Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 177

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 177“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)
Ayat ini mencakup sendi-sendi yang agung, kaidah-kaidah yang umum, dan aqidah yang lurus. Penafsiran ayat ini adalah, ketika pertama kali Allah swt. memerintahkan orang-orang mukmin menghadap Baitul Maqdis dan kemudian Dia mengalihkan ke Ka’bah, sebagian Ahlul Kitab dan kaum muslimin merasa keberatan. Maka Allah memberikan penjelasan mengenai hikmah pengalihan kiblat tersebut, yaitu bahwa ketaatan kepada Allah swt, patuh pada semua perintah-Nya, menghadap ke mana saja yang diperintahkan, dan mengikuti apa yang telah disyari’atkan, inilah yang disebut dengan kebaikan, ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.
Menghadap ke arah timur ataupun barat tidak dihitung sebagai kebaikan dan ketaatan jika bukan karena perintah dan syari’at Allah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: laisal birra an tuwalluu wujuuHakum bibalal masy-riqi wal maghribi wa laakinnal birra man aamana billaaHi wal yaumil aakhiri (“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian..”)
Sebagaimana firman-Nya mengenai hewan sembelihan qurban yang artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-sekali tidak dapat mencapai [keridlaan Allah], tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (al-Hajj: 37)
Mengenai ayat ini, al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, “Tidaklah shalat dan beramal itu merupakan suatu kebaikan. Hal ini ketika Rasulullah berpindah dari Makkah ke Madinah, serta diturunkannya berbagai kewajiban dan peraturan. Maka Allah Ta’ala memerintahkan berbagai kewajiban dan pelaksanaannya.”
Abu al-Aliyah mengatakan: ketika itu orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, sedangkan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah Ta’ala berfirman: laisal birra an tuwalluu wujuuHakum bibalal masy-riqi wal maghribi (“Tidaklah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian.”) Lebih lanjut Abu al-Aliyah menuturkan: “Itulah pembicaraan tentang keimanan yang hakikatnya adalah pengamalan.”
Mujahid mengatakan: “Tetapi kebaikan itu adalah apa yang ditetapkan di dalam hati berupa ketaatan kepada Allah swt.”
Adh-Dhahhak menuturkan: “Tetapi kebaktian dan ketakwaan itu adalah pelaksanaan semua kewajiban sebagaimana mestinya.”
Mengenai firman Allah Ta’ala: wa laakinnal birra man aamana billaaHi wal yaumil aakhiri; ats-Tsauri mengemukakan: “Demikian itu adalah mencakup semua jenis kebaikan.” Imam ats-Tsauri memang benar, karena orang yang memiliki sifat yang disebutkan di dalam ayat ini, berarti ia telah masuk ke seluruh wilayah Islam dan mengambil segala bentuk kebaikan, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, yang tiada sesembahan yang hak selain Dia, serta membenarkan adanya para malaikat yang merupakan para duta yang menghubungkan antara Allah dan para Rasul-Nya.
Beriman kepada “al-Kitab.” Al-Kitab merupakan isim jins (nama jenis) yang mencakup kitab-kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri oleh yang termulia di antara kitab-kitab itu, yaitu al-Qur’an yang menjadi tolok ukur bagi kitab-kitab sebelumnya, yang kepadanya semua kebaikan bermuara, meliputi segala macam kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan semua kitab itu dinasakh (dihapus hukumnya, diganti dengan yang baru) dengannya.
Selain itu, beriman kepada para nabi Allah Ta’ala secara keseluruhan, dari nabi pertama hingga terakhir, yaitu Muhammad saw.
Firman Allah: wa aatal maala ‘alaa hubbiHi (“Dan memberikan harta yang dicintainya.”) Artinya, menyedekahkan hartanya padahal ia sangat mencintai dan menyenanginya. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, dan lainnya. Sebagimana telah diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, hadits marfu’ dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik sedekah adalah engkau menyedekahkan harta sedang engkau dalam keadaan sehat lagi tamak, engkau menginginkan kekayaan dan takut miskin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala telah mengingatkan melalui firman-Nya yang artinya: “Sekali-sekali kamu tidak akan meraih kebaikan hingga kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu sukai.” (QS. All Imraan: 92)
Juga firman-Nya yang artinya: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Mubajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr: 9)
Inilah pola yang lain lagi, yang sangat tinggi nilainya, yaitu mereka lebih mengutamakan orang lain padahal sebenarnya mereka sendiri sangat membutuhkannya. Mereka menginfakkan dan memberikan makanan yang dicintainya.
Dan firman Allah Ta’ala yang berikutnya: dzawil qurbaa (“Kepada kerabatnya.”) Mereka ini lebih diutamakan untuk diberi sedekah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini: “Sedekah kepada orang-orang miskin itu hanya (berpahala satu) sedekah saja. Sedangkan sedekah kepada kerabat (berpahala) dua, yaitu sedekah dan silaturrahmi. Mereka itu orang yang paling utama untukmu dan untuk mendapatkan kebaikan serta pemberianmu.”
Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka melalui beberapa ayat di dalam al-Qur’an.
Wal yataamaa (“Anak-anak yatim.”) Yaitu mereka yang tidak mempunyai orang yang menafkahinya, dan ditinggal mati oleh ayahnya pada saat masih lemah, kecil, dan belum baligh serta belum mempunyai kemampuan untuk mencari nafkah.
Wal masaakiina (“Dan orang-orang miskin.”) Yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Mereka ini harus diberi sedekah agar dapat menutupi kebutuhan dan kekurangannya.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. pernah bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang berjalan mengelilingi orang-orang, lalu memperoleh [dari meminta-minta] satu atau dua butir kurma, sesuap nasi atau dua suap makanan, tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kekayaan yang mencukupinya, serta tidak mendapatkan jalan untuk mem-perolehnya sehingga ia diberi sedekah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Firman-Nya: wabnas sabiili (“Ibnu sabil.”) Yaitu orang yang berpergian jauh dan telah kehabisan bekal. Orang ini perlu diberi sedekah supaya bisa sampai ke negerinya. Demikian juga orang yang melakukan suatu perjalanan untuk berbuat ketaatan, maka dia pun perlu diberi bekal yang mencukupi untuk keberangkatan dan kepulangannya. Dan tamu termasuk dalam kategori Ibnu Sabil, sebagaimana dikatakan All bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Ibnu Sabil adalah tamu yang singgah di rumah orang-orang Muslim.”
Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abu Ja’far al-Baqir, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, az-Zuhri, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan.
Was saa-iliina (“Orang orang yang meminta-minta.”) Mereka itu adalah orang yang tampak meminta, maka ia diberi zakat dan sedekah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Fatimah bin Husain, dari ayahnya, Abdur Rahman Husain bin Ali menceritakan, Rasulullah bersabda: “Orang yang meminta memiliki hak meskipun ia datang dengan menunggang kuda.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud; Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dha’iifu1 Jaami’ (4746).-ed.)
Firman-Nya: wa fir riqaabi (“Dan [memerdekakan] hamba sahaya.”) Mereka itu adalah budak yang mempunyai perjanjian untuk menebus dirinya dan tidak mendapatkan biaya untuk melakukan hal itu. Mengenai hal-hal tersebut di atas akan diuraikan lebih lanjut dalam penafsiran ayat zakat dalam surat at-Taubah, insya Allah.
Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa aqaamash shalaata (“Dan mendirikan shalat.”) Yaitu menyempurnakan pelaksanaan amalan shalat secara tepat waktu berikut ruku’, sujud, thuma’ninah, dan khusyu’ sesuai dengan yang disyari’atkan dan diridhai.
Firman-Nya: wa aataz zakaata (“Dan menunaikan zakat.”) Bisa berarti penyucian diri dan pembersihannya dari akhlak hina dan tercela. Sebagaimana finnan Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) Demikian juga ucapan Nabi Musa as. kepada Fir’aun: “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan akan kupimpin kejalan Rabbmu supaya kamu takut kepada-Nya?” (QS; An-Naazi’aat: 18-19). Dan firman-Nya yang lain: “Dan kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan penyucian diri dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS.Fushshilat: 6-7)
Bisa juga berarti zakat mal. Sebagaimana dikatakan oleh Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan. Jadi, pemberian kepada beberapa pihak dan golongan yang disebutkan di atas merupakan pemberian yang bersifat kerelaan hati, kebaikan, dan silaturrahmi.
Firman-Nya yang berikutnya: wal muufuuna bi ‘aHdiHim idzaa ‘aaHaduu (“Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji. “Ayat ini sama seperti firman-Nya: “Yaitu orang-orang yang menepati janji Allah dan tidak merusak perjanjian. ” (QS. Ar-Ra’ad: 20)
Lawan dari sifat ini adalah nifak (kemunafikan). Ditegaskan dalam hadits berikut: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara, bohong. Jika berjanji mengingkari. Dan jika diberi kepercayaan berkhianat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan firman-Nya selanjutnya: wash shaabiriina fii ba’saa-i wadl-dlarraa-i wahiinal ba’si (“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.”) Artinya, dalam keadaan miskin yang disebut dengan al-ba’sa. Juga dalam keadaan sakit dan menderita yang disebut dengan adh-dharra.
Wahiinal ba’si; artinya ketika berada dalam peperangan_dan berhadapan dengan musuh. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, Murrah al-Hamadani, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Hasan al-Bashri, Qatadah, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Abu Malik, adh-Dhahhak, dan lain-lainya.
Kata “ash-shaabiriina” dijadikan manshub sebagai pujian dan anjuran untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi segala kondisi yang berat dan sulit tersebut. Wallahu aalam, hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan dan bertawakal.
Dan firman-Nya: ulaa-ikal ladziina shadaquu (“Mereka itulah orang-orang yang benar [imannya].”) Maksudnya, mereka yang telah menyandang sifat-sifat tersebut di atas adalah orang-orang yang benar imannya. Karena mereka telah mewujudkan keimanan hati melalui ucapan dan perbuatan. Mereka inilah orang-orang yang benar; wa ulaa-ika Humul muttaquun (“dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa,”) karena mereka menjauhi segala hal yang diharamkan, dan mengerjakan berbagai macam ketaatan.


EmoticonEmoticon