Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 180-182

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 180-182“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 180) Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui. (QS. Al-Baqarah: 181) (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mabapenyayang. (QS. Al-Baqarah: 182)
Ayat ini mengandung perintah untuk memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kaum kerabat. Menurut pendapat yang lebih kuat, pemberian wasiat itu merupakan suatu hal yang wajib sebelum turunnya ayat mengenai mawaris (pembagian harta warisan). Dan ketika turun ayat fara’idh, ayat washiyat itu dinasakh, dan pembagian warisan yang ditentukan menjadi suatu hal yang wajib dari Allah Ta’ala yang harus diberikan kepada ahli waris, tanpa perlu adanya wasiat serta tidak mengandung kemurahan dari orang yang berwasiat.
Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab as-Sunan dan lainnya, dari Amr bin Kharijah, katanya, aku pemah mendengar Rasulullah berkhutbah, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, katanya, ketika Ibnu Abbas duduk dan membaca surat al-Baqarah hingga sampai ayat ini: in taraka khairanil washiiyyatu lilwaalidaini wal aqrabiin (“Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya,”) ia pun mengatakan, “Ayat ini sudah dinasakh.”
Hadits di atas juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan menurutnya derajat hadits ini shahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan Muslim.
Dan mengenai firman-Nya: al washiiyyatu lilwaalidaini wal aqrabiin (“Berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya,”) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, “Pada mulanya tidak ada yang memperoleh warisan dengan adanya ibu-bapak kecuali jika ia berwasiat kepada kaum kerabat. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat tentang mawaris, di dalamnya diterangkan bagian kedua orang tua dan ditetapkan wasiat untuk karib kerabat dengan sepertiga harta si mayit.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat: al washiiyyatu lilwaalidaini wal aqrabiin (“Berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya,”) ini telah dinasakh dengan ayat yang artinya:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisaa’: 7)
Mengenai ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Kewajiban berwasiat kepada ibu bapak dan juga karib kerabat yang termasuk ahli waris itu menurut ijma’ telah dinasakh, bahkan dilarang.” Hal itu didasarkan pada hadits: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris.”
Dengan demikian, ayat mawaris merupakan hukum yang independen dan kewajiban dari sisi Allah bagi ashhabul furudh (ahli waris yang mendapat bagian tertentu) dan juga ashabah (ahli waris yang menerima sisa bagian dari ashhabulfurudh). Dengan ayat ini pula hukum wasiat terhapus secara total. Dengan demikian yang tertinggi adalah kaum kerabat yang tidak berhak memperoleh warisan. Disunnahkan kepada seseorang untuk berwasiat bagi mereka dari sepertiga hartanya sebagai respon atas ayat wasiat dan keumumannya.
Selain itu, diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak dibenarkan bagi seseorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan berdiam diri selama dua malam, melainkan wasiat itu telah tertulis di sisinya.” (Muttafaq ‘alaih).
Ibnu Umar menuturkan: “Tidak ada satu malam pun yang berlalu dariku sejak aku mendengar Rasulullah menyampaikan-hal itu melainkan wasiatku berada di sisiku.”
Dan firman-Nya: in taraka khairan (“Jika ia meninggalkan harta yang banyak”) Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wasiat itu disyariatkan, baik harta warisan itu sedikit maupun banyak sepert halnya disyari’atkannya warisan. Tetapi di antara mereka ada juga yang berpendapat, bahwa wasiat itu hanya dilakukan bila seseorang meninggalkan harta yang banyak.
Firman-Nya lebih lanjut: bil ma’ruuf (“Dengan cara yang baik.”) Artinya dengan lemah lembut dan baik. Dan yang dimaksud dengan makruf adalah hendaklah seseorang berwasiat kepada kaum kerabat tanpa menghancurkan (masa depan) ahli warisnya; tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Sa’ad pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhya aku mempunyai harta kekayaan (yang cukup banyak) dan tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang puteriku, apakah aku boleh mewasiatkan dua pertiga hartaku?” “Tidak,” jawab Rasulullah. “Apakah setengahnya?” tanyanya lebih lanjut. Beliau jawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah sepertiga?” Beliau menjawab, “Ya sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada orang lain.”
Sedangkan dalam kitab Shahih al-Bukhari diriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas berkata, “Seandainya orang-orang mengurangi(nya) dari sepertiga menjadi seperempat itu sudah cukup karena sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.”
Dan firman-Nya: famam badda laHuu ba’da maa sami’aHuu fa innamaa itsmuHuu ‘alal ladziina yubaddiluunaHu innallaaHa samii’un ‘aliim (“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”) Artinya, barangsiapa menyelewengkan wasiat itu dan menyimpangkannya, lalu mengubah ketetapannya dengan menambah atau mengurangi, tentu saja termasuk dalam hal ini adalah menyembunyikannya.
fa innamaa itsmuHuu ‘alal ladziina yubaddiluunaHu (“maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya”) Ibnu Abbas dan beberapa ulama lainnya mengemukakan: “Pahala si mayit itu ada di sisi Allah, sedangkan dosanya [mengubah wasiat] ditanggung oleh orang-orang yang mengubahnya.”
innallaaHa samii’un ‘aliim (“Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”) artinya Allah Ta’ala mengawasi apa yang diwasiatkan oleh si mayit, dan Dia mengetahui hal itu serta perubahan yang dilakukan oleh penerima wasiat.
Firman Allah berikutnya: faman khaafa mim muushin janafan au itsman (“[Akan tetapi] barangsiapa khawatir terhadap orang yang ber’wasiat itu berlaku berat sebelah [tidak adil] atau berbuat dosa.”) Ibnu Abbas mengatakan, janaf berarti kesalahan, ini mencakup segala macam kesalahan. Misalnya, mereka menambah bagian seorang ahli waris dengan berbagai perantara atau sarana, seperti misalnya jika seseorang berwasiat supaya menjual sesuatu barang tertentu karena pilih kasih. Atau seseorang berwasiat untuk anak dari puterinya agar bagian puterinya bertambah atau cara-cara lainnya yang semisal, baik karena keliru tanpa disengaja, disebabkan naluri dan rasa sayang tanpa disadari, atau karena sengaja berbuat dosa. Dalam keadaan seperti itu, orang yang diserahi wasiat boleh memperbaiki permasalahan ini dan melakukan perubahan dalam wasiat itu sesuai dengan aturan syari’at, serta melakukan perubahan wasiat yang disampaikan si mayit itu kepada wasiat yang lebih mendekati dan sesuai untuk memadukan antara maksud pemberi wasiat dan Cara yang syar’i. Perbaikan dan pemaduan ini sama sekali bukanlah disebut perubahan.


EmoticonEmoticon