Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 259

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 259
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’ Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: ‘Berapa lama kamu tinggal di sini?’ Ia menjawab: ‘Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.’ Allah berfirman: ‘Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledaimu telah menjadi tulang belulang; Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya kembali dengan daging.’ Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: ‘Saya yakin babwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Al-Baqarah: 259)
Sebelumnya telah dikemukakan firman Allah yang artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya.” Melalui penekanan firman-Nya itu terkandung pertanyaan: “Apakah engkau mengetahui orang seperti mendebat Ibrahim mengenai Rabbnya?” Oleh karena itu, Allah hubungkan ayat itu dengan firman-Nya:
Au kalladzii marra ‘alaa qaryyatiw wa Hiya khaawiyatun ‘alaa ‘uruusyiHaa (“Atau apakah [kamu tidak memperhatikan] orang yang melalui sesuatu negeri yang [temboknya] telah roboh menutup atapnya.”) Para ulama masih berbeda pendapat mengenai siapakah dimaksud dengan orang tersebut.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari All bin Abi Thalib ra, ia berkata, “Ia adalah Uzair.” Pendapat ini juga diriwayatkan Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim, dari Ibnu Abbas, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, dan Sulaiman bin Buraidah. Pendapat inilah yang masyhur. Sedangkan negeri yang dimaksudkan adalah sudah sangat masyhur, yaitu Baitul Maqdis. Ia melintasi negeri setelah dihancurkan dan dibunuh penduduknya oleh raja Bukhtanashr.
Wa Hiya khaawiyatun (“Yang [temboknya] roboh menutupi atapnya.”) Maksudnya, tidak ada seorangpun di sana. Seperti perkataan mereka: khawatid daaru (“rumah tak berpenghuni/kosong”) bentuk lainnya yaitu: khuwiyya, takhwiy.
Sedangkan firman Allah Ta’ala: ‘alaa ‘uruusyiHaa (“Yang [temboknya] telah roboh menutupi atapnya.”) Artinya, atap bangunan itu sudah runtuh dan temboknya telah roboh ke lantainya. Maka orang itu pun berdiri seraya berfikir tentang kejadian yang menimpa negeri itu beserta dan penduduknya, padahal sebelumnya negeri tersebut dipenuhi oleh bangunan-bangunan yang megah. Ia pun berkata: annaa yuhyii HaadziHillaaHu ba’da mautiHaa (“Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?”) Perkataan itu ia ucapkan setelah menyaksikan kerusakan dan kehancuran yang sangat parah serta tidak nungkin bisa kembali ramai seperti sediakala.
Maka Allah swt. berfirman: fa amaataHullaaHu mi-ata ‘aamin tsumma ba-‘atsaHu (“Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali.”) Allah Ta’ala berfirman, “Aku membangun kembali negeri itu setelah 70 tahun berlalu dari kematiannya, penduduknya berkumpul kembali, dan Bani Israil telah kembali ke negeri tersebut, ketika Allah swt. membangkitkannya dari kematian.” Yang pertama kali dihidupkan oleh Allah swt. adalah kedua matanya, hingga ia dapat melihat ciptaan Allah, bagaimana Dia menghidupkan kembali badannya. Ketika ia telah hidup sempurna, maka Allah Ta’ala melalui malaikat-Nya bertanya: kam labits-ta qaala labits-tu yauman au ba’dla yaumin (“’Berapa lama kamu tinggal di sini?’” Ia menjawab: ‘Aku telah tinggal di sini satu hari atau setengah hari.’”) Yang demikian itu disebabkan kematiannya terjadi pada permulaan siang hari, kemudian Allah Ta’ala membangkitkan orang itu setelah seratus tahun pada akhir siang. Ketika ia melihat matahari masih bersinar, ia menyangkanya sebagai matahari pada hari yang sama, sehingga ia mengatakan: au ba’dla yaumin (“Atau setengah hari.”)
Allah swt. berfirman: qaala bal labits-ta mi-ata ‘aamin fandhur ilaa tha’aamika wa syaraabika lam yatasannaH (“Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah.”) wandhur ilaa himaarika (“Dan lihatlah kepada keledaimu [yang telah menjadi tulang-belulang].”) Maksudnya, bagaimana Allah swt. menghidupkan, sedang engkau memperhatikan.
Wa linaj’alaka aayaatal lin naasi (“Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia.”) Maksudnya sebagai dalil yang menunjukkan adanya hari akhir.
Wandhur ilal ‘idhaami kaifa nunsyizuHaa (“Dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali.”) Artinya, Kami (Allah) mengangkatnya, menyusun satu dengan yang lainnya. Dalam kitabnya, al-Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dari ayahnya, bahwa Rasulullah pernah membaca ayat, “kaifa nunsizuHaa” membacanya dengan huruf “za” Kemudian ia mengatakan: “Hadits tersebut berisnad shahih, akan tetapi tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.” Ayat (inipun dapat) dibaca dengan “nunsyiruHaa” yang artinya “Kami menghidupkannya.” Demikian yang dikatakan oleh Mujahid.
Tsumma nakusuuHaa lahman (“Kemudian Kami menutup kembali dengan daging”) As-Suddi dan ulama lainnya mengatakan: “Tulang belulang keledai orang itu berserakan di sekitarnya, baik di sebelah kanan maupun di sebelah kirinya. Kemudian ia pun memperhatikan tulang-tulang itu yang tampak jelas karena putihnya. Selanjutnya Allah Ta’ala mengirimkan angin untuk mengumpulkan kembali tulang belulang tersebut dari segala tempat. Setelah itu, Dia menyusun setiap tulang pada tempatnya hingga menjadi seekor keledai yang berdiri dengan tulang tanpa daging. Selanjutnya Allah Ta’ala membungkusnya dengan daging, urat, pembuluh darah, dan kulit. Kemudian Dia mengutus malaikat untuk meniupkan ruh melalui kedua lubang hidung keledainya. Lalu dengan izin Allah swt. keledai itu bersuara. Semua peristiwa itu disaksikan oleh Uzair.
Setelah semua menjadi jelas baginya, la berkata: qaala a’lamu annallaaHa ‘alaa kulli syai-in qadiir (“Ia berkata: ‘Aku yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’”) Artinya, aku benar-benar mengetahui hal itu, aku telah menyaksikannya dengan kedua mataku. Dan aku adalah orang yang paling mengetahui hal itu daripada orang-orang lain sezamanku.
Para ulama lainnya membaca: qaala’lam (“la berkata: ‘Ketahuilah!’”) Hal ini menunjukan bahwa demikian itu merupakan suatu hal yang layak diketahui.


EmoticonEmoticon