Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dad padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji. (QS. Al-Baqarah: 267) Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kathu berbuat. kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui. (QS. Al-Baqarah: 268) Allah memberikan hikmah (kepahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfak. Yang dimaksudkan di sini adalah sodaqah. Demikian dikatakan Ibnu Abbas: “Yaitu sebagian dari harta kekayaannya yang baik-baik yang telah dianugerahkan melalui usaha mereka.”
Lebih lanjut Ibnu Abbas mengemukakan: “Mereka diperintahkan untuk menginfakkan harta kekayaan yang paling baik, paling bagus, dan paling berharga. Dan Dia melarang berinfak dengan hal-hal yang remeh dan hina. Dan itulah yang dimaksud dengan “al khabiitsa” (pada ayat itu). Karena sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Oleh karena itu Dia berfirman: walaa tayammamul khabiitsa (“Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk.”) Maksudnya sengaja memberikan yang buruk-buruk. minHu tunfiquuna wa lastum bi-aakhidziHii (“Lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.”) Maksudnya, seandainya hal itu diberikan kepada kalian, niscaya kalian tidak akan mengambilnya dan bahkan akan memicingkan mata. Sesungguhnya Allah swt. lebih tidak membutuhkan hal semacam itu dari kalian. Maka janganlah kalian memberikan kepada Allah Ta’ala apa-apa yang tidak kalian sukai.
Ibnu Jarir rahimahullahu meriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib mengenai firman Allah Ta’ala: yaa ayyuHal ladziina aamanuu anfiquu min thayyibaati maa kasabtum wa mimmaa akhrajnaa lakum minal ardli wa laa tayammamul khabiitsa minHu tunfiquuna (“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu nafkahkan darinya.”) Ia (al-Barra’) mengatakan, ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar. Pada hari pemetikan pohon kurma, orang-orang Anshar mengeluarkan busrun (kurma mengkal), lalu menggantungkannya pada tali di antara dua tiang masjid Rasulullah As. sehingga dimakan oleh kaum fakir miskin dari kalangan muhajirin. Lalu salah seorang di antara mereka sengaja mengambil kurma yang buruk-buruk dan mamasukkannya ke dalam beberapa tandan busrun (kurma mengkal), ia mengira bahwa perbuatan itu dibolehkan. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat berkenaan dengan orang yang mengerjakan hal tersebut: wa laa tayammamul khabiitsa minHu tunfiquuna (“Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu nafkahkan darinya.”)
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Majah, Ibnu Mardawih dan al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak. Dan al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Aisyah radiallahu anHaa, ia menceritakan: “Pernah dihidangkan kepada Rasulullah binatang sejenis biawak, namun beliau tidak memakannya tetapi tidak juga melarangnya. Lalu kukatakan: “Ya Rasulullah, kita berikan saja kepada orang-orang miskin.” Maka beliau bersabda: “Janganlah kalian memberi makan mereka sesuatu yang kalian tidak mau memakannya.”
Dan firman-Nya: wa’lamuu annallaaHa ghaniyyun hamiid (“Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji.”) Maksudnya, meskipun Allah Ta’ala memerintahkan kalian bersedekah dengan yang baik-baik, namun Dia Mahakaya dan tidak membutuhkan hal tersebut, perintah itu tidak lain hanyalah untuk menyamakan antara orang kaya dan orang miskin.
Ayat ini sama dengan firman-Nya yang artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan darimu yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37).
Allah swt. tidak membutuhkan makhluk-Nya sedangkan seluruh makhluk-Nya itu adalah fuqara (butuh kepada-Nya). Dia Mahaluas karunia-Nya dan apa yang ada pada-Nya tiada akan pemah habis. Barangsiapa bersedekah dengan harta dari hasil usaha yang baik, maka hendaklah ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala Mahakaya, Mahaluas karunia-Nya, Mahamulia dan Mahadermawan. Dan Dia akan memberikan balasan atas semuanya itu serta melipatgandakannya dengan kelipatan yang banyak, yaitu bagi orang yang meminjamkan kepada Dzat yang tidak mempunyai kebutuhan (Allah Ta’ala) dan tidak berbuat zhalim, Dia Mahaterpuji dalam segala perbuatan, firman, syari’at, dan takdir-Nya. Tidak ada Ilah yang haq selain Dia. dan tidak ada Rabb selain Dia.
Firman-Nya lebih lanjut: asy-syaithaanu ya’idukumul faqra wa ya’murukum bil fahsyaa-i wallaaHu ya’idukum maghfiratam minHu wa fadl-law wallaaHu waasi’un ‘aliim (“Syaitan itu menjanjikan [menakut-nakuti] kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan [kikir]. Sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui.”)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan, Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya syaitan itu mempunyai dorongan atau bisikan kepada anak Adam, dan malaikat juga mempunyai dorongan atau bisikan pula. Dorongan syaitan itu berupa upayanya mengembalikan kepada kejahatan dan mendustakan kebenaran. Sedangkan dorongan malaikat berupa upaya mengembalikan kepada kebaikan dan pembenaran terhadap kebenaran. Barangsiapa mendapatkan hal tersebut, maka hendaklah ia mengetahui bahwa yang demikian itu dari Allah, dan hendaklah ia memanjatkan pujian kepada-Nya. Dan barangsiapa mendapatkan selain dari itu, maka hendaklah ia berlindung dari syaitan.” (Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani, sebagaimana terdapat dalam kitab Dha’iiful Jaami’ (1963).-ed.)
Kemudian beliau membaca ayat: asy-syaithaanu ya’idukumul faqra wa ya’murukum bil fahsyaa-i wallaaHu ya’idukum maghfiratam minHu wa fadl-law (“Syaitan itu menjanjikan [menakut-nakuti] kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan [kikir]. Sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia.”)
Demikian hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dan Nasa’i dalam kitab tafsir dari kitab Sunan milik keduanya. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya. Dan Tirmidzi mengatakan: Derajat hadits ini hasan gharib. Hadits tersebut bersumber dari Abu al-Ahwash, yaitu Salam bin Sulaim sedang kami tidak mengetahui riwayat secara marfu’ kecuali dari haditsnya. Demikian dikatakannya. Wallahu a’lam.
Firman Allah Ta’ala: asy-syaithaanu ya’idukumul faqra (“Syaitan menjanjikanmu dengan kemiskinan,”) berarti syaitan itu menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan, sehingga kalian akan mempertahankan harta yang ada pada kalian dan enggan menginfakkannya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala: wa ya’murukum bil fahsyaa-i (“Dan ia menyuruh kalian berbuat kejahatan [kikir]” yaitu dengan melarang kalian berinfak karena takut miskin. Ia juga menyuruh kalian berbuat maksiat, dosa, melanggar berbagai larangan, dan menyalahi aturan Allah.
Allah berfirman: wallaaHu ya’idukum maghfiratam minHu (“Sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya.”) Maksudnya, sebagai lawan dari perbuatan jahat yang diperintahkan syaitan kepada kalian. Wa fadl-lan (“Dan karunia.”) Sebagai lawan dari kemiskinan yang senantiasa diancamkan kepada kalian. wallaaHu waasi’un ‘aliim (“Dan Allah Mahaluas [karunia-Nya] lagi Mahamengetahui.”)
Firman-Nya: yu’til hikmata may yasyaa-u (“Allah menganugerahkan al-Hikmah [pemahaman yang dalam tentang al-Qur an dan as-Sunnah] kepada siapa yang Dia kehendaki.”) Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu Abbas: “Yaitu pengetahuan mengenai al-Qur’an, yang meliputi ayat-ayat nasikh dan mansukh, muhkarn dan mutasyabih, yang didahulukan dan yang diakhirkan, halal dan haram, dan semisalnya.”
Ibnu Abi Najih menceritakan dari Mujahid: “Yang dimaksud dengan hikmah di sini adalah tepat dalam ucapan.” Sedangkan Abu Aliyah mengatakan: “Hikmah berarti rasa takut kepada Allah swt, karena sesungguhnya rasa takut kepada Allah merupakan pokok dari setiap hikmah.”
Ibrahim an-Nakha’i mengemukakan: “Hikmah berarti pemahaman.”
Ibnu Wahab menceritakan dari Malik, Zaid bin Aslam mengatakan: “Hikmah berarti akal.”
Ibnu Wahab menceritakan dari Malik, Zaid bin Aslam mengatakan: “Hikmah berarti akal.”
Dan Imam Malik mengatakan: “Sesungguhnya terbetik di hatiku bahwa hikmah itu adalah pemahaman tentang agama Allah dan sesuatu yang dimasukkan Allah ke dalam hati yang berasal dari rahmat dan karunia-Nya. Yang dapat memperjelas hal itu adalah bahwa anda mungkin mendapatkan seseorang yang ahli dalam urusan dunianya, jika ia berbicara tentangnya. Dan anda mendapatkan orang lain yang lemah dalam urusan dunianya tetapi ia sangat ahli dan luas pandangannya dalam bidang agama, ini merupakan karunia yang diberikan kepadanya dan dihalangi dari orang yang pertama. Jadi, hikmah berarti pemahaman dalam agama Allah Ta’ala.”
Sedangkan as-Suddi mengemukakan, “Hikmah berarti kenabian.”
Yang benar, sebagaimana dikatakan oleh Jumhurul ulama, hikmah itu tidak dikhususkan pada kenabian saja, tetapi lebih umum dari itu. Yang tertinggi dari derajat hikmah adalah kenabian, sedangkan risalah lebih khusus lagi.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia menceritakan: aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Tidak diperbolehkan dengki kecuali terhadap dua orang: Seorang yang diberi harta kekayaan oleh Allah, lalu ia menghabiskannya dalam kebenaran, dan seorang yang diberikan hikmah oleh Allah, lalu ia memutuskan perkara (urusan) berdasarkan hikmah itu dan ia mengajarkannya.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah melalui beberapa jalan, dari Ismail bin Abi Khalid.
Dan firman-Nya: wa maa yadz-dzakkaru illaa ulul albaab (“Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran [dari firman Allah].”) Tidak ada yang mengambil pelajaran dari suatu nasihat dan peringatan kecuali orang-orang yang memiliki hati dan akal, yaitu ia memahami apa yang sedang dibicarakan dan makna yang terkandung dalam firman Allah swt.
EmoticonEmoticon