Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yangditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 11)
Ayat yang mulia ini serta ayat-ayat sesudahnya dan ayat penutup surat ini adalah ayat-ayat mengenai ilmu fara-idh (pembagian warisan). Dan ilmu fara-idh tersebut diistimbatkan (diambil sebagai suatu kesimpulan hukum”Ed) dari tiga ayat ini dan hadits-hadits yang menjelaskan hal tersebut sebagai tafsirnya. Sebagian dari apa yang berkaitan dengan tafsir masalah ini akan kami sebutkan. Sedangkan berkenaan dengan keputusan masalah, uraian perbedaan pendapat dan dalil-dalilnya serta hujjah-hujjah yang dikemukakan oleh para imam, tempatnya adalah dalam kitab-kitab hukum. Hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan.
Sesungguhnya telah datang anjuran mempelajari ilmu fara-idh, dan pembagian-pembagian tertentu ini merupakan hal yang terpenting dalam ilmu itu. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Abdullah bin `Amr secara marfu’: “Ilmu itu ada tiga, sedangkan selainnya adalah keutamaan (pelengkap); Ayat yang muhkam, sunnah yang pasti atau fara-idh yang adil.”
Ibnu `Uyainah berkata: “Fara-idh disebut sebagai setengah ilmu, karena semua manusia diuji olehnya.”
Ibnu `Uyainah berkata: “Fara-idh disebut sebagai setengah ilmu, karena semua manusia diuji olehnya.”
Ketika menafsirkan ayat ini, al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin`Abdillah, ia berkata: “Rasulullah dan Abu Bakar yang sedang berada di Bani Salam menjengukku dengan berjalan kaki. Lalu, beliau menemukanku dalam keadaan tidak sadarkan diri. Maka beliau meminta air untuk berwudhu dan mencipratkannya kepadaku, hingga aku sadar. Aku bertanya: “Apa yang engkau perintahkan untuk mengelola hartaku ya Rasulullah?” Maka turunlah ayat: yuushiikumullaaHu fii aulaadikum lidz-dzakari mitslu hadh-dhil untsayain (“Allah mensyariatkan kepadamu tentang [pembagian waris untuk] anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”) Demikianlah yang diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa’i dan seluruh jama’ah. Wallahu a’lam.
Firman Allah: yuushiikumullaaHu fii aulaadikum lidz-dzakari mitslu hadh-dhil untsayain (“Allah mensyariatkan kepadamu tentang [pembagian waris untuk] anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”) Artinya, Dia memerintahkan kalian untuk berbuat adil kepada mereka. Karena, dahulu orang-orang Jahiliyyah memberikan seluruh harta warisan hanya untuk laki-laki, tidak untuk wanita. Maka, Allah swt. memerintahkan kesamaan di antara mereka dalam asal hukum waris dan membedakan bagian di antara dua jenis tersebut, di mana bagian laki-laki sama dengan dua bagian perempuan. Hal itu disebabkan karena laki-laki membutuhkan pemenuhan tanggung jawab nafkah, kebutuhan, serta beban perdagangan, usaha dan resiko tanggung jawab, maka sesuai sekali jika ia diberikan dua kali lipat daripada yang diberikan kepada wanita.
Sebagian pemikir mengambil istimbath dari firman Allah Ta’ala ini, “Allah mensyariatkan bagimu tentang(pembagian waris untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” Bahwa Allah lebih sayang kepada makhluk-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya. Di mana Allah mewasiatkan kepada kedua orang tua tentang anak-anak mereka. Maka dapatlah diketahui bahwa Allah lebih sayang kepada mereka daripada mereka sendiri.
Di dalam hadits shahih dijelaskan bahwa beliau pernah melihat seorang tawanan wanita yang dipisahkan dari anaknya. Maka ia berkeliling mencari-cari anaknya. Tatkala ia menemukannya dari salah seorang tawanan. Ia pun mengambilnya, mendekapnya dan menyusukannya, maka Rasulullah bertanya kepada para Sahabatnya: “Apakah kalian berpendapat bahwa wanita ini tega akan membuang anaknya ke dalam api dan ia pun mampu melakukan hal itu?” Mereka menjawab: “Tidak ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya dari pada wanita ini kepada anaknya.”
Dalam masalah ini, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Dahulu, harta itu untuk anak, sedangkan wasiat untuk kedua orangtua, maka Allah menghapuskan hal tersebut apa yang lebih dicintai-Nya, lalu dijadikan bagian laki-laki sama dengan dua bagian perempuan, menjadikan setiap satu dari orang tua 1/6 atau 1/3, untuk isteri 1/8 atau 1/4 dan untuk suami 1/2 atau 1/4.”
Firman-Nya, fa in kunna nisaa-an fauqats-nataini falaHunna tsulutsaa maa taraka (“Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.”) Diperolehnya bagian dua anak perempuan dua pertiga adalah diambil dari hukum bagian dua saudari perempuan dalam ayat terakhir (dua dari surat an-Nisaa’ ini, Ed), karena di dalamnya Allah menetapkan saudari perempuan dengan dua pertiga. Apabila dua orang saudari perempuan mendapatkan dua pertiga, maka memberikan waris dua pertiga kepada anak perempuan jelas lebih utama. Sebagaimana pada penjelasan yang lalu di dalam hadits Jabir bahwa Rasulullah menetapkan dua pertiga untuk dua orang puteri Sa’ad bin Rabi’. Al-Qur’an dan as-Sunnah menunjukkan hal tersebut.
Begitu pula firman Allah: wa in kaanat waahidatan falaHan nisfu (“Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta.”) Seandainya dua orang anak perempuan mendapatkan setengah harta, niscaya akan disebutkan pula dalam nash. (Untuk itu dapat disimpulkan), bilamana bagian seorang anak perempuan disebutkan secara mandiri, maka hal tersebut menunjukkan bahwa 2 anak perempuan sama hukumnya dengan hukum 3 anak perempuan. Wallahu a’am.
Firman Allah: wa li abawaiHi likulli waahidim minHumas sudusu (“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.”) Dua ibu bapak memiliki beberapa keadaan dalam menerima warisan.
Pertama, keduanya bergabung bersama anak-anak (jenazah), maka masing-masing memperoleh seperenam. Jika jenazah tidak meninggalkan ahliwaris kecuali satu orang anak perempuan, maka bagi anak perempuan adalah setengah dan masing-masing ibu-bapak mendapat seperenam, sedangkan bapak mendapat seperenam `ashabah (sisa) lainnya. Sehingga bapak memiliki bagian tetap dan `ashabah.
Kedua, dua ibu-bapak adalah satu-satunya ahli waris, maka untuk ibu mendapatkan sepertiga, sedangkan bapak mendapatkan bagian sisanya (ashabah murni). Dengan demikian, berarti bapak mengambil dua kali lipat dari ibu, yaitu dua pertiganya. Jika bersama keduanya terdapat suami atau isteri (jenazah), maka suami mendapatkan setengah, sedangkan isteri seperempat. Para ulama berbeda pendapat, apa yang akan didapatkan ibu setelah itu? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat; Salah satunya adalah bahwa ibu mendapatkan sepertiga sisa dalam dua masalah (di atas). Karena harta sisa, seolah-olah seperti seluruh harta warisan, jika dihubungkan pada keduanya. Sesungguhnya Allah swt. telah menetapkan bagi ibu itu setengah dari apa yang diperoleh bapak. Maka ibu memperoleh sepertiga dan bapak mengambil sisanya, yaitu dua pertiga. Inilah pendapat `Umar, `Utsman dan salah satu dari dua riwayat yang paling shahih dari `Ali serta pendapat Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit, yaitu pendapat tujuh orang ahli fiqih, empat Imam madzhab dan Jumhur Mama. Dan itulah pendapat yang shahih.
Ketiga, dua ibu-bapak bergabung bersama beberapa orang saudara laki-laki, baik sekandung, sebapak atau seibu. Mereka memang tidak mendapatkan warisan sedikitpun jika bersama bapak, akan tetapi mereka telah menghalangi ibu memperoleh sepertiga menjadi seperenam. Maka, ibu memperoleh seperenam, jika bersama mereka tidak ada ahli waris lainnya dan bapak mengambil sisa. Sedangkan hukum keberadaan dua orang saudara sama dengan keberadaan beberapa orang saudara menurut Jumhur ulama.
Firman-Nya: mim ba’di washiyyatiy yuushii biHaa au dain (“Pembagian-pembagian tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar utangnya.”) Para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa utang piutang lebih didahulukan daripada wasiat. Pengertian tersebut dapat difahami dari maksud ayat yang mulia ini bila difikirkan lebih dalam. Wallahu a’am.
Firman-Nya: aabaa-ukum wa abnaa-ukum laa tadruuna ayyuHum aq-rabu laHum naf-‘an (“Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.”) Artinya, Kami telah tentukan bagian untuk orang tua dan anak-anak kalian serta Kami samakan seluruhnya dalam asal hukum mewarisi, berbeda dengan kebiasaan yang terjadi pada masa Jahiliyyah dan berbeda pula dengan ketentuan yang berlaku pada masa permulaan Islam, di mana harta adalah untuk anak-anak dan wasiat untuk orangtua, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu `Abbas. Sesungguhnya Allah telah menghapus hal tersebut hingga datangnya ayat ini, di mana ketentuan untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhan mereka, karena manusia terkadang memperoleh manfaat dunia, akhirat atau keduanya dari bapaknya apa yang tidak ia peroleh dari anaknya. Dan terkadang sebaliknya.
Untuk itu Allah berfirman: aabaa-ukum wa abnaa-ukum laa tadruuna ayyuHum aq-rabu laHum naf-‘an (“Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.”) Artinya, sesungguhnya manfaat itu dimungkinkan dan diharapkan dari sini (dari anak) sebagaimana juga dimungkinkan dan diharapkan dari pihak lain (bapak). Karena itu, Kami tetapkan (masing-masing bagian untuk) kedua belah pihak serta Kami samakan di antara dua belah pihak itu dalam asal hukum mewarisi. Wallahu a’lam.
Firman-Nya, fariidla-tam minallaaHi (“Ini adalah ketetapan dari Allah.”) Rincian warisan yang telah Kami sebutkan dan pemberian bagian warisan yang lebih banyak kepada sebagiannya adalah suatu ketetapan, hukum dan keputusan Allah. Allah Mahamengetahui dan Mahabijaksana yang meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya serta memberikan kepada setiap orang yang berhak sesuai dengan kadarnya. Untuk itu Allah berfirman: innallaaHa kaana ‘aliiman hakiiman (“Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”)
EmoticonEmoticon