Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Allah tidak ada Ilah (yang berhak untuk diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Inilah yang disebut ayat kursi. Ayat ini mengandung suatu hal yangsangat agung. Dan terdapat sebuah hadits shahih dari Rasulullah, yang menyebutkan bahwa ayat tersebut adalah ayat yang paling utama di dalam kitab Allah (al-Qur’an).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, bahwa Nabi pernah bertanya kepadanya: “Apakah ayat yang paling agung di dalam kitab Allah?””Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui,” sahut Ubay bin Ka’ab. Maka Nabi saw. mengulang-ulang pertanyaan tersebut, dan kemudian Ubay bin Ka’ab menjawab: “Ayat kursi.” Lalu beliau mengatakan: “Engkau akan dilelahkan oleh ilmu, hai Abu Mundzir. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ayat kursi itu mempunyai satu lidah dan dua bibir yang senantiasa menyucikan al-Malik (Allah) di sisi tiang ‘Arsy.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Muslim tanpa adanya tambahan: “Denmi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ayat kursi itu mempunyai satu lidah dua bibir yang senantiasa menyucikan al-Malik (Allah) sisi tiang ‘Arsy.”
Hadits yang lainnya diriwayatkan dari Abu Dzar Jundub bin Janadah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar, ia menceritakan: Aku pernah mendatangi Rasulullah saw. ketika beliau sedang duduk di masjid, lalu aku duduk maka beliau bertanya: “Hai Abu Dzar, apakah engkau sudah shalat?” “Belum,” jawab Abu Dzar. “Berdiri dan kerjakanlah shalat,” perintah Rasulullah.
Kemudian, lanjut Abu Dzar, aku bangun dan mengerjakan shalat, setelah itu aku duduk lagi, kemudian beliau bertanya: “Hai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan syaitan yang berwujud manusia dan jin.” Lalu kutanyakan: “Ya Rasulullah, apakah ada syaitan yang berwujud manusia?” “Ya,” jawab beliau. Lalu kutanya lagi: “Ya Rasulullah, apakah shalat itu?” Beliau bersabda: “Merupakan amal yang paling bagus. Barangsiapa menghendaki boleh mengerjakan sedikit dan barangsiapa menghendaki boleh mengerjakan banyak.” Lebih lanjut kutanyakan: “Kemudian apa itu puasa?” Beliau menjawab: “Suatu kewajiban yang berpahala dan di sisi Allah terdapat tambahan (pahala).” Kutanyakan lagi: “Lalu apa yang dimaksud dengan sedekah itu?” Beliau menjawab: “Ibadah yang dilipatgandakan (pahalanya).” Selanjutnya kutanyakan: “Lalu mana di antara sedekah itu yang lebih baik?” Beliau menjawab: “Yaitu sedekah yang diberikan oleh orang yang sedikit hartanya atau sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi kepada orang miskin.” Kutanyakan lagi: “Siapakah nabi yang paling pertama?” Beliau menjawab: “Adam.” Kutanyakan lagi: “Nabi yang bagaimana ia itu?” Beliau menjawab: “Ia adalah nabi yang diajak bicara (oleh Allah secara langsung).” “Ya Rasulullah, berapakah rasul yang diutus?” tanyaku. Beliau menjawab: “Secara keseluruhan mereka berjumlah tiga ratus tiga belas lebih suatu jumlah yang banyak.” Di lain kesempatan Nabi mengatakan: “Mereka berjumlah tiga ratus lima belas orang.” Kutanyakan lagi: “Ya Rasulullah, ayat apa yang paling agung yang telah diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab: “Ayat kursi; Tiada Ilan melainkan hanya Dia yang Maha hidup lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.'” (HR. Nasa’i; Dha’if: Disebutkan oleh al-Haitsami dalam kitab al Majma’ (726), ia berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam Mu’jam al Ausath seperti ini, di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama al-Mas’udi. Dia tsiqah, tetapi hafalannya bercampur/kacau.”)
Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam kitabnya, Shahih Bukhari pada bab Fadhailu al-Qur’an (keutamaan-keutamaan al-Qur’an) dan juga dalam bab al Walakah, dari Abu Hurairah ra. ia berkata: “Rasulullah saw. pernah memberikan tugas kepadaku untuk menjaga zakat bulan Ramadhan. Lalu ada seseorang yang mendatangiku seraya meraup makanan, maka aku pun segera menangkapnya seraya kukatakan: ‘Akan aku laporkan kamu kepada Rasulullah.’ Orang itu berkata: ‘Biarkanlah aku mengambilnya, sesungguhnya aku membutuhkannya untuk menanggung keluargaku yang banyak, dan aku punya keperluan yang sangat mendesak.’ Abu Hurairah melanjutkan ceritanya, kemudian aku pun membiarkannya, hingga pada keesokan harinya, Rasulullah saw. berkata: ‘Hai Abu Hurairah, apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kujawab, lanjut Abu Hurairah: ‘Ya Rasulullah, ia mengadukan kebutuhannya yang sangat mendesak dan keluarganya yang banyak. Maka aku merasa kasihan kepadanya dan aku biarkan ia berlalu.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ia telah membohongimu dan akan kembali.’
Aku tahu bahwa orang itu akan kembali lagi berdasarkan sabda Rasulullah saw., ‘Bahwa ia akan kembali.’ Kemudian aku pun mengintainya. Ternyata ia datang dan meraup makanan. Lalu aku menangkapnya kembali dan kukatakan: ‘Akan aku laporkan engkau kepada Rasulullah.’ Maka orang itu pun berujar: ‘Biarkanlah aku mengambilnya, sesungguhnya aku benar-benar terdesak oleh kebutuhan dan tanggungan keluarga, aku tidak akan kembali.’ Maka aku pun kasihan dan aku biarkan ia berlalu. Dan pada keesokan harinya, Rasulullah berkata kepadaku: ‘Hai Abu Hurairah, apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kukatakan: `Ya Rasulullah, ia mengadukan kebutuhannya yang sangat mendesak dan keluarganya yang banyak. Maka aku merasa kasihan kepadanya dan aku biarkan ia berlalu.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ia telah membohongimu dan is akan kembali.’
Selanjutnya kuintai untuk ketiga kalinya, dan temyata ia datang kembali dan meraup makanan lagi. Lalu aku menangkapnya kembali dan kukatakan: ‘Akan aku laporkan engkau kepada Rasulullah. Dan ini adalah yang ketiga kalinya dan engkau telah berjanji untuk tidak kembali, ternyata engkau masih kembali. Kemudian orang itu bertutur: ‘Lepaskanlah aku, aku akan mengajarkan kepadarnu beberapa kalimat, yang dengannya Allah akan memberikan manfaat kepadamu. ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut?’ tanyaku. Maka ia menjawab: ‘Apabila engkau hendak beranjak tidur, maka bacalah ayat kursi: allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) niscaya akan senantiasa ada perlindungan Allah bagimu dan engkau tidak akan didatangi syaitan hingga pagi hari tiba.’ Maka aku pun membebaskan orang itu. Dan pada saat pagi harinya, Rasulullah saw berkata kepadaku: ‘Apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kukatakan: `Ya Rasulullah, orang itu telah mengajariku beberapa kalimat, yang dengannya Allah akan mem-berikan manfaat kepadaku. Maka aku pun membiarkan ia berlalu.’ Beliau bertanya: ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ ‘Orang itu berkata kepadaku: Apabila beranjak ke tempat tidur, maka bacalah ayat kursi: allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) niscaya akan senantiasa ada perlindungan Allah bagimu dan engkau tidak akan didatangi syaitan hingga pagi hari tiba’ -para sahabat adalah orang-orang yang sangat loba terhadap kebaikan.- Maka Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnyah berkata benar, padahal ia seorang pendusta. Tahukah engkau, hai Abu Hurairah, siapakah yang engkau ajak bicara selama tiga malam tersebut?’ ‘Tidak,’ jawabku. Beliau bersabda: ‘Ia adalah syaitan.’”
Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari secara muallaq dengan ungkapan pasti. Hadits ini juga diriwayatkan an-Nasa’i dalam Kitab: “al yauma wa lailah.”
Hadits yang lain, yang menjelaskan bahwa ayat ini mengandung nama Allah yang paling agung, diriwayatkan Imam Ahmad, dari Asma’ binti Yazid bin Sakan, ia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda mengenai dua ayat ini, allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) Dan ayat, “Alif laam miim. allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Aliif laam miim. Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) (QS. Ali Imraan: 1-2): “Sesungguhnya pada kedua ayat tersebut terdapat nama Allah yang paling agung.”
Demikian hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah. Imam Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.” Ayat ini mencakup 10 (sepuluh) kalimat yang berdiri sendiri, yaitu firman Allah Ta’ala: AllaaHu laa ilaaHa illaa Huwa (“Allah, tidak ada ilah [yang berhak di-ibadahi] melainkan Dia.”) Yang demikian itu memberitahukan, bahwasanya Allah-lah yang Tunggal dalam uluhiyah-Nya (ketuhanan-Nya) bagi seluruh makhluk-Nya.” Al hayyul qayyuum (“Yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.”) Artinya, yang hidup kekal, dan tidak akan pernah mati selamanya, yang mengendalikan semua yang ada. Dengan demikian, semua yang ada di dunia ini sangat membutuhkan-Nya, sedang Dia sama sekali tidak membutuhkan mereka, tidak akan tegak semuanya itu tanpa adanya perintah-Nya. seperti firman-Nya berikut ini: wa min aayaatiHii an taquumas samaa-u wal ardlu bi amri (“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah berdirinya langit dan bumi dengan iradah-Nya.”) (QS. Ar-Ruum: 25).
Dan firman-Nya: laa ta’khudzuHu sinatuw walaa naum (“Tidak mengantuk dan tidak pula tidur”) Artinya, la suci dari cacat (kekurangan), kelengahan dan kelalaian tidur dalam mengurusi makhluk-Nya. Bahkan sebaliknya, Dia senantiasa mengurus dan memperhatikan apa yang dikerjakan setiap individu. Dan Dia senantiasa menyaksikan segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Dan di antara kesempurnaan sifat-Nya adalah Dia tidak pernah dikalahkan (dikuasai) kantuk dan tidur. Firman-Nya: laa ta’khudzuHu; berarti Dia tidak dikalahkan (dikuasai) oleh kantuk. Oleh karena itu Dia juga berkata: “Dan tidak juga tidur.” Karena tidur itu lebih kuat dari mengantuk.
Dan firman-Nya: laHuu maa fis samaawaati wa maa fil ardli (“Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.”) Hal itu merupakan pemberitahuan bahwaa makhluk ini adalah hamba-Nya, dan berada di dalam kerajaan-Nya, pemaksaan-Nya, dan juga kekuasaan-Nya.
Firman-Nya: man dzal ladzii yasy-fa’u ‘indaHuu illaa bi-idzniHi (“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”) Ini merupakan bagian dari keagungan, keperkasaan, dan kebesaran Allah swt, yang mana tidak seorang pun dapat memberikan syafa’at kepada orang lain, kecuali dengan seizin-Nya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits tentang syafaat: “Aku datang ke bawah ‘Arsy, lalu aku tunduk bersujud. Maka Dia membiarkanku selama waktu yang Dia kehendaki. Kemudian dikatakan: ‘Angkatlah kepalamu, katakanlah perkataanmu akan didengar, dan berilah syafaat, dan engkau akan mendapat syafaat.’ Nabi bersabda: ‘Kemudian Allah memberikan suatu batasan kepadaku, lalu aku memasukkan mereka ke dalam surga.’” (HR Al-Bukhari dan lain-lainnya).
Dan firman Allah Ta’ala: ya’lamu maa baina aidiiHim wa maa khalfaHum (“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”) Yang demikian itu sebagai bukti yang menunjukkan bahwa ilmu-Nya meliputi segala yang ada, baik yang lalu, kini, dan yang akan datang.
Selanjutnya penggalan ayat: walaa yuhiithuuna bibisyai-im min ‘ilmiHii illaa bimaa syaa’a (“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”) Artinya, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui sedikit pun dari ilmu Allah kecuali yang telah diajarkan dan diberitahukan oleh Allah kepada-Nya. Mungkin juga makna penggalan ayat tersebut adalah, manusia tidak akan dapat mengetahui ilmu Allah sedikit pun, dzat dan sifatnya melainkan yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Hal itu seperti firman-Nya yang artinya: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS. Thaahaa: 110).
Dan firman-Nya lebih lanjut: wasi’a kursiyyuHus samaawaati wal ardla (“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”) Ibnu Abi Hatim menceritakan, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, wasi’a kursiyyuHus samaawaati wal ardla (“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”) ia mengatakan, “Yaitu ilmu-Nya.”
Pendapat yang sama juga diriwayatkan Ibnu Jarir, dari Abdullah bin Idris dan Hasyim, keduanya dari Mutharif bin Tharif. Ibnu Abi Hatim, menceritakan, hal yang sama juga diriwayatkan, dari Said bin Jubair.
Dalam tafsirnya, Wak’i telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Kursi adalah tempat pijakan dua kaki (Allah) dan ‘Arsy tidak ada seorang pun yang mampu memperkirakannya. Hal itu juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, ia mengatakan: “(Riwayat tersebut) shahih menurut syarat dari Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.
Dan firman-Nya, “Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. “Maksudnya, Dia tidak merasa keberatan dan kewalahan untuk memelihara langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya. Bahkan bagi-Nya semuanya itu merupakan suatu hal yang sangat mudah dan ringan. Dia yang mengawasi setiap individu atas apa yang ia kerjakan. Yang senantiasa memantau segala sesuatu, sehingga tidak ada sesuatu pun yang luput dan tersembunyi dari-Nya. Dia yang menundukkan dan menghisab (memperhitungkan) segala sesuatu. Dialah Ilah Yang Mahamengawasi, Mahatinggi, dan tidak ada Ilah selain Dia.
Dengan demikian firman-Nya: wa Huwal ‘aliyyul ‘adhiim (“Dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar,”) adalah sama seperti firman-Nya: wa Huwal kabiirul muta’aal (“Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.”) (QS. Ar-Ra’ad: 9).
Jalan terbaik dalam memahami ayat-ayat di atas berikut maknanya yang terkandung dalam beberapa hadits shahih adalah dengan metode yang digunakan para ulama Salafush Shaleh; Mereka memahami makna ayat-ayat tersebut (sebagaimana arti bahasa yang digunakan dalam ayat-ayat atau hadits-hadits itu,-Pent.) tanpa takyif (menanyakan kaifiatnya/hakekatnya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk).
Dalam naskah al-Azhar: Arti memahami di sini ialah tanpa mena’wilkannya dengan pandangan-pandangan manusia tetapi kita hanya beriman kepada ayat-ayat itu dengan menyucikan Allah terhadap keserupaan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya.
EmoticonEmoticon