Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
“(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada-Mu anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.’ (QS. 3:35) Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari syaitan yang terkutuk”. (QS. 3:36)
Isteri `Imran adalah ibu Maryam, yaitu Hannah binti Faqudz. Muhammad bin Ishaq berkata: “Hannah binti Faqudz adalah seorang wanita yang tidak pernah hamil. Suatu hari ia melihat seekor burung memberi makan anak-anaknya, maka ia pun ingin mendapatkan anak. Lalu ia berdo’a kepada Allah agar memberinya seorang anak. Dan Allah pun mengabulkan do’a-nya. Setelah suaminya melakukan hubungan badan dengannya, maka ia pun hamil.
Setelah benar-benar hamil, ia bernadzar agar anaknya menjadi anak yang tulus beribadah dan khusus untuk beribadah, berkhidmah ke Baitul Maqdis seraya berucap: Rabbi innii nadzaartu laka maa fii bath-nii muharraran fataqabbal minnii innaka antas samii’ul ‘aliim (“Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku bernadzar kepada-Mu anak yang dalam kandunganku ini menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Magdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau YangMahamendengar lagi Mahamengetahui.”) Yakni Mahamendengar do’a yang kupanjatkan dan Mahamengetahui niatku. Dan ia belum mengetahui anak yang berada di dalam kandungannya itu, laki-laki atau perempuan.
Falammaa wadla’atHaa qaalat Rabbi innii wadla’atHaa untsaa wallaaHu a’lamu bimaa wadla’at (“Maka tatkala isteri Imran melahirkan anaknya, ia pun berkata: ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku melahirkannya sebagai anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu.”) Jika kata “wadla’at” dibaca “wadla’tu” (aku lahirkan) dengan dhammah di atas huruf “ta”, karena dianggap berkedudukan sebagai mutakallim (yang berbicara), maka hal itu berarti kelanjutan perkataannya. Dan (apabila) dibaca dengan sukun di atas hurut “ta”.
Abu Bakar dan Ibnu ‘Amir membacanya: “bimaa wadla’tu” dengan sukun di atas ‘ain dan dhammah di atas ta’. Sedang ulama qira-at lainnya membacanya “bimaa wadla-at” dengan fat-hah di atas ‘ain dan sukun di atas ta’.
Abu Bakar dan Ibnu ‘Amir membacanya: “bimaa wadla’tu” dengan sukun di atas ‘ain dan dhammah di atas ta’. Sedang ulama qira-at lainnya membacanya “bimaa wadla-at” dengan fat-hah di atas ‘ain dan sukun di atas ta’.
Maka hal itu berarti sebagai ucapan Allah: wa laisadz dzakaru kal untsaa (“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan,”) dalam kekuatan dan keuletan dalam beribadah dan mengabdi di Masjidil Aqsha. Wa innii sammaituHaa maryama (“Sesungguhnya aku telah menamainya Maryam.”) Ini adalah dalil diperbolehkannya menamai anak pada hari kelahirannya, sebagaimana yang terbaca secara jelas dari lahiriyah ayat, karena pemberian nama itu telah disyari’atkan orang-orang sebelum kita, di mana telah diceritakan sebagai penguat. Hal itu telah tetap didalam Sunnah Rasulullah, di mana beliau bersabda: “Telah lahir tadi malam seorang puteraku, dan aku namai ia dengan nama ayahku Ibrahim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ditegaskan pula dlam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Anas bin Malik ra. pernah pergi membawa saudaranya menemui Rasulullah setelah ia (saudaranya itu) dilahirkan ibunya, maka beliau mentahniknya dan memberikannya nama ‘Abdullah.
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan, ada seorang laki-laki yang berkata: “Ya Rasulullah, telah lahir puteraku tadi malam, lalu bagaimana aku menamainya?” Beliau menjawab: “Namai puteramu itu ‘Abdurrahman.”
Dalam hadits shahih juga disebutkan, ketika Abu Usaid datang kepada Rasulullah dengan membawa puteranya agar beliau mentahniknya, tetapi beliau lupa, lalu ayahnya diperintahkan (oleh orang-orang) untuk mentahniknya sendiri, maka Abu Usaid membawanya ke rumah mereka. Dan ketika Rasulullah ingat ketika di suatu majelis, maka beliau menamainya al-Mundzir.
Sedangkan hadits dari Qatadah, dari al-Hasan al-Bashri, dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Setiap anak itu tergadai oleh aqiqahnYa, disembelih untuk (aqiqah)nya pada hari ketujuh, kemudian diberi nama dan dicukur rambutnya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan semua penulis kitab Sunan, dan disahihkan oleh Imam at-Tirmidzi.)
Dan firman-Nya yang memberitahukan tentang ibunya Maryam, di mana ia berkata, wa innii u-‘iidzuHaa bika wa dzurriyyataHaa minasy-syaithaanir rajiim (“Dan aku memohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan)-Mu dari syaitan yang terkutuk.”) Yakni, aku memohon perlindungan untuk Maryam kepada Allah dari kejahatan syaitan, dan juga untuk keturunannya, `Isa as. Maka Allah swt. mengabulkan do’anya itu.
Sebagaimana ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang anak pun yang dilahirkan, melainkan disentuh oleh syaitan ketika ia dilahirkan, sehingga dia menangis kencang akibat sentuhannya itu, kecuali Maryam dan puteranya, (`Isa).”
Setelah itu Abu Hurairah ra. berkata: “Jika kalian menghendaki, bacalah: wa innii u-‘iidzuHaa bika wa dzurriyyataHaa minasy-syaithaanir rajiim [Dan aku memohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan)-Mu dari syaitan yang terkutuk.]’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits ‘Abdurrazzaq).
EmoticonEmoticon