Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 7-10

Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 7-10“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisaa’: 7) Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedar-nya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisaa’: 8) Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisaa’: 9) Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala [Neraka]. (QS. An-Nisaa’: 10)
Sa’id bin Jubair dan Qatadah berkata: “Dahulu, orang-orang musyrik memberikan hartanya hanya kepada laki-laki dewasa serta tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak. Maka Allah swt. menurunkan ayat: lir rijaali nashiibum mimmaa tarakal waalidaani wal aq-rabuun (“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya….”) (dan seterusnya). Artinya, seluruhnya sama di dalam hukum Allah, masing-masing sama dalam hukum asal waris-mewaris, sekalipun mereka berbeda sesuai ketentuan yang dibuat oleh Allah dengan melihat yang lebih dekat kepada mayit dari segi kekerabatan, pernikahan atau kemerdekaan budak, karena hal itu merupakan kekerabatan yang kedudukannya sama dengan kekerabatan dalam nasab. Wallahu a’lam.”
Firman-Nya: wa idzaa ha-dlaral qismata (“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir…[hingga akhir ayat]”). Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah apabila sewaktu pembagian warisan itu hadir para kerabat yang bukan ahli waris, wal yataamaa wal masaakiina (“anak-anak yatim dan orang-orangmiskin,”) maka berikanlah kepada mereka satu bagian dari harta warisan. Dan hal tersebut merupakan kewajiban di awal-awal masa Islam. Satu pendapat mengatakan (hal tersebut) di sunnahkan. Para ulama berbeda pendapat apakah hal tersebut telah dinasakh (dihapus) atau belum? Dalam hal ini ada dua pendapat.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata tentang ayat ini: “Ia adalah ayat muhkamaat (hukumnya tetap berlaku) dan tidak dinasakh.” Pendapat ini diikuti oleh Sa’id dari Ibnu `Abbas. Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, ia berkata tentang ayat ini: “la adalah kewajiban bagi ahli waris sesuai yang mereka sukai dan begitulah yang di-riwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Abu Musa, `Abdurrahman bin Abi Bakar, Abul-Aliyah, asy-Sya’bi dan al-Hasan. Malik berkata dari riwayatnya dalam kitab Tafsir Juz-in majmu’ dari az-Zuhri bahwa ‘Urwah memberikan sebagian harta Mus’ab di saat membagi-bagikan hartanya. Az-Zuhri berkata, “la adalah muhkamaat.” Malik mengatakan dari `Abdul Karim, dari Mujahid, ia berkata: “Ia adalah hak wajib sesuai keikhlasan hatinya.”
Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dimansukh secara menyeluruh:
Isma’il bin Muslim al-Makki mengatakan dari Qatadah, dari `Ikrimah,dari Ibnu `Abbas, ia berkata, bahwa ayat ini; “wa idzaa ha-dlaral qismata ulul qurbaa” dinasakh oleh ayat sesudahnya: “yuushiikumullaaHu fii aulaadikum”. Malik mengatakan dari az-Zuhri, dari Sa’id bin al-Musayyab, ayat ini dinasakh oleh ayat waris dan wasiat.
Begitulah yang diriwayatkan dari `Ikrimah, Abu asy-Sya’tsa, al-Qasim bin Muhammad, Abu Shalih, Abu Malik, Zaid bin Aslam, adh-Dhahhak, ‘Atha’al-Khurasani, Muqatil bin Hayyan dan Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman yang seluruhnya mengatakan bahwa ayat itu dinasakh. Ini Pula yang menjadi pendapat Jumhur fuqaha, empat Imam dan para pengikut mereka. Al-`Aufi me-ngatakan dari Ibnu `Abbas, “Dan apabila sewaktu pembagian,” yang dimaksud adalah pembagian warisan. Begitulah pendapat banyak ulama.
Seperti itulah makna (ayat) tersebut, bukan sebagaimana makna yang dipiliholeh Ibnu Jarir, bahkan maknanya adalah, apabila orang-orang fakir dari kerabat yang bukan ahli waris, anak-anak yatim dan orang-orang miskin datang menghadiri pembagian harta yang cukup melimpah, lalu mereka pun sangat ingin mendapatkan sebagian harta tersebut, di saat mereka melihat yang ini mengambil dan yang itu mengambil (warisan), sedangkan mereka tidak mempunyai harapan, tidak ada sesuatu pun yang diberikan kepada mereka, maka Allah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang memerintahkan agar memberikan sebagian kecil dari harta itu kepada mereka dengan sekedarnya, sebagai perbuatan baik, shadaqah dan bermurah hati kepada mereka serta menutup kemungkinan sakit hati mereka. Sebagaimana firman Allah: kuluu min tsamariHi idzaa atsmara wa aatuu haqqaHuu yauma hashaadiHi (“Makanlah dari buahnya [yang bermacam-macam itu] bila ia berbuah, dan tunaikanlah hakknya di hari memetik hasilnya [dengan mengeluarkan zakatnya]”) (al-An’am: 141) dan firman-Nya: wal yakh-syal ladziina lau tarakuu min khalfiHim (“Dan hendaknya takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka.”) (QS. An-Nisaa’: 9)
`Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu `Abbas: “Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang meninggal, kemudian seseorang mendengar ia memberikan wasiat yang membahayakan ahli warisnya, maka Allah memerintahkan orang yang mendengarnya untuk bertakwa kepada Allah serta membimbing dan mengarahkannya pada kebenaran. Maka hendaklah ia berusaha menjaga ahli waris orang tersebut, sebagaimana ia senang melakukannya kepada ahli warisnya sendiri apabila ia takut mereka disia-siakan. Demikianlah pendapat Mujahid dan para ulama lainnya.
Di dalam ash-Shahihain dinyatakan bahwa Rasulullah saat menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqash, beliau ditanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki banyak harta dan tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak puteri. Apakah boleh aku bersedekah dua pertiga hartaku?” Beliau mejawab, “Tidak.” Ia bertanya, “Setengah?” Beliau menjawab, “Tidak.” Dia bertanya lagi, “(Bagaimana) sepertiga?” Beliaupun menjawab, “Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu cukup banyak.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kamu tinggalkan keturunanmu dalam keadaan cukup adalah lebih baik dari pada engkau biarkan mereka miskin meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di dalam ash-Shahih dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Seandainya manusia mau menguranginya lagi dari 1/3 sampai 1/4 (hal itu boleh), karena Rasulullah bersabda: “Ya, 1/3 dan 1/3 itu cukup banyak.” Para fuqaha berkata: “Jika ahli waris itu kaya, maka dianjurkan bagi mayit (orang yang akan wafat) untuk menyempurnakan 1/3 wasiatnya. Dan jika ahli waris itu miskin, maka dianjurkan untuk menguranginya dari sepertiga.” Satu pendapat mengatakan: “Apa yang dimaksudkan dengan ayat (yang menyatakan) bertakwalah kalian kepada Allah di dalam memelihara harta anak-anak yatim adalah, “Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya). “Dicerita-kan oleh Ibnu Jarir dari jalan al-‘Aufi dari Ibnu `Abbas bahwa hal itu adalahpendapat yang baik.
Untuk itu Allah berfirman: innal ladziina ya’kuluuna amwaalal yataamaa dhulman innamaa ya’kuluuna fii buthuuniHim naaraw wa sayash-launa sa’iiran (“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala [Neraka].”) Artinya, apabila mereka memakan harta-harta anak yatim tanpa alasan, maka berarti ia telah memakan api yang bergolak di dalam perut-perut mereka pada hari Kiamat.
Di dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jauhkanlah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan.” Beliau ditanya: “Apakah itu ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran dan menuduh (jelek) wanita-wanita mukmin yang baik-baik, yang tidak terlintas untuk berbuat keji lagi beriman.”‘ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


EmoticonEmoticon