahnya, ia pernah menceritakan: “Ada seseorang yang datang kepada Ibnu Umar dan menanyakan tentang seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak tiga, lalu wanita itu dinikahi oleh saudaranya sendiri tanpa adanya konsultasi darinya, supaya dengan demikian menjadi halal bagi saudaranya. Bolehkah bagi mantan suami pertama itu menikahinya kembali?” Maka Ibnu Umar pun menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasarkan karena keinginan. Dan kami mengkategorikan hal itu sebagai perzinaan pada masa Rasulullah.” Kemudian ia mengatakan bahwa hadits ini berisnad shahih, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.
Firman Allah Ta’ala: fa in thalaqaHaa (“Kemudian jika ia menceraikannya,”) maksudnya suami yang kedua, setelah bercampur dengannya: falaa junaaha ‘alaiHimaa ay yataraaja’aa (“Maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk menikah kembali,”) yaitu wanita tersebut dengan suami pertama.
In dhannaa ay yuqiimaa huduudallaaHi (“Jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah”) Artinya jika keduanya dapat bermu’asyarah (berkeluarga) dengan baik. Mujahid mengatakan: “Jika keduanya beranggapan bahwa pernikahan mereka berdua itu bukan palsu.” Wa tilka huduudullaaHi (“Itulah hukum-hukum Allah,”) maksudnya syari’at dan ketentuan-ketentuan-Nya. yubayyinuHaa liqaumiy ya’lamuun (“Diterangkan-Nya kepada kaum yang mau mengetahui.”)
Para ulama masih berbeda pendapat mengenai permasalahan, jika seorang suami menceraikan isterinya dengan talak dua dan kemudian meninggalkan hingga ia selesai menjalani iddahnya, setelah itu ia menikah dengan laki-laki lain dan sudah bercampur dengannya, lalu diceraikan kembali oleh laki-laki tersebut, dan setelah selesai menjalani iddahnya, suaminya yang pertama menikahinya kembali. Apakah kembalinya itu berikut jumlah talak yang pernah dia jatuhkan sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, dan juga pendapat para Sahabat, ataukah suami yang kedua itu telah menghapuskan jumlah talak yang pernah dia jatuhkan sehingga ia kembali memiliki jatah talak tiga kali lagi, sebagaimana pendapat Abu Hanifah para sahabatnya. Alasan Abu Hanifah dan para sahabatnya itu adalah jika suami yang kedua dapat menghapuskan keberadaan talak tiga, tentu penghapusan talak di bawah tiga itu lebih utama. Wallahu a’lam.


EmoticonEmoticon