Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 228

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 228
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Ini merupakan perintah Allah bagi para wanita yang diceraikan, yang sudah dicampuri oleh suami mereka, dan masih haid. Mereka diperintahkan untuk menunggu selama tiga kali quru’. Artinya, mereka harus berdiam diri selama tiga quru’ (masa suci atau haid) setelah diceraikan oleh suaminya; setelah itu jika menghendaki mereka boleh menikah dengan laki-laki lain.
Empat Imam (Maliki, Hanafi, Hambali, dan Syafi’i) telah mengecualikan hamba sahaya dari keumuman ayat tersebut. Menurut mereka, jika hamba sahaya itu diceraikan, maka ia hanya perlu menunggu dua guru’ saja, karena mereka berkedudukan setengah dari wanita merdeka, sedangkan quru’ itu sendiri tidak dapat dibagi menjadi dua. Sehingga cukup bagi para hamba sahaya untuk menunggu dua quru’ saja.
Para ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud quru’ itu. Mengenai hal itu terdapat dua pendapat:
Pertama, yang dimaksud dengan quru’ adalah masa suci. Dalam kitab-nya, al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Hafshah binti Abdurrahman pindah (ke rumah suaminya) ketika ia menjalani haid yang ketiga kalinya. Kemudian hal itu disampaikan kepada Umrah binti Abdurrahman, maka ia pun berkata, “Urwah benar.” Namun hal itu ditentang oleh beberapa orang, di mana mereka mengatakan, sesungguhnya Allah telah berfirman dalam kitab-Nya, “Tiga kali quru.” Lalu Aisyah menuturkan, “Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan quru’? Quru’ adalah masa suci.”
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, aku pernah mendengar Abu Bakar bin Abdur Rahman mengatakan, “Aku tidak mengetahui para fuqaha kita melainkan mereka mengatakan hal itu.” Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah ucapan Aisyah radhiallahu ‘anha.
Lebih lanjut Imam Malik mengatakan, “Pendapat Ibnu Umar itulah yang menjadi pendapat kami.”
Hal yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit,Salim, al-Qasim, Urwah, Sulaiman bin Yasar, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abban bin Utsman, Atha’ bin Rabah, Qatadah, az-Zuhri, dan beberapa fuqaha lainnya. Itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik, Syafi’i, Dawud, AbuTsaur, dan sebuah riwayat dari Ahmad. Pendapat itu didasarkan pada firman Allah yang artinya: “Maka hendaklah kalian menceraikan mereka pada waktu mereka (menjalani) iddahnya (yang wajar).” (QS. Ath-Thalaaq: 1) Maksudnya, ceraikan mereka ketika mereka berada pada masa suci.
Oleh karena masa suci itu menjadi sandaran dalam pelaksanaan perceraian, hal itu menun-jukkan bahwa masa suci itu merupakan salah satu dari quru’ yang diperintahkan untuk menunggunya. Karenanya, mereka mengatakan, bahwa seorang wanita yang menjalani masa iddahnya karena diceraikan suaminya dapat mengakhirimasa iddahnya tersebut dan berpisah dari suaminya dengan berhentinya masa haid yang ketiga. Batas waktu minimal seorang wanita mendapatkan nafkah selama menyelesaikan masa iddahnya itu adalah 32 hari lebih beberapa saat.
Abu Ubaidah dan ulama lainnya (berpendapat seperti itu) berdasarkan pada ungkapan seorang penyair, yaitu al-A’sya:
Setiap tahun engkau melibatkan diri dalam peperangan,
kesabaranmu yang kuat telah mengantarmu kepada puncaknya.
Dengan mewariskan harta benda, yang pada dasarnya adalah kehor-matan,
karena hilangnya masa quru’ istrimu pada masa itu.
Syair tersebut memuji salah seorang panglima perang, yang lebih mengutamakan berperang hingga hilang masa suci isterinya, dan ia tidak sempat mencampuri mereka.
Pendapat kedua, yang dimaksud dengan quru’ adalah haid. Sehingga seorang wanita belum dinyatakan selesai menjalani masa iddahnya sampai suci dari haidnya yang ketiga. Ulama lainnya menambahkan dengan kalimat: dan ia sudah mandi besar. Batas waktu minimal pemberian nafkah kepada wanita pada masa menjalani masa iddahnya adalah 33 (tiga puluh tiga) hari dan sesaat sesudahnya.
Ats-Tsauri meriwayatkan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah, ia menceritakan, kami pernah berada di sisi Umar bin Khattab ra, lalu ada seorang wanita mendatanginya seraya berkata: “Suamiku telah meninggalkanku satu atau dua kali. Kemudian ia datang kembali kepadaku sedang aku telah mengemasi pakaianku dan menutup rapat pintuku.” (Maksudnya: telah berlalu haid yang ketiga kali, dan siap untuk mandi besar lalu suaminya datang untukkembali rujuk). Maka Umar berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Aku berpendapat, dia tetap menjadi istrinya selama dia belum boleh mengerjakan shalat (belum mandi wajib).” Ibnu Masud pun berpendapat seperti itu.
Diriwayatkan juga dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Darda’, Ubadah bin Shamit, Anas bin Malik, Ibnu Mas’ud, Mu’adz, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari,Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyab, al-Qamah, al-Aswad, Ibrahim, Muhajid, Atha’, Thawus, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Muhammad bin Sirin, al-Hasan,Qatadah, asy-Sya’abi, Rabi’ bin Anas, Muqatil bin Hayyan, as-Suddi, Makhul,adh-Dhahhak, dan Atha’ al-Khurasani. Mereka semua menyatakan bahwa quru’ berarti haidh.
Itu pula yang menjadi pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, serta pendapat yang paling shahih dari dua riwayat Imam Ahmad bin Hambal. Diceritakan al-Atsram, bahwa ia mengatakan, para pembesar dari kalangan sahabat Rasulullah berkata: “Quru’ adalah haidh.” Dan itu Pula yang menjadi pendapat ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnu Abi Laila,Ibnu Syubrumah, Hasan bin Shalih bin Hayi, Abu Ubadah, dan Ishak bin Rahawaih.
Ibnu Jarir mengatakan, dalam percakapan masyarakat Arab, quru’ berarti waktu datangnya sesuatu, yang sudah rutin dan diketahui waktunya, dan waktu berlalunya sesuatu yang sudah rutin, dan sudah diketahui waktu berlalunya. Istilah quru’ ini berlaku untuk keduanya. Dan sebagian ulama ushul telah berpendapat dengan makna tersebut. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan: “Para ahli bahasa Arab dan juga fuqaha tidak berbeda pendapat bahwa yang dimaksud dengan quru’ itu adalah masa haid dan juga masa suci. Tetapi mereka hanya berbeda pendapat mengenai maksud dari ayat tersebut hingga terbagi menjadi dua pendapat.
Dan firman Allah: wa laa yahillu laHunna ay yaktumna maa khalaqallaaHu fii arhaamiHinn (“Mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka.”) Yaitu, hamil atau haid. Demikian dikatakan ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, asy-Sya’bi, al-Hakam bin Unaiyah, Rabi’ bin Anas, adh-Dahhak, dan ulama lainnya.
Firman-Nya lebih lanjut: in kunna yu’minna billaaHi wal yaumil aakhiri (“Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.”) Itu merupakan ancaman bagi mereka (para isteri) jika mereka menyalahi kebenaran. Hal itu menunjukkan bahwa persoalan ini berpulang kepada para wanita itu sendiri, karena hanya merekalah yang mengetahui persoalan tersebut. Dan sangat sulit untuk meminta keterangan mengenai hal itu, sehingga persoalan itu diserahkan kepada mereka dan mereka diancam agar tidak memberitahukan sesuatu yang tidak benar, baik karena ingin segera menyelesaikan masa iddah maupun karena ingin memperpanjang masa iddahnya. Dan mereka diperintahkan agar memberitahukan keadaan yang sebenarnya, tanpa tambahan dan pengurangan.
Firman Allah: wa bu’uulatuHunna ahaqqu biraddiHinna fii dzaalika in araaduu ish-laahan (“Dan para suami berhak merujuknya dalam masa menunggu itu. Jika mereka [para suami] itu menghendaki ishlah.”) Artinya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk merujuknya selama ia masih menjalani masa iddah, jika dengan rujuk tersebut ia bermaksud mengadakan ishlah dan kebaikan. Hal itu berlaku pada wanita-wanita yang di talak raj’i. Sedangkan wanita-wanita yang ditalak ba’in (talak tiga), pada saat ayat ini turun belum ada wanita yang ditalak ba’in. Dan terjadinya talak ba’in ini setelah mereka dibatasi dengan tiga talak. Sedangkan ketika turunnya ayat ini, seorang laki-laki lebih berhak merujuk istrinya meskipun ia telah mentalaknya seratus kali talak. Tetapi ketika mereka dibatasi oleh ayat berikutnya bahwa talak itu hanya sampai batas tiga kali, maka terdapatlah wanita yang ditalak ba’in (talak tiga) dan talak raj’i (talak yang pertama dan yang kedua).
Dan firman-Nya: wa laHunna mitslul ladzii ‘alaiHinna bil ma’ruuf (“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”) Artinya, para istri itu mempunyai hak atas suami mereka seperti hak yang dimiliki suami atas diri mereka. Masing-masing dari keduanya harus menunaikan hak tersebut dengan cara yang baik. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Shahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda dalam khutbahnya yang disampaikan pada waktu haji wada’:
“Takutlah kepada Allah dalam urusan wanita. Karena sesungguhnya kalian telah mengambil (menikahi) mereka dengan amanat Allah dan meminta kehalalan dalam mencampuri mereka dengan kalimat Allah. Akan tetapi, kalian memiliki (hak) atas mereka, bahwa mereka (isteri) tidak boleh mengizinkan seseorang yang kalian benci menginjak tikar (rumah) kalian. Jika mereka melakukan hal itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Juga diwajibkan atas kalian (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada mereka (isteri) dengan cara yang baik.” (HR. Muslim).
Dan dalam hadits Bahaz bin Hakim, dari Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya ia pernah bertanya: “Ya Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami?” Maka beliau bersabda: “Hendaklah engkau memberikan makan kepadanya jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, dan engkau tidak boleh memukul wajahnya, tidak boleh menghina, dan tidak boleh juga mengisolasinya kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud dengan sanad Shahih dan Nasa’i).
Firman Allah: wa lir rijaali ‘alaiHinna darajatun (“Akan tetapi para suami mempunyai suatu tingkat kelebihan daripada istrinya.”) Maksudnya, kelebihan dalam bentuk tubuh, kedudukan, ketaatan terhadap perintah, pemberian nafkah, penunaian berbagai kewajiban dan kepentingan, serta kelebihan didunia dan akhirat. Sebagaimana yang difirmankan-Nya ini yang artinya:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisaa’: 34).
Firman Allah Ta’ala selanjutnya: wallaaHu ‘aziizun hakiim (“Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”) Artinya, perkasa dalam memberikan siksaan kepada orang yang mendurhakai-Nya dan melanggar perintah-Nya, serta bijaksana dalam perintah, syari’at, dan ketetapan-Nya.


EmoticonEmoticon