Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 19-22

Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 19-22“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mempusakai (mewarisi) wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisaa’: 19) Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka hartayang ban yak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanyabarang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali denganjalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. An-Nisaa’: 20) Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil darimu perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisaa’: 21) Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisaa’: 22)
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, asy-Syaibani berkata, Abul Hasan as-Sawa-i menyebutkannya dan aku tidak memiliki dugaan yang lain, kecuali penuturannya itu berasal dari Ibnu `Abbas (berkenaan dengan ayat ini): yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa yahillu lakum an taritsun nisaa-a karHan; ia berkata: “Dahulu jika seorang laki-laki meninggal, maka para walinya lebih berhak dengan isterinya. Jika sebagian mereka mau, mereka dapat mengawininya atau dapat pula mengawinkannya atau tidak sama sekali. Mereka adalah orang yang paling berhak dengan isterinya itu dibandingkan keluarganya, maka turunlah ayat ini: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa yahillu lakum an taritsun nisaa-a karHan (“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mempusakai [mewarisi] wanita dengan jalan paksa.”) Demikianlah yang dikisahkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Mardawaih dan Ibnu Abi Hatim.
Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra. ia berkata tentang ayat ini: laa yahillu lakum an taritsun nisaa-a karHaw walaa ta’dluluuHunna litadzHabuu biba’dli maa aataitumuuHunna illaa ay ya’tiina bifaahisyatim mubayyinatin (“Tidak halal bagimu mempusakai [mewarisi] wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu mengusahakan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.”) yaitu, bahwa seorang laki-laki yang mewariskan isterinya untuk para kerabatnya, maka ia menghalanginya untuk kawin hingga ia mati atau mengembalikan maharya, maka Allah swt melarang hal tersebut. Riwayat ini hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri dan diriwayatkan pula oleh ulama yang lain dari Ibnu `Abbas yang serupa dengan itu.
Ibnu Juraij berkata bahwa `Ikrimah berkata: “Ayat ini turun tentang Kubaisyah binti Ma’n bin `Ashim bin al-Aus yang ditinggal wafat oleh Abul Qais bin al-Aslat. Lalu putera suaminya menyukainya, maka ia mendatangi Rasulullah saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku bukan warisan suamiku dan aku tidak mau dinikahi,” maka Allah menurunkan ayat ini.
As-Suddi berkata dari Abu Malik: “Dahulu, wanita di zaman Jahiliyyah jika ditinggal mati suaminya, maka akan didatangi oleh walinya, lalu diberikan sebuah baju. Jika suaminya memiliki anak laki-laki yang masih kecil atau saudara laki-laki, maka ia akan ditahan hingga si anak dewasa atau si wanita itu meninggal, lalu, si anak akan mewarisinya. Tetapi wanita itu melarikan diri dan mendatangi keluarganya serta belum diberikan baju, maka ia selamat, maka Allah swt. turunkan ayat: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa yahillu lakum an taritsun nisaa-a karHan (“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mempusakai [mewarisi] wanita dengan jalan paksa.”) Mujahid berkata tentang ayat ini, “Ada seorang laki-laki yang meme-lihara anak yatim wanita dan ia menjadi walinya, lalu ia menahannya dengan harapan di saat isterinya itu meninggal, ia dapat mengawininya atau dikawinkan kepada anak laki-lakinya.” (HR. Ibnu Abi Hatim).
Kemudian ia (Ibnu Hatim) berkata: “Diwayatkan pula hal yang serupa dari asy-Sya’bi, `Atha’ bin Abi Rabah, Abu Mijlaz, adh-Dhahhak, az-Zuhri, `Atha’ al-Khurasani dan Muqatil bin Hayyan.
Aku (Ibnu Katsir) berpendapat, ayat tersebut berlaku umum untuk sesuatu yang dilakukan pada masa Jahiliyyah, juga untuk apa yang disebutkan oleh Mujahid dan para pendukungnya, serta untuk setiap jenis masalah tersebut.Wallahu a’lam.
Firman-Nya: walaa ta’dluluuHunna litadzHabuu biba’dli maa aataitumuuHunna (“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.”) Artinya, janganlah kalian menyusahkan mereka dalam pergaulan karena hendak mengambil kembali seluruh atau sebagian mahar yang telah engkau berikan atau salah satu haknya atau sesuatu dari hal tersebut dengan jalan memaksa atau mencelakakannya.
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Nya: walaa ta’dluluuHunna (“Dan janganlah kamu menghalagi mereka,”) ia berkata, “Janganlah kalian paksa mereka,” litadzHabuu biba’dli maa aataitumuuHunna (“Karena hendak mengambil kembali sebagian apa yang telah kamu berikan kepada mereka.”) Yaitu seorang laki-laki yang mempunyai seorang isteri dan ia benci menggaulinya. Sedangkan ia mempunyai hutang mahar, maka ia berusaha mencelakakannya agar ia (si isteri) menebusnya dengan mahar.
Demikianlah yang dikatakan oleh adh-Dhahhak, Qatadah dan yanglainnya, serta dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnul Mubarak dan ‘Abdurrazzaq berkata, Ma’mar telah mengabarkan kepada kami bahwa Samak bin al-Fadhl mengabarkan kepadaku dari Ibnuas-Silmani, ia berkata, “Kedua ayat ini, salah satunya turun berkenaan dengan urusan pada masa Jahiliyyah dan ayat satunya lagi pada masa Islam.”
`Abdullah bin al-Mubarak berkata tentang firman Allah Firman Allah: laa yahillu lakum an taritsun nisaa-a karHan (“Tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa.”) adalah [sebagaimana terjadi] pada masa jahiliyyah. Walaa ta’dluluuHunna (“Dan janganlah kamu menghalangi mereka.”) pada masa Islam.
Illaa ay ya’tiina bifaahisyatim mubayyinatin (“Kecuali jika mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.”) Ibnu Mas’ud, Ibnu `Abbas, Sa’id bin al-Musayyab, asy-Sya’bi, al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Sa’id bin Jubair, Mujahid, `Ikrimah, `Atha’ al-Khurasani, adh-Dhahhak, Abu Qilabah, abu-Shalih, as-Suddi, Zaid bin Aslam dan Sa’id bin Abi Hilal berkata: “Yang dimaksudkan dengan hal itu (al-fahisyah) adalah zina.” Yaitu apabila isteri berzina, maka engkau berhak meminta kembali mahar yang telah engkau berikan dan berhak pula menjauhinya hingga ia membiarkan mahar itu diambil olehmu dan ia meminta cerai, sebagaimana firman Allah: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (QS. Al-Baqarah: 229)
Ibnu `Abbas, `Ikrimah dan adh-Dhahhak berkata: “Pekerjaan keji yang nyata adalah Nusyuz (kedurhakaan) dan kemaksiatan.” Sedangkan Ibnu Jarir memilih, bahwa hal tersebut mencakup seluruhnya, baik zina, kemaksiatan, kedurhakaan, bermulut keji (kotor) atau-pun yang lainnya. Yaitu, sesungguhnya semua ini menyebabkan dibolehkannya menjauhi dia (si isteri) sampai ia membebaskan seluruh atau sebagian haknya lalu ia (si suami) menceraikannya. Pendapat ini cukup baik, wallahua’lam.
Firman-Nya: wa’aasyiruuHunna bil ma’ruuf (“Dan gaulilah mereka dengan cara yang ma’ruf.”) Artinya perhaluslah kata-katamu dan perindahlah perilaku dan sikapmu sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyenangi hal itu dari-nya, maka lakukanlah yang serupa untuknya. Sebagaimana firman Allah: “Dan wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling berbuat baik kepada keluarga-nya. Dan aku adalah orang yang paling berbuat baik kepada keluargaku.” (HR. At-Timmidzi dari `Aisyah, al-Baihaqi dari Ibnu’Abbas dan ath-Thabrani dari Mu’awiyah)
Di antara akhlak-akhlak Rasulullah adalah baik dalam pergaulan, selalu berseri, bersenda gurau dengan keluarganya, lemah-lembut kepada mereka, memberikan keluasan nafkah, bercanda dengan isteri-isteri beliau sampai-sampai beliau berlomba dengan ‘Aisyah Ummul Mukminin dengan penuh kecintaan. Dalam hal ini, ‘Aisyah, berkata: “Rasulullah berlomba denganku, lalu aku memenangkannya dan di saat itu badanku belum gemuk. Kemudian aku berlomba dengannya dan beliau pun mengalahkanku di saat badanku mulai gemuk. Beliau bersabda, ‘Ini adalah untuk (kekalahan) yang lalu.’” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud.)
Beliau menghimpun isteri-isterinya setiap malam di rumah di mana beliau menginap, kadang-kadang beliau makan malam bersama mereka kemudian masing-masing kembali ke rumahnya. Beliau tidur bersama salah seorang isterinya dengan satu pakaian dalam (tidur), yaitu beliau melepaskan pakaian dari kedua pundaknya dan tidur dengan memakai kain. Jika beliau selesai shalat `Isya, beliau berbincang-bincang dengan keluarganya sesaat sebelum tidur, menghibur mereka dengan hal itu. Allah berfirman [yang artinya]: “Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (al-Ahzab: 21)
Firman Allah: fa in kariHtumuuHunna fa’asaa an tak-raHuu syai-aw wa yaj’alallaaHu fiiHi khairan katsiiran (“Kemudian Jika kamu tidak menyukai mereka, [maka bersabarlah] karera mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”) Artinya, boleh jadi kesabaran kalian dalam mempertahankan mereka dalam keadaan tidak menyukainya, mengandung banyak kebaikan bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu `Abbas tentang ayat ini, yaitu bersabar dengannya, lalu diberi karunia anak darinya. Lalu pada diri anak itu terkandung banyak kebaikan.
Diriwayatkan dalam hadits shahih tercantum : “Tidak sepatutnya seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (isteri), jika ia benci pada satu perangainya, ia pun ridha dengan perangainya yang lain.”
Firman-Nya: wa in aradtumus tibdaala zaujim makaana zaujiw wa aataitum ihdaaHunna qinthaaran falaa ta’khudzuu minHu syai-an ata’khudzuunaHu buHtaanaw wa itsmam mubiinan (“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambil kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan [menanggung] dosa yang nyata?”) Artinya, jika salah seorang di antara kalian ingin menceraikan isterinya dan menggantinya dengan wanita lain, maka ia tidak boleh mengambil mahar yang pernah diberikannya di masa yang lalu sedikitpun. Sekalipun maharnya itu dalam ukuran qinthar (jumlah besar) dari harta. Pembicaraan mengenai qinthar sudah dibahas dalam surat Ali-‘Imran dan tidak perlu diulang.
Di dalam ayat ini terdapat dalil dibolehkannya mahar dengan harta yang banyak. Dahulu, `Umar bin al-Khaththab melarang mahar yang banyak, kemudian beliau menarik kembali larangannya. Imam Ahmad berkata, dikabarkan kepadaku dari Abu al-‘Ajfa’ as-Sulami yang berkata, aku mendengar `Umar bin al-Khaththab berkata: “Ketahuilah, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam mahar wanita, karena seandainya mahar itu merupakan kemuliaan di dunia atau ketakwaan di sisi Allah, maka Rasulullah saw lebih utama untuk melakukannya daripada kalian. Padahal beliau tidak memberikan mahar kepada isteri-isterinya atau untuk anak-anak puterinya lebih dari 12 uqiyah. Dan bahwasanya seseorang akan diuji dengan mahar isterinya hingga timbul permusuhan dalam dirinya terhadap isterinya sehingga dia mengatakan kepadanya: ‘Aku telah dibebani kesulitan yang berat untuk (mahar)mu berupa kantong air dari kulit.” (HR. Ahmad dan Ahlus Sunan dari Ibnu Sirindan at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)
Untuk itu Allah berfirman mengingkarinya: wa kaifa ta’khudzuunaHuu wa qad afdlaa ba’dlukum ilaa ba’dlin (“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul [bercampur] dengan yang lain sebagai suami-isteri.”) Artinya, bagaimana kalian mengambil mahar isteri, padahal kamu telah menggaulinya dan ia pun telah menggaulimu. Ibnu `Abbas, Mujahid, as-Suddi dan ulama lainnya berkata, “Yang dimaksud (bercampur) adalah jima.”
Di dalam ash-Shahihain tercantum bahwa Rasulullah saw bersabda kepada suami isteri yang saling melaknat, setelah selesai dari laknatnya: “Allah Mahamengetahui bahwa salah seorang kalian adalah pendusta. Maka, adakah di antara kalian yang bertaubat?” Beliau ucapkan hal tersebut tiga kali. Maka si suami berkata: “Ya Rasulullah, bagaimanakah dengan hartaku?” -yakni maskawin yang telah diberikannya,- Rasulullah saw bersabda: “Tidak berhak harta ini untukmu. Jika engkau benar dalam hal ini, maka harta itu adalah untuk apa yang telah engkau halalkan dari farjinya. Dan jika engkau dusta terhadapnya, maka harta itu lebih jauh lagi darimu dan lebih dekat kepadanya.”
Di dalam Sunan Abi Dawud dan selainnya dari Nadhrah bin Abi Nadhrah bahwa ia mengawini seorang gadis pingitan, dan ternyata ia sedang hamil karena zina. Maka, ia mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakannya. Lalu beliau menetapkan mahar untuk wanita itu, keduanya dipisahkan (diceraikan) dan beliau memerintahkan agar wanita itu dijild (dicambuk) dan beliau bersabda: “Anak menjadi abdimu, sedangkan mahar adalah berkenaan dengan bertemunya kemaluan”. Untuk itu Allah swt. berfirman: wa kaifa ta’khudzuunaHuu wa qad afdlaa ba’dlukum ilaa ba’dlin (“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul [bercampur] dengan yang lain sebagai suami-isteri.”)
Firman Allah swt: wa akhadna minkum miitsaaqan ghaliidhan (“Dan mereka [istri-istrimu] telah mengambil darimu perjanjian yang kuat.”) Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, Mujahid dan Sa’id bin Jubair bahwa yang dimaksud adalah akad. Sufyan ats-Tsauri berkata, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Ibnu `Abbas, ia berkata tentang firman Allah: wa akhadna minkum miitsaaqan ghaliidhan; yaitu mempertahankannya dengan ma’ruf atau melepasnya dengan ihsan.” Ibnu Abi Hatim berkata; “Pendapat ini diriwayatkan pula dari `Ikrimah, Mujahid, Abul ‘Aliyah, al-Hasan, Qatadah, Yahya bin Abi Katsir, adh-Dhahhak dan as-Suddi.”
Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Anas tentang ayat tersebut, menjadikan mereka isteri-isteri kalian dengan amanat dari Allah dan kalian telah menghalalkan farji mereka dengan menyebut kalimat Allah. Karena sesungguhnya yang dimaksudkan dengan kalimat Allah di sini ialah bacaan syahadat dalam khutbah nikah. (HR. Ibnu Abi Hatim).
Di dalam Shahih Muslim dari Jabir tentang khutbah haji wada’ bahwa saat itu Nabi saw bersabda: “Berwasiatlah dengan kebaikan untuk para wanita, karena kalian mengambil [memperistri] mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah.”
Firman Allah: walaa tankihuu maa nakaha abaa-ukum minan nisaa-i (“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”) Allah mengharamkan (menikahi) isteri-isteri para bapak sebagai penghormatan dan pemuliaan serta penghargaan bagi mereka bahwasanya tidak layak digauli setelah mereka, sehingga hal itu diharamkan bagi seorang anak, walau hanya sekedar akad saja, dan ini merupakan perkara yang disepakati.
Ibnu Abi Hatim berkata, dari ‘Adi bin Tsabit, dari seorang laki-laki Anshar, ia berkata: “Ketika Abul Qais bin al-Aslat wafat, dan ia termasuk orang yang shalih di kalangan Anshar, maka puteranya yaitu Qais melamar isterinya itu. Maka, sang isteri berkata: “Aku menganggapmu seorang anak dan engkau termasuk orang shalih di kalangan Anshar, tetapi aku akan datang kepada Nabi saw.” Lalu aku bercerita kepada beliau: “Sesungguhnya Abul Qais telah wafat.” Beliau berkata: “Kebaikan,” kemudian aku lanjutkan: “Sesungguhnya Qais, puteranya, melamarku padahal ia adalah orang shalih di kaumnya dan aku menganggapnya sebagai anak, bagaimana pendapatmu?” Maka beliau bersabda: “Pulanglah ke rumahmu,” lalu turunlah ayat: walaa tankihuu maa nakaha abaa-ukum minan nisaa-i (“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”)
Untuk itu Allah berfirman: illaa maa qad salafa (“Kecuali yang telah lalu.”) Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: “Dan [diharamkan bagimu] menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah lampau.” (QS. An-Nisaa’: 23)
Sesungguhnya Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Dahulu orang-orang jahiliyyah mengharamkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah kecuali isteri ayah dan menghimpun dua orang saudari, maka Allah menurunkan ayat: walaa tankihuu maa nakaha abaa-ukum minan nisaa-i; dan: wa an tajma’uu bainal ukhtaini; Demikianlah perkataan `Atha’ dan Qatadah. Wallahu alam.
Bagaimanapun hal tersebut telah diharamkan bagi umat ini dan merupakan perkara yang amat keji. Untuk itu Allah berfirman: innaHuu kaana faahisyataw wa maqtaw wa saa-a sabiilan (“Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan [yang ditempuh]).” Sebagaimana Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan satu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32)
Dalam ayat ini ditambahkan: wa maqtan (“Dan dibenci [Allah]”), maksudnya: bu’dlan (dibenci) yaitu perkara yang sangat besar pada dirinya dan membawa kebencian anak kepada ayahnya setelah menikahi isteri ayahnya itu. Karena pada umumnya seseorang yang mengawini seorang wanita, ia akan membenci suami sebelumnya. Untuk itu ibu-ibu kaum mukminin (Ummahaatul Muk-miniin) umat ini diharamkan, karena mereka adalah para ibu yang merupakan isteri-isteri Nabi saw, di mana kedudukan beliau seperti ayah, bahkan haknya lebih besar dari pada hak ayah berdasarkan ijma’. Bahkan juga, kecintaan kepada beliau harus lebih didahulukan di atas kecintaan pada diri sendiri. Semoga shalawat dan salam untuknya.
`Atha’ bin Abi Rabah berkata tentang firman-Nya: wa maqtan; artinya Allah mengutuknya. Wa saa-a sabiilan; artinya seburuk-buruk jalan yang ditempuh oleh seseorang. Barangsiapa yang tetap melakukannya setelah ini, maka berarti ia telah murtad dari agamanya. Dia harus dibunuh dan hartanya dijadikan harta (rampasan) bagi baitul maal. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan dari riwayat al-Barra’ bin `Azib, dari pamannya yaitu Abu Burdah, (dalam satu riwayat, dari Ibnu `Umar, dalam riwayat lain dari pamannya), bahwa dia diutus oleh Nabi kepada seseorang yang mengawini isteri ayahnya setelah ayahnya meninggal untuk dibunuh dan disita hartanya.
Permasalahan:
Para ulama telah sepakat tentang haramnya wanita yang telah disetubuhi oleh ayahnya, baik dengan cara perkawinan, kepemilikan (perbudakan) atau syubhat. Dan mereka berbeda pendapat tentang wanita yang digaulinya (oleh sang ayah) dengan penuh syahwat tanpa disetubuhi atau memandang sesuatu yang tidak dihalalkan pada wanita tersebut, sekiranya wanita itu adalah wanita lain. Disebutkan dari Imam Ahmad bahwa wanita tersebut pun tetap diharamkan dengan hal tersebut.
Contoh subhat dalam hal ini: Seorang ayah telah menikahi seseorang wanita di sebuah desa dan tidak diketahui di mana keberadaan isterinya tersebut, maka anak ayahnya tidak dibolehkan menikahi wanita di desa tersebut (dikarenakan adanya syubhat)


EmoticonEmoticon