Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 217-218

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 217-218“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil-haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)
Ibnu Abi Hatim menceritakan, dari Jundub bin Abdullah bahwasanya Rasulullah pernah mengutus sebuah delegasi, dan menunjuk Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pemimpin. Ketika Abu Ubaidah berangkat, ia pun menangis, karena berat meninggalkan Rasulullah, maka beliau pun menahan kepergian Abu Ubaidah. Selanjutnya beliau mengutus Abdullah bin Jahsy untuk menggantikan posisi Abu Ubaidah, Rasulullah menitipkan sepucuk surat kepadanya dan memerintahkan agar ia tidak membacanya hingga ia sampai di suatu tempat ini dan itu, seraya berpesan, “Janganlah engkau memaksa seseorang dari para sahabatmu untuk pergi bersamamu.” Setelah membaca isi surat itu, ia pun berucap: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’uun” dan berkata, “Aku patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Selanjutnya ia menyampaikan berita itu dan membacakan surat itu kepada mereka. lalu ada dua orang yang pulang kembali.
(Dalam sirah diceritakan, tidak ada seorang pun dari mereka yang kembali pulang. Tetapi Sa’ad bin Abi Waqqash dan Atabah bin Ghazwan tertinggal di belakang, karena kehilangan unta. Mereka berdua terlambat karena mencari unta tersebut dan kembali pulang ke Madinah setelah delegasi itu berangkat.)
Dan mereka yang tersisa terus berjalan hingga bertemu dengan Ibnu al-Hadhrami, maka mereka membunuhnya, sedang mereka tidak mengetahui bahwa hari itu termasuk bulan Rajab atau Jumadil Tsaniyah. Lalu orang-orang musyrik mengatakan kepada kaum muslimin: “Kalian telah berperang pada bulan Haram.”Maka Allah swt. menurunkan firman-Nya:
Yas-aluunaka ‘anisy-syaHril haraami qitaalin fiiHi qul qitaalun fiiHi kabiir (“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang padamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, berperang pada bulan itu adalah dosa besar.”) Tidak boleh berperang pada bulan haram itu, namun apa yang kalian kerjakan, hai orang-orang musyrik lebih besar dosanya daripada pembunuhan pada bulan haram ini, yaitu kalian kufur kepada Allah Ta’ala, kalian halangi Muhammad dan para sahabatnya dari Masjidilharam dan kalian mengusir penduduk yang tinggal di sekitar Masjidilharam yaitu ketika mereka mengusir Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Di sisi Allah, hal itu jelas lebih besar dosanya daripada pembunuhan.
Mengenai firman Allah: Yas-aluunaka ‘anisy-syaHril haraami qitaalin fiiHi qul qitaalun fiiHi kabiir (“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang padamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, berperang pada bulan itu adalah dosa besar.”) al-Aufi mengemukakan, dari Ibnu Abbas, yaitu bahwa orang-orang musyrik menghalangi dan melarang Rasulullah masuk Masjidilharam pada bulan Haram. Kemudian Allah Ta’ala membukakan jalan bagi Nabi-Nya pada bulan Haram tahun berikutnya. Karena itulah, orang-orang musyrik menuduh Rasulullah berperang pada bulan Haram.
Maka Allah swt. berfirman: wa shadduu ‘an sabiilillaaHi wa kufrum biHii wal masjidil haraami wa ikhraaju aHliHii minHu akbaru ‘indallaaHi (“Tetapi menghalangi [manusia] dari jalan Allah, kafir kepada Allah, [menghalangi masuk] Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar [dosanya] di sisi Allah.”) Yaitu lebih besar dosanya daripada pembunuhan pada bulan Haram ini. Maksudnya yaitu, jika kalian telah melakukan pembunuhan pada bulan haram, tetapi mereka telah menghalangi kalian dari jalan Allah Ta’ala dan Masjidilharam, kafir kepada-Nya, dan mengusir kalian darinya, padahal kalian adalah penduduk asli di sana, maka hal itu: akbaru ‘indallaaHi (“Lebih besar [dosanya] di sisi Allah,”) daripada pembunuhan yang kalian lakukan terhadap salah seorang dari mereka.
Firman-Nya: wal fitnatu akbaru minal qatli (“Dan berbuat fitnah itu lebih besar [dosanya] daripada membunuh.”) Artinya, mereka sebelumnya telah menekan [mengintimidasi] orang muslim dalam urusan agamanya sehingga mereka berhasil mengembalikannya kepada kekufuran setelah keimanannya. Maka perbuatan seperti itu lebih besar dosanya di sisi Allah daripada pembunuhan.
Dan firman-Nya: wa laa yazaaluuna yuqaatiluunakum hattaa yarudduukum ‘an diinikum inistathaa’uu (“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agama kamu [kepada kekafiran], seandainya mereka sanggup.”) Maksudnya, kemudian mereka akan terus melakukan perbuatan yang lebih keji tanpa ada keinginan untuk bertaubat dan menghentikan diri.
Ibnu Ishaq mengatakan: Setelah tampak jelas persoalannya bagi Abdullah bin Jahsy dan para sahabatnya dengan turunnya ayat ini, maka mereka sangat mengharapkan pahala seraya berkata: “Ya Rasulullah, bolehkan kami mengharap adanya peperangan? Hingga kami memperoleh pahala mujahidin dalam perang itu?” Maka Allah swt. pun menurunkan firman-Nya: innal ladziina aamanuu wal ladziina Haajaruu wa jaaHaduu fii sabiilillaaHi ulaa-ika yarjuuna rahmatallaaHi wallaaHu ghafuurur rahiim (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”)
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ziyad, dari Ibnu Ishak, telah disebutkan pula dari sebagian keluarga Abdullah, bahwa Abdullah telah membagi fa’i (harta rampasan perang) ketika Allah Ta’ala telah menghalalkannya, menjadi 4/5 (empat perlima) bagian untuk orang-orang yang diberi harta rampasan (yang ikut berperang), dan 1/5 (seperlima) diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka ketentuan Allah yang berlaku dalam hal ini adalah seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Jahsy pada kafilah (yang membawa harta) orang Quraisy itu.
Lebih lanjut Ibnu Hisyam mengemukakan: “Itulah harta rampasan perang pertama yang diperoleh kaum muslimin. Dan Amr bin al-Hadhrami adalah orang yang pertama kali dibunuh oleh kaum muslimin, sedangkan Utsman bin Abdullah dan al-Hakam bin Kisan adalah orang pertama yang ditawan oleh kaum muslimin.”
Ibnu Ishaq mengatakan: “Maka Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dalam perang (yang dipimpin oleh) Abdullah bin Jahsyi, mengucapkan syair di bawah ini, dan ada yang berpendapat syair itu diucapkan oleh Abdullah bin Jahsyi itu sendiri. Syair itu ia ucapkan ketika orang-orang Quraisy mengatakan, “Muhammad dan para sahabatnya telah menghalalkan perang pada bulan Haram dengan menumpahkan darah, mengambil harta benda, dan menawan banyak orang.”
Ibnu Hisyam menuturkan, bait-bait berikut ini diucapkan Abdullah bin Jahsyi:
Kalian anggap dosa besar berperang pada bulan Haram.
Padahal ada yang lebih besar dari itu, jika orang dewasa memperoleh petunjuk.
(Yaitu) penolakan kalian terhadap apa yang dikatakan Muhammad.
Dan kekufuran kepada Allah, padahal Allah melihat dan menyaksikan.
Tindakan kalian mengusir penghuni Masjidilharam.
Agar tak terlihat lagi orang yang bersujud kepada Allah di Baitullah.
Dan sesungguhnya kami -meskipun kalian telah mencela kami karena
membunuhnya (Ibnu) Hadrami)-.
Hanyalah menggetarkan orang-orang jahat dan dengki terhadap Islam.
Kami telah basahi tombak-tombak kami dengan darah Ibnu Hadrami
di Nakhlah.
Ketika Waqid menyalakan perang.
Dan Utsman ibnu Abdullah menjadi tawanan kami.
Dalam keadaan terbelenggu, akan dikembalikan.


EmoticonEmoticon