Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 5-6

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat
tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 5-6“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS.An-Nisaa’: 5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An-Nisaa’: 6)
Allah melarang memberikan wewenang kepada orang-orang yang lemah akalnya dalam pengelolaan keuangan yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Artinya, tegaknya kehidupan mereka adalah dengan harta itu berupa perdagangan dan lain-lain. Dari sini diambil hukum penangguhan (pemberian harta) bagi anak-anak. Sedangkan penangguhan itu sendiri memiliki berbagai bentuk. Ada penangguhan untuk anak-anak, karena anak-anak itu tidak dapat dipertanggungjawabkan perkataannya. Ada pula penangguhan bagi orang gila atau orang-orang yang tidak mampu mengelola harta dikarenakan lemah akal atau agamanya. Ada pula penyitaan karena pailit yaitu apabila utang piutang telah melilitnya, sedangkan harta yang dimiliki tidak dapat menutupi pembayarannya. Sehingga, di saat kreditor meminta hakim untuk menyita harta tersebut, niscaya hakim pun melakukan penyitaan.
Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu’ Abbas tentang firman Allah: wa laa tu’tus sufaHaa-a amwaalukum (“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta [mereka yang ada dalam kekuasaanmu]”), ia berkata: “Mereka adalah anak-anakmu dan kaum wanita.” Begitu pula yangd ikatakan oleh Ibnu Mas’ud ra.
Firman Allah: war zuquuHum fiiHaa waksuuHum wa quuluu laHum qaulam ma’ruufan (“Berilah mereka belanja dan pakaian [dari basil harta itu] dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”) `Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Jangan jadikan hartamu serta apa yang dianugerahkan Allah untuk kehidupanmu engkau berikan kepada isteri atau puterimu secara bebas, kemudian engkau menunggu dari pemberian apa yang ada di tangan mereka. Akan tetapi, tahanlah hartamu itu dan berbuat baiklah dalam (mengelola-nya) serta hendaklah engkau yang memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian, makanan dan rizki (biaya hidup) mereka.” Mujahid berkata (mengenai ayat ini): wa quuluu laHum qaulam ma’ruufan (“Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”) Yaitu dalam kebaikan dan silaturrahim. Kandungan ayat yang mulia ini adalah berbuat ihsan kepada keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungan dengan melakukan infaq berupa pakaian dan rizki (biaya hidup), serta dengan kata-kata dan akhlak yang baik.
Firman Allah: wabtalul yataamaa (“Dan ujilah anak yatim itu”) Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan, as-Suddi dan Muqatil berkata: “Artinya ujilah mereka.” Hattaa idzaa balaghun nikaaha (“Sampai mereka cukup umur untuk kawin.”) Mujahid berkata: “Artinya: baligh”. Jumhur ulama berkata: “Baligh pada anak laki-laki terkadang dapat ditentukan oleh mimpi, yaitu di saat tidur bermimpi sesuatu yang menyebabkan keluarnya air mani yang memancar, yang darinya akan menjadi anak.”
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah dan para Sahabat lain bahwa Nabi bersabda: “Diangkat pena (yaitu diangkat hukum taklif) dari tiga orang; dari anak kecil hingga ia mimpi (baligh) atau sempurna 15 tahun, dari orang tidur sampai ia bangun dan dari orang gila sampai ia sadar.” Mereka mengambil hal itu dari hadits yang terdapat dalam ash-Shahihaindari Ibnu `Umar, is berkata: “Pada saat perang Uhud aku mengajukan diri(untuk ikut berperang) kepada Nabi dan saat itu aku berumur 14 tahun, lalu beliau tidak membolehkanku. Sedangkan pada perang Khandaq akupun mengajukan diri kembali dan saat itu aku berumur 15 tahun, maka beliau membolehkanku.” Setelah mendengar hadits ini, `Umar bin `Abdul `Azizberkata: “Inilah perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah al-Hakim, dan al-Hakim berkata: “Hadits ini shahihsesuai syarat Muslim.” Imam adz-Dzahabi pun menyepakati)
Para ulama berbeda pendapat mengenai tanda tumbuhnya rambut kemaluan, dan pendapat yang shahih adalah bahwa hal itu sebagai tanda baligh. Sunnah yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bari ‘Athiyyah al-Qurazhi, ia berkata: “Di saat perang Quraizhah, kami (Bani Quraizhah) dihadapkan kepada Nabi. Maka beliau memerintahkan seseorang (Di dalam naskah al-Azhar (disebutkan nama orang itu, yaitu): `Abdul Majid bin Zahir yang ditugaskan) meneliti siapa yang sudah tumbuh (bulu kemaluannya). Barangsiapa yang sudah tumbuh dibunuh, bagi yang belum tumbuh tidak dibunuh (dilepaskan). Sedangkan aku termasuk orang yang belum tumbuh (bulu kemaluan), maka aku pun dibebaskan.” (Empat penulis kitab Sunan pun mengetengahkan hadits yang serupa dengannya. Dan at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”)
Firman Allah: fa in aanastum minHum rusydan fadfa-‘uu ilaiHim amwaalaHum (“Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas [pandai memelihara harta], maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”) Sa’id bin Jubair berkata: “Yaitu,baik dalam agamanya dan pandai memelihara hartanya.” Begitulah yang diriwayatkan oleh Ibnu `Abbas, al-Hasan al-Bashri dan imam-imam lainnya. Para fuqaha pun berkata: “Apabila seorang anak telah baik agamanya dan pandai mengatur hartanya, niscaya lepaslah hukum penangguhan hartanya. Maka harta miliknya yang berada di tangan walinya harus diserahkan.”
Firman-Nya: wa laa ta’kuluuHaa is-raafaw wa bidaaran ay yakbaruu (“Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan [janganlah kamu] tergesa-gesa [membelanjakannya] sebelum mereka dewasa.”) Allah melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Is-raafan wa bidaaran; artinya: tergesa-tergesa (membelanjakannya) sebelum mereka baligh. Kemudian Allah berfirman: wa man kaana ghaniyyan fal yasta’fif (“Barangsiapa [di antara pemeliharaitu] mampu, maka hendaklah ia menahan diri [dari memakan harta anak yatim itu].”) Asy-Sya’bi berkata: “Harta itu baginya seperti bangkai dan darah.”
Wa man kaana faqiiran falya’kul bil ma’ruuf (“Dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.”) Ibnu Abi Hatim mengatakan dari ‘Aisyah ra. tentang ayat: (Ayat ini) turun berkenaan dengan wali anak yatim yang mengurus dan mengaturnya di mana saat ia membutuhkan ia pun boleh memakannya. Riwayat lain dari `Aisyah, ia berkata: “Ayat ini turun mengenai wali anak yatim, (wa man kaana ghaniyyan fal yasta’fif Wa man kaana faqiiran falya’kul bil ma’ruuf) boleh ia makan sekedar keperluan mengurusnya.” (HR. Al-Bukhari).
Para fuqaha berkata, dia boleh memakan dari dua perkara yang lebih ringan; upah yang layak atau sekedar kebutuhannya. Dan mereka berbeda pendapat, apakah harta itu dikembalikan apabila ia sudah cukup? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Tidak, karena ia memakan upah kerja dan saat itu ia faqir. Inilah pendapat yang benar di kalangan pengikut asy-Syafi’i. Karena ayat tersebut membolehkan memakan (harta anak yatim) tanpa mengganti. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia berkata: Saya memelihara anak yatim yang memiliki harta, sedangkan saya tidak memiliki harta [Sedangkan dalam naskah al-Azhar (dengan lafazh): “Aku tidak memiliki sesuatu pun.”]. Bolehkah saya memakan hartanya?’ Beliau bersabda: ‘Makanlah secukupnya, tidak berlebihan.”‘ (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Qasim bin Muhammad, ia berkata: seorang Arab Badui mendatangi Ibnu `Abbas dan berkata: “Sesungguhnya saya memelihara anak-anak yatim dan mereka memiliki beberapa unta, sedangkan saya memiliki satu unta. Saya pun memberikan susu unta untuk orang-orang fakir, apakah dihalalkan minum susunya?” Beliau menjawab: “Jika engkau yang mencari untanya yang tersesat, mengobati yang sakit, membersihkan tempat minumnya dan mengurusi keperluannya, maka minumlah tanpa mengganggu untuk keturunan dan tanpa menghentikan perasan susunya.” (Inilah riwayat Malik dalam al-Muwaththa’ dari Yahya bin Sa’id). Pendapat yang mengatakan tidak perlu adanya penggantian ini dipegang oleh ‘Atha bin Abi Rabah, `Ikrimah, Ibrahim an-Nakha’i, ‘Athiyyah al-‘Aufi dan al-Hasanal-Bashri.
Pendapat kedua: Ya, harus mengganti karena asal hukum harta anak yatim adalah haram. Dia hanya dibolehkan untuk kebutuhan, lalu dikembalikan gantinya, seperti memakan harta orang lain bagi orang yang sangat membutuhkannya. Sa’id bin Manshur berkata: Telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash, dari Abu Ishaq dari al-Barra’, ia berkata: “`Umar ra. berkata kepadaku: `Aku tempatkan diriku pada harta Allah seperti kedudukan wali anak yatim. Jika aku butuh, aku akan mengambilnya; dan jika aku cukup aku akan mengembalikan; Serta jika aku kaya, aku akan menahan diri.”‘ (Isnadnya shahih).
Firman Allah: fa idzaa dafa’tum ilaiHim amwaalaHum (“Kemudian apabila engkau menyerahkan harta kepada mereka,”) yaitu setelah mereka mencapai masa baligh dan kamu yakin kemampuan mereka, maka di saat itu kamu serahkan harta-harta mereka. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka; fa asyHiduu ‘alaiHim (“Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi [tentang penyerahan itu] bagi mereka.”) Ini merupakan perintah dari Allah untuk para wali, agar mengadakan saksi-saksi untuk anak-anak yatim yang telah mencapai dewasa dan kalian menyerahkan harta-harta mereka, agar tidak terjadi pengingkaran dari sebagian mereka setelah diserah terimakan.
Kemudian Allah berfirman, wa kafaa billaaHi hasiiban (“Dan cukuplah Allah sebagai pengawas [atas persaksian itu].”) Artinya cukuplah Allah sebagai pengawas, saksi dan peneliti para wali dalam memelihara anak-anak yatim dan dalam menyerahkan harta-harta mereka, apakah dicukupkan dan disempurnakan atau dikurangi dan ditipu dengan memalsukan hitungan dan memutarbalikkan urusan? Allah Mahamengetahui semua itu. Untuk itu, di dalam Shahih Muslim dinyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hai Abu Dzarr, sesungguhnya aku melihatmu sebagai seorang yang lemah dan aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi amir bagi dua orang atau mengurus harta anak yatim.” (HR. Muslim)


EmoticonEmoticon