Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
“Di sanalah Zakariya berdo’a kepada Rabb-nya seraya berkata: ‘Ya Rabbku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Mahamendengar do’a “. (QS. 3:38) Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): ‘Sesungguhnya Allah menggembirakanmu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang shalih.’ (QS. 3:39) Zakariya berkata: ‘Ya Rabbku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan isteriku pun seorang yang mandul.’ Allah berfirman: ‘Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya’. (QS. 3:40) Berkata Zakariya: ‘Berilah aku suatu tanda (bahwa isteriku telah mengandung).’ Allah berfirman: ‘Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Rabbmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.’” (QS. 3:41)
Ketika Zakariya melihat bahwa Allah telah memberikan rizki kepada Maryam berupa buah-buahan musim dingin pada musim kemarau dan buah-buahan musim kemarau pada musim dingin, maka pada saat itu ia berkeinginan keras untuk mendapatkan seorang anak meskipun sudah tua, tulang-tulangnya sudah mulai rapuh dan rambutnya pun telah memutih, sedang isterinya sendiri juga sudah tua dan bahkan mandul. Namun demikian, ia tetap memohon kepada Rabbnya dengan suara yang lembut seraya berdo’a: Rabbi Hablii mil ladunka (“Ya Rabb-ku, berikanlah kepadaku dari sisi Mu.”) Yakni dari-Mu, dzurriyyatan thayyiban (“Seorang anak yang baik.”) Maksudnya adalah anak yang shalih. Innaka samii’ud du’aa’ (“Sesungguhnya Engkau Mahamendengar doa.”)
Dia berfirman, fanaadatHul malaa-ikatu wa Huwa qaa-imuy yushallii fil mihraabi (“Kemudian Malaikat [Jibril] memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab.”) Maksudnya, Malaikat menyerukan kepadanya dengan seruan yang didengar olehnya, sedang pada saat itu ia dalam keadaan berdiri mengerjakan shalat di mihrab, tempat di mana ia beribadah, menyendiri, bermunajat, dan mengerjakan shalat. Lalu Allah memberitahukan kabar gembira yang disampaikan oleh Malaikat, “Sesungguhnya Allah menggembirakanmu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya.” Yaitu dengan seorang anak yang lahir dari tulang sulbimu yang diberi nama Yahya.
Qatadah dan yang lainnya berkata, “Diberi nama Yahya, karena Allah menghidupkannya dengan keimanan.”
Firman-Nya, mushaddiqam bikalimaatim minallaaHi (“Yang membenarkan kalimat [yang datang] dari Allah.”) Mengenai firman-Nya di atas ini, al-‘Aufi dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dan juga al-Hasan, Qatadah, `Ikrimah, Mujahid, Abu asy-Sya’tsa’, as-Suddi, ar-Rabi’ bin Anas, adh-Dhahhak, dan yang lainnya berkata tentang ayat ini, bahwa yang dimaksudkan dengan, Kalimat yang datang dari Allah’ adalah `Isa bin Maryam.
Ar-Rabi’ bin Anas berkata: “Dia (Yahya) adalah orang yang pertama kali percaya akan datangnya `Isa bin Maryam. Dan Qatadah berkata, “(Dia Yahya) diatas Sunnah dan manhajnya.”
Sedangkan Ibnu Juraij meriwayatkan, mengenai firman-Nya: mushaddiqam bikalimaatim minallaaHi (“Yang membenarkan kalimat [yang datang] dari Allah.”) Ibnu `Abbas berkata: “Yahya dan `Isa adalah saudara sepupu. Dan Yahya adalah orang yang pertama kali membenarkan `Isa. Dan kalimat Allah yang dimaksud adalah `Isa itu sendiri. Yahya itu lebih tua daripada `Isa. Hal yang sama juga dikatakan oleh as-Suddi.
Firman-Nya: wa sayyidan (“Menjadi panutan.”) Abul `Aliyah, ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, Sa’id bin Jubair, dan selain mereka berkata: “Yaitu, yang penyantun.” Sedangkan Qatadah berkata: “Ia itu sebagai panutan dalam (hal) ilmu dan ibadah.”
Ibnu ‘Abbas, ats-Tsauri, dan adh-Dhahhak berkata: “Sayyidan berarti yang santun dan penuh ketakwaan.” Sa’id bin al-Musayyab berkata: “Sayyidan berarti orang yang sangat faham dan berilmu.” Dan ‘Athiyyah berkata: “Ia adalah panutan dalam (hal) akhlak dan agamanya.”
‘Ikrimah berkata: “la adalah orang yang tidak pemah dikendalikan oleh amarah.” Sedangkan Ibnu Zaid berkata: “Maksudnya adalah orang yang mulia.” Dan Mujahid serta ulama yang lain berkata: “Artinya adalah, yang mulia di sisi Allah.”
Firman-Nya: wa hashuuran (“Yang menahan diri.”) Dalam kitabnya, asy-Syifa’, al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Ketahuilah bahwa pujian Allah pada Yahya bahwa ia sebagai “hashuuran” bukanlah seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang, di antara mereka menyebutkan bahwa Yahya itu tidak memiliki kemaluan. Pendapat ini secara tegas ditentang oleh para ahli tafsir yang terkemuka dan ulama yang kritis. Dalam hal ini mereka berkata: “Penafsiran seperti itu merupakan suatu kekurangan dan aib serta tidak layak bagi para Nabi. Dan makna yang benar adalah, bahwa Yahya itu ma’shum (terpelihara) dari perbuatan dosa, seakan-akan Yahya itu dibentengi dari dosa.”
Ada juga yang berpendapat, bahwa Yahya itu menahan dirinya dari nafsu syahwat. Dari sini, tampak bahwa ketidakmampuan untuk menikah itu merupakan suatu kekurangan. Dan yang merupakan keutamaan adalah adanya kemampuan dalam menikah, namun Yahya menolaknya, baik karena melalui mujahadah (usaha keras) seperti yang dilakukan `Isa as. maupun karena diberikan kemampuan oleh Allah untuk melakukan hal tersebut, seperti yang dialami oleh Yahya sendiri.
Menikah itu -bagi orang yang mampu dan sanggup menunaikan semua kewajiban yang timbul akibat menikah dengan tidak melalaikan kewajiban kepada Rabb-nya- adalah merupakan derajat yang tinggi, yaitu derajat yang diperoleh Nabi Muhammad, yang dengan isteri-isteri yang dimilikinya, beliau tidak pernah lalai untuk beribadah kepada Allah. Bahkan hal itu menjadikan beliau bertambah ibadahnya, yaitu dengan memelihara mereka, menunaikan kewajiban kepada mereka, memberikan nafkah, serta memberikan bimbingan kepada mereka. Bahkan secara tegas beliau menyatakan bahwa isteri itu bukan bagian yang diperoleh dari dunianya, meski ia merupakan bagian dunia bagi orang lain.” Lalu beliau bersabda:
“Allah menjadikan aku mencintai sebagian dari urusan dunia kalian.”
“Allah menjadikan aku mencintai sebagian dari urusan dunia kalian.”
Maksud dari ungkapan itu adalah, bahwa beliau memuji Yahya sebagai orang yang terpelihara. Yang demikian itu bukan karena tidak menggauli wanita, melainkan karena ia ma’shum, terpelihara dari berbagai macam perbuatan keji dan kotor. Dan kema’shumannya itu tidak menghalanginya untuk menikahi, mencumbui, dan menjadikan hamil wanita yang halal baginya. Bahkan dapat difahami lahirnya keturunan baginya melalui do’a yang dipanjatkan Zakariya di atas, di mana Zakariya berdo’a, “Berikanlah kepadaku dari sisi-Mu seorang anak yang baik.” Seolah-olah ia (Zakariya) mengucapkan: “Seorang anak yang memiliki anak cucu, keturunan, dan pengganti.” Wallahu a’lam.
Firman-Nya, wa nabiyyam minash shaalihiin (“Dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang yang shalih.”) Ini merupakan kabar gembira kedua, yaitu berita pengangkatan Yahya sebagai Nabi setelah berita gembira sebelumnya, yaitu kelahiran Yahya. Berita kedua ini lebih tinggi kedudukannya daripada berita pertama, sebagaimana firman-Nya kepada ibunya Musa, “Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang dari para Rasul,” (QS. Al-Qashash : 7)
Pada saat Zakariya meyakini berita gembira ini, maka ia merasa heran terhadap lahirnya anak dari dirinya setelah usia tua.
Rabbi innii yakuunu lii ghulaamuw wa laqad balaghaniyal kibaru wam ra-atii ‘aaqir. Qaala (“Zakariya berkata: ‘Ya Rabbku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan isteriku pun seorang yang mandul.’ Ia berkata,”) yaitu malaikat: kadzaalikallaaHu yaf’alu maa yasyaa-u (“demikianlah Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya”) artinya, demikian itulah urusan Allah yang besar [agung] itu, tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan [tidak mampu diperbuat]Nya, dan tidak ada suatu hal [perkara] yang memberatkan-Nya.
Qaala rabbij’al lii aayaH (“Zakaria berkata, ‘Berikanlah kepadaku suatu tanda [bahwa istriku hamil]”) yaitu tanda yang menunjukkan akan lahirnya seorang anak dariku.
Qaala aayatuka allaa tukallimannaasa tsalaatsata ayyaamin illaa ramzan (“Allah berfirman, ‘Tandanya bagimu adalah kamu tidak bisa berkata-kata kepada manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat.’”) yakni hanya berupa isyarat karena kamu tidak bisa berbicara, padahal pada saat itu engkau dalam keadaan sehat dan normal, sebagaimana dalam firman-Nya: tsalaatsa layaalin sawiyyan (“Selama tiga malam, padahal kamu sehat.”)(Maryam: 10)
Kemudian Allah menyuruhnya untuk banyak berdzikir, bertakbir dan bertasbih dalam keadaan seperti itu.
Maka Dia pun berfirman: wadz-kur rabbaka katsiiraw wa sabbih bil ‘asyiyyi wal ibkaar (“Dan sebutlah [nama] Rabb-mu sebanyak-banyaknya serta bertasbih di waktu petang dan pagi hari.”) akan dikemukakan dari sisi lain dalam pembahasan masalah ini pada surah Maryam, insyaa Allaah.
EmoticonEmoticon