Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 222-223

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 222-223“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalab suatu kotoran.’ Oleb sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222) Isteri-isterimu adalah (seperti) lahan tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 223)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas, bahwasanya jika wanita orang-orang Yahudi sedang haid, maka mereka tidak mau makan dan tidur bersama. Kemudian para sahabat Nabi menanyakan tentang hal itu, maka Allah menurunkan firman-Nya yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid. Dan janganlah kalian mendekati mereka sehingga mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. ”
Kemudian Rasulullah bersabda: “Lakukan apa saja selain berhubungan badan.” Maka berita itu sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu mereka pun berkata: “Orang ini (Muhammad) tidak meninggalkan satu perkara pun dari urusan kita kecuali menyelisihinya.”
Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan Ubad bin Basyar, keduanya berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi telah mengatakan begini dan begitu, apakah tidak kita campuri saja?” Maka berubahlah raut wajah Rasulullah sehingga kami kira beliau sedang marah kepada keduanya. Selanjutnya kedua orang itu pergi, lalu datanglah hadiah berupa susu untuk beliau. Kemudian beliau mengutus utusan kepada keduanya dan memanggilnya untuk diberikan kepada keduanya. Akhirnya keduanya mengetahui bahwa beliau tidak marah kepada mereka. Demikianlah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Hamad bin Zaid bin Salamah.
Firman-Nya: fa’tazilun nisaa-a fil mahiidl (“Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, “) yaitu pada kemaluannya. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah “Berbuatlah apa saja, kecuali berhubungan badan.” Oleh karena itu banyak atau bahkan mayoritas ulama berpendapat, bahwasanya dibolehkan menggauli wanita yang sedang haid kecuali pada kemaluannya.
Abu Dawud meriwayatkan dari Imarah bin Gharab, bahwa bibinya pernah memberitahukan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha, “Salah seorang dari kami sedang haid. Sementara ia dan suaminya tidak mempunyai tempat tidur kecuali hanya satu saja.” Maka Aisyah pun berkata: “Akan kuberitahukan kepadamu tentang apa yang pernah
dilakukan Rasulullah. Suatu hari beliau memasuki rumah dan langsung menuju ke masjidnya.” Abu Dawud mengatakan bahwa yang dimaksud masjid di sini adalah tempat shalat di rumahnya. Dan ketika beliau kembali aku telah tertidur lelap. Saat itu beliau tengah diserang rasa dingin (kedinginan), maka beliau berkata kepadaku: “Mendekatlah kepadaku.” Lalu kukatakan kepada beliau: “Aku sedang haid.” Dan beliau pun berucap: “Singkaplah kedua pahamu.” Maka aku pun membuka pahaku, dan kemudian beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas pahaku. Dan aku mendekapkan tubuh beliau sehingga terasa hangat, hingga beliau tertidur. (Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iif Abi Dawud [1/52].)
Dan dalam hadits shahih disebutkan, juga dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menceritakan: “Aku pernah menggigit daging sedang aku dalam keadaan haid. Kemudian aku berikan daging itu kepada Nabi , maka beliau menggigit pada bagian yang telah aku gigit. Aku juga pernah minum, lalu aku berikan minuman itu kepada beliau, maka beliau pun meletakkan bibirnya pada bagian yang darinya aku minum.
Sedang dalam riwayat Abu Dawud, juga dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata: “Jika aku haid, aku turun dari tempat tidur ke atas tikar. Maka dia tidak mendekati Rasulullah saw. hingga dia suci dari haidh.” (Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani sebagaimana terdapat dalam kitab Dha’iif Abi Dawud [1/53]).
Hal itu dipahami sebagai suatu upaya pencegahan dan kehati-hatian. Uama lainnya berpendapat bolehnya seseorang mencumbui isteri yang sedang haid kecuali pada bagian di bawah kain. Sebagaimana hal itu telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Maimunah bin al-Harits al-Hilaliyah, ia menceritakan, jika Nabi hendak mencumbui salah seorang dari isterinya yang sedang haid, maka beliau menyuruhnya mengenakan kain.
Demikian lafazh yang disampaikan Imam al-Bukhari. Hadits senada diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, dari Aisyah radhiallahu anha.
Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari al-‘Ala’, dari Hizam bin Hakim, dari pamannya, Abdullah bin Sa’ad al-Anshari, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah: “Apa yang boleh aku lakukan terhadap isteriku yang sedang haid?” Maka beliau pun
menjawab: “Engkau boleh berbuat apa saja terhadapnya pada bagian di atas kain.”
Juga hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, dari Mu’adz bin Jabal, ia menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai apa-apa yang boleh aku lakukan terhadap isteriku yang sedang haid. Maka beliau pun menjawab: “Engkau boleh berbuat apa saja terhadapnya pada bagian di atas kain, dan menghindari hal itu adalah tindakan yang lebih baik.” (Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iif Abi Dawud [36]).
Hadits tersebut diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyab, dan Syuraih.
Hadits-hadits tersebut di atas dan yang senada dengannya merupakan hujjah bagi orang yang membolehkan mencumbui isteri yang sedang haidh sebatas pada bagian di atas kain saja. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi’i rahimahullahu. Dan ditarjih oleh banyak ulama Irak dan lain-lainnya. Mereka menyimpulkan bahwa daerah sekitar farji adalah haram, agar tidak terjerumus melakukan hal-hal yang diharamkan Allah swt. sebagaimana disepakati oleh para ulama bahwa haram menggaulinya pada kemaluan. Barangsiapa yang melakukan hal itu, berarti ia telah berdosa. Maka hendaklah ia segera memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Firman Allah: wa laa taqrabuuHunna hatta yath-Hurn (“Dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci.”) merupakan penafsiran dari firman-Nya: fa’tazilun nisaa-a fil mahiidl (“Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid.”) Allah Ta’ala melarang mencampuri wanita selama ia masih menjalani haid. Pengertiannya adalah halal melakukan hal itu jika haidnya telah berhenti.
Firman-Nya: fa idzaa tattaHHarna ta’tuuHunna min haitsu amarakumullaaHu (“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.”) Dalam ayat tersebut terdapat anjuran dan bimbingan untuk mencampuri isteri setelah mereka mandi.
Ibnu Hazm berpendapat, wajib melakukan hubungan badan setiap usai haid. Hal itu didasarkan pada firman Allah: fa idzaa tattaHHarna ta’tuuHunna min haitsu amarakumullaaHu (“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.”) Dalam hal ini Ibnu Hazm tidak mempunyai sandaran, karena hal itu merupakan perintah setelah larangan.
Dalam hal ini terdapat banyak pendapat para ulama ushul fiqih. Di antara pendapat mereka ada yang mewajibkan sebagaimana perintah mutlak, dan mereka ini memerlukan jawaban yang sama dengan Ibnu Hazm. Ada juga yang berpendapat, ayat itu untuk membolehkan hubungan badan setelah haid. Mereka beralasan dengan didahulukannya larangan atas perintah maka hukum perintah itu tidak wajib. Namun pendapat ini masih perlu dipertimbangkan. Adapun pendapat yang didukung oleh dalil ialah yang menyatakan bahwa hukum itu dikembalikan kepada hukum sebelumnya, yaitu sebelum adanya larangan, jika wajib maka wajiblah hukumnya, seperti misalnya firman Allah swt. berikut ini:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu.” (QS. At-
Taubah: 5). Atau mubah, jika berhukum mubah, seperti misalnya firman Allah yang berbunyi: “Dan jika kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka kamu boleh berburu.” (QS. Al-Maa-idah: 2). Dan juga firman-Nya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi.” (QS. Al-Jumu’ah: 10). Pendapat inilah yang diperkuat oleh banyak dalil. Hal ini telah dikemukakan oleh al-Ghazali dan juga yang lainnya, dan menjadi pilihan sebagian imam muta’akhirin, dan itulah yang shahih.
Para ulama telah sepakat, jika seorang wanita telah selesai menjalani masa haid, maka tidak dibolehkan mencampurinya hingga ia mandi atau bertayamum jika ada alasan yang membolehkan bertayamum. Namun Abu Hanifah rahimahullahu berpendapat lain, jika darah haid seorang wanita telah berhenti pada hari maksimal haid, yaitu 10 hari, maka menurutnya, boleh mencampurinya hanya dengan terhentinya darah tersebut, dan tidak perlu mandi terlebih dahulu. Wallahu a’lam.
Ibnu Abbas mengatakan: hattaa yath-Hurn (“Sehingga mereka suci,”) dari darah haid. Fa idzaa tathaHHarna (“jika mereka telah bersuci, “) dengan air.
Hal senada juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, al-Laits bin Sa’ad, dan ulama lainnya.
Firman-Nya: min haitsu amarakumullaaHu (“Di tempat yang diperintahkan Allah kepada kamu.”) Ibnu Abbas, Mujahid, dan ulama lainnya mengatakan: “Yaitu kemaluan.”
Mengenai firman-Nya: min haitsu amarakumullaaHu (“Di tempat yang diperintahkan Allah kepada kamu.”) Ibnu Abbas, Mujahid, dan Ikrimah juga mengatakan: “(Artinya) hendaklah kalian menjauhi mereka.” Pada saat yang sama, ayat ini mengandung dalil yang menunjukkan diharamkannya melakukan hubungan dari dubur, yang mana pembahasannya secara tuntas akan dikemukakan selanjutnya, insya Allah.
Firman Allah: innallaaHa yuhibbut tawwaabiina (“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat.”) Maksudnya, dari dosa meskipun percampuran itu dilakukan berkali-kali. Wa yuhibbul mutathaHHiriin (“Dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”) Maksudnya, menyucikan diri dari berbagai macam kotoran, yaitu segala sesuatu yang dilarang, seperti mencampuri wanita yang sedang haidh atau tidak pada tempatnya (kemaluan).
Firman-Nya: nisaa-ukum hartsul lakum (“Isteri-isterimu adalah [seperti] lahan tempat kamu bercocok tanam.”) Ibnu Abbas mengatakan, al-harts berarti tempat mengandung anak. Fa’tuu hartsakum annaa syi’tum (“Maka datangilah lahan tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.”) Maksudnya, kalian boleh mencampurinya sekehendak hati kalian, dari depan maupun dari belakang, tetapi tetap pada satu jalan (yaitu lewat kemaluan). Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam banyak hadits.
Imam Bukhari meriwayatkan, dari Ibnul Munkadir, ia menceritakan, aku pemah mendengar Jabir mengatakan, dulu, orang-orang Yahudi mengatakan, “Jika seorang suami mencampuri istrinya dari belakang, maka akan lahir anak bermata juling.” Maka turunlah ayat: nisaa-ukum hartsul lakum Fa’tuu hartsakum annaa syi’tum (“Istri-istri kalian adalah [seperti] lahan tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Sedang dalam hadits Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya ia pernah mengatakan, “Ya Rasulullah, pada bagian mana isteri-isteri kami yang boleh kami datangi dan bagian mana yang harus kami jauhi?”
Maka beliau bersabda: “(Isterimu adalah seperti) lahan kamu bercocok tanam, datangilah lahanmu itu bagaimana saja yang engkau kehendaki, dengan tidak memukul bagian wajah, tidak boleh mencelanya dan tidak juga mengisolasi(nya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad dan para penulis kitab as-Sunan).
Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, ayat “nisaa-akum hartsul lakum” turun berkenaan dengan beberapa orang Anshar yang mendatangi Nabi, lalu mereka menanyakan kepada beliau, dan beliau pun bersabda, “Datangilah mereka dengan cara bagaimanapun selama masih pada kemaluan.” (HR. Ahmad).
Masih dalam riwayat Imam Ahmad, dari Abdullah bin Sabith, ia menceritakan, aku pernah menemui Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar dan kutanyakan: “Aku akan bertanya kepadamu mengenai suatu hal yang aku malu untuk mengemukakannya.” Maka Hafshah pun menyahut: “Janganlah malu, wahai keponakanku.” Abdullah bin Sabith menuturkan: “Tentang mencampuri isteri dari belakang.” Ia pun mengemukakan, Ummu Salamah pernah memberitahuku bahwa kaum Anshar sangat suka menggauli isteri mereka dari arah belakang, sedang orang-orang Yahudi dulu mengatakan: “Barangsiapa mendatangi isterinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir juling.”
Dan ketika orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, mereka menikahi wanita-wanita Anshar. Maka ketika mereka hendak mencampuri isterinya dari arah belakang, ada seorang wanita yang menolak mentaati suaminya seraya berkata: “Engkau jangan melakukan hal itu hingga aku mendatangi Rasulullah. Kemudian ia menemui Ummu Salamah dan menyebutkan hal itu kepadanya.” Maka Ummu Salamah pun berujar: “Duduklah hingga Rasulullah datang.” Dan ketika beliau tiba, wanita Anshar tersebut merasa malu untuk bertanya kepada Rasulullah, sehingga wanita itu pun keluar. Lalu Ummu Salamah bertanya kepada beliau. Maka beliau bersabda: “Panggilah wanita Anshar itu.” Kemudian Ummu Salamah pun memanggilnya. Setelah itu, beliau membacakan kepadanya ayat:
nisaa-ukum hartsul lakum Fa’tuu hartsakum annaa syi’tum (“Istri-istri kalian adalah [seperti] lahan tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.” Tetapi dengan satu tujuan (kemaluan). (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Nasa’i meriwayatkan, dari Ka’ab bin Alqamah, dari Abu Nadhr, bahwa ia pernah berkata kepada Nafi’ budak Ibnu Umar, “Sesungguhnya banyak yang menyebutkan bahwa engkau menceritakan Ibnu Umar pernah memberikan fatwa yang membolehkan mendatangi isteri dari dubur mereka.” Maka ia pun menuturkan: “Mereka telah berbohong mengenai diriku. Tetapi akan kuberitahukan kepadamu kejadian yang sebenarnya. Pada suatu hari, Ibnu Umar membaca al-Qur’an dan aku berada di sisinya. Ketika ia sampai pada bacaan: nisaa-ukum hartsul lakum Fa’tuu hartsakum annaa syi’tum; ia (Ibnu Umar) mengatakan: “Hai Nafi’, apakah engkau mengetahui siapa yang diperintahkan oleh ayat ini?” “Tidak”, jawab Nafi’. Maka Ibnu Umar mengatakan: “Sesungguhnya kami kaum Quraisy terbiasa mendatangi isteri dari belakang (tapi tetap pada kemaluan). Ketika tiba di Madinah, kami menikahi wanita-wanita Anshar.Dan kami menghendaki dari mereka (berhubungan badan) seperti yang kami inginkan. Tetapi hal itu menyakitkan mereka, maka mereka menolak dan bahkan memperbesar persoalan. Dan wanita-wanita Anshar sudah terbiasa dengan kebiasaan orang-orang Yahudi, yaitu mendatangi isteri-isteri mereka dari arah depan.”
Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat: nisaa-ukum hartsul lakum Fa’tuu hartsakum annaa syi’tum (“Istri-istri kalian adalah [seperti] lahan tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah lahan tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Isnad hadits ini shahih).
Kami juga pernah meriwayatkan suatu hal yang secara jelas bertentangan dengan hal itu, dari Ibnu Umar, bahwa mendatangi istri dengan cara seperti itu tidak boleh dan bahkan dilarang. Sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut. Dan banyak hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalur, yang semuanya mencela dan melarang perbuatan semacam itu.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit, bahwasanya Nabi saw. telah melarang suami mendatangi isterinya dari duburnya.
Abu Isa at-Tirmidzi dan an-Nasa’i meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, Rasulullah saw. pernah bersabda: “Allah tidak akan melihat orang yang mendatangi seorang laki-laki atau istri-nya pada bagian dubur.” (HR. At-Tirmidzi dan Nasa’i).
Lebih lanjut at-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan gharib. Demikianlah diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab, Shahih Ibnu Hibban, dan dishahih-kan oleh Ibnu Hazm.
Abd meriwayatkan dari Abdur Razaq, dari Mu’ammar, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Abbas tentang mendatangi isteri dari duburnya. Maka ia menjawab: “Engkau menanyakan kepadaku mengenai kekufuran.”
Isnad hadits itu shahih. Dan an-Nasa’i juga meriwayatkan hal senada.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi pernah bersabda: “Mencampuri isteri dari bagian dubur adalah homoseksual kecil.”
Qatadah menceritakan, Uqbah bin Wisaj memberitahuku, dari Abu Darda’, ia mengatakan: “Dan tidaklah hal itu dilakukan kecuali oleh orang kafir.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Ali bin Thalaq, ia menceritakan: “Rasulullah melarang seseorang mencampuri isteri dari duburnya, dan Allah tidak malu membicarakan kebenaran.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ahmad, dari Abu Mu’awiyah, dan Abu Isa at-Tirmidzi juga melalui jalan Abu Mu’awiyah, dari Ashim al-Ahwal, yang di dalamnya terdapat tambahan. Dan ia (at-Tirmidzi) mengatakan, hadits ini hasan.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dalam sebuah hadits marfu’, bahwa Rasulullah saw. beliau bersabda: “Allah swt. tidak akan melihat kepada orang yang mencampuni isterinya dari duburnya.”
Hal yang sama juga diriwayatkan Ibnu Majah melalui jalur Suhail. Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia menceritakan ,Rasulullah saw. telah bersabda: “Terlaknat orang yang mencampuri istrinya dari duburnya.”
Hal senada juga diriwayatkan Abu Dawud dan an-Nasa’i melalui jalurWaki’.
Ats-Tsauri meriwayatkan, dari as-Shalt bin Bahram, dari Abul Mu’tamar, dari Abu Juwairah, ia menceritakan, ada seseorang yang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang mencampuri isetri dari duburnya. Maka ia mengatakan: “Engkau telah berbuat kehinaan, maka Allah akan menghinakanmu. Tidakkah engkau mendengar firman Allah [yang artinya]: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu (homoseksual), yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kamu?’” (QS. Al-A’raaf: 80).
Ibnu Mas’ud, Abu Darda’, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Ibnu `Amr berpendapat tentang haramnya perbuatan tersebut. Dan tidak diragukan lagi, bahwa inilah yang benar dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, yaitu bahwa ia mengharamkannya.
Abu Muhammad Abdurrahman bin Abdullah ad-Darimi dalam Musnadnya, dari Sa’id bin Yasar Abu Hibab, ia menceritakan: “Aku pernah mengatakan kepada Ibnu Umar: “Bagaimana pendapat anda tentang budak perempuan apakah boleh dicampuri dari tahmidh?” Ibnu Umar pun bertanya, “Apa yang dimaksud dengan tahmidh itu?” “Tahmidh berarti dubur,” jawab Sa’id. Maka Ibnu Umar mengatakan: “Apakah ada dari kalangan kaum muslimin yang melakukannya?”
Hal yang sama juga diriwayatkan Ibnu Wahab dan Qutaibah, dari al-Laits. Isnad hadits ini shahih dan sebagai nash yang sharih (jelas) dari Ibnu Umar yang mengharamkan sodomi. Dengan demikian, setiap keterangan dari Ibnu Umar yang membolehkan atau mengandung kemungkinan yang membolehkan perbuatan tersebut tertolak oleh nash muhkam (jelas) ini.
Dan diriwayatkan oleh Mu’ammar bin Isa dari Malik bahwa perbuatan tersebut adalah haram.
Abu Bakar bin Ziyad an-Naisaburi berkata, telah mengabarkan kepadaku Ismail bin Husain, telah mengabarkan kepadaku Israil bin Ruh (katanya), aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik: “Bagaimana pendapat anda tentang mencampuri isteri dari dubur?” Anas menjawab: “Kalian adalah bangsa Arab, bukanlah ladang itu melainkan tempat bercocok tanam. Janganlah kalian melampaui batas kemaluan.” Kutanyakan lagi, “Hai Abu Abdillah, mereka mengatakan bahwasanya engkau telah mengatakan hal itu.” Ia punmenjawab: “Mereka telah berbohong dengan mengatas namakan diriku, mereka telah berbohong dengan mengatas namakan diriku.”
Demikianlah riwayat yang kuat dari Anas bin Malik. Hal itu juga menjadi pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan seluruh para sahabatnya. Juga menjadi pendapat Sa’id bin Musayyab, Abu Salamah, Ikrimah, Thawus, Atha’, Sa’id bin Jubair, Urwah bin Zubair, Muhajid bin Jabar, Hasan al-Bashri, dan lain-lainnya dari kalangan ulama salaf, bahwa mereka semua secara tegas dan keras menentang perbuatan tersebut, bahkan sebagian dari mereka menganggap kufur perbuatan sodomi dan itulah pendapat jumhur ulama. Wallahu a’lam.
Firman Allah: wa qaddimuu li anfusikum (“Dan kerjakanlah [amal yang baik] untuk dirimu.”) Yaitu dengan berbuat ketaatan dan meninggalkan semua perbuatan yang dilarang Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: wat taqullaaHa wa’lamuu annakum mulaaquuHu (“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya.”) Artinya, Dia akan menghisab semua amal perbuatan kalian. Wa basy-syiril mu’miniin (“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.”) Yaitu orang-orang yang menaati Allah swt. dengan menjalankan semua perintah-Nya, dan yang meninggalkan semua larangan-Nya.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari telah ditegaskan, dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian hendak mendatangi isterinya, maka hendaklah ia mengucapkan:
bismillaaHi allaaHumma jannabnasy syaithaana maa razaqtanaa (“Dengan nama Allah, Ya Allah hindarkanlah kami dari syaitan, dan jauhkan-lah syaitan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami.”) Karena sesungguhnya jika dari hubungan itu keduanya ditakdirkan mempunyai anak, maka anak itu tidak akan pernah dicelakakan oleh syaitan selamanya.”


EmoticonEmoticon