Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 125-128

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 125-128“… Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.’ (QS. Al-Baqarah: 125). Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: ‘Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.’ Allah berfirman: ‘Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. Al-Baqarah: 126) Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.’ (QS. Al-Baqarah: 127) ‘Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’” (QS. Al-Baqarah: 128)
Mengenai firman-Nya: wa ‘aHidnaa ilaa ibraahiima wa ismaa’iila (“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail,”) Hasan al-Bashri mengatakan, “Allah Ta’ala menyuruh keduanya untuk membersihkan Baitullah dari segala macam kotoran dan najis sehingga tidak ada sedikit pun yang mengenai bagiannya.”
Ibnu Juraij pernah bertanya kepada ‘Atha: “Apa yang dimaksud dengan [‘aHduHu] dalam ayat tersebut?” ‘Atha menjawab: “Maksudnya adalah perintah-Nya.”
Secara lahiriyah, kata ini dijadikan muta addi (transitif) dengan kata [ilaa] karena ia bermakna: “Telah Kami kemukakan dan wahyukan.”
Dan mengenai firman-Nya: an thaHHiraa baitiya lith-thaa-ifiina wal ‘aakifiina (“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf dan yang i’tikaf,”) Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Yaitu dari berhala-berhala.”
Masih mengenai firman-Nya tersebut: thaHHiraa baitiya lith-thaa-ifiina wal ‘aakifiina (“untuk orang-orang yang thawaf,”) Mujahid dan Said bin Jubair mengatakan: “Yaitu dibersihkan dari berhala-berhala, ucapan keji, kata dusta, dan kotoran.”
Sedangkan finnan-Nya: lith-thaa-ifiina (“Untuk orang-orang yang mengerjakan thawaf,”) sudah demikian jelas bahwa thawaf itu dikerjakan di Baitullah.
Menurut Said bin Jubair, firman-Nya: lith thaa-ifiina (“Untuk yang mengerjakan thawaf,”) yakni orang yang datang dari luar, sedangkan firman-Nya: wal ‘aakifiina (“Dan untuk orang-orang yang betz’tikaf,”) yaitu orang-orang yang mukim disana.
Demikian juga diriwayatkan dari Qatadah dan Rabi’ bin Anas, keduanya menafsiran kata “al-‘aakifiina” dengan penduduk yang menetap di sana, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair.
Masih mengenai firman-Nya, wal ‘aakifiina “Dan untuk orang-orang yang beri’tikaf, ” Yahya al-Qatthan meriwayatkan dari Abdul Malik (dia adalah Ibnu Abi Sulaiman), dari ‘Atha, ia mengatakan: “Mereka yang datang dari segala kota lalu bermukim di sana.” Dia pun (‘Atha) mengatakan kepada kami ketika berdiam di sana: “Kalian termasuk orang-orang yang beri’tikaf.”
Waki’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menuturkan, “Jika seseorang duduk, maka ia sudah termasuk “al-‘aakifiina” [Orang yang beri’tikaf.]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, Hamad bin Salamah memberitahu kami, Tsabit memberitahu kami, katanya: “Kami pernah mengatakan kepada Abdullah bin Ubaid bin Umair: “Aku harus berbicara kepada Amir (Gubernur) agar dia melarang orang-orang yang tidur di Masjidilharam, karena mereka itu junub dan berhadats.” Maka ia pun berkata: “Jangan lakukan, karena Ibnu Umar pernah ditanya mengenai keberadaan mereka itu, maka beliau menjawab bahwa mereka itu termasuk orang-orang yang beri’tikaf.”
Berkenaan dengan hal di atas penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Dalam kitab Shahih telah ditegaskan, bahwasanya Ibnu Umar pernah tidur di Masjid Nabawi, ketika ia masih bujang.”
Sedangkan mengenai firman-Nya: war rukka-‘is sujuud (“Orang-orang yang ruku’ dan sujud,”) Waki’ menceritakan, dari rbnu Abbas, ia mengatakan, “Jika ia mengerjakan shalat berarti ia termasuk orang-orang yang ruku’ dan sujud.” Hal senada juga dikemukakan oleh Atha’ dan Qatadah.
Berkenaan dengan firman-Nya: an thaHHiraa (“Bersihkanlah rumahku”) as-Suddi mengatakan, “(Yaitu) hendaklah kalian berdua (Ibrahim dan Ismail) membangun rumah-Ku untuk orang-orang yang mengerjakan thawaf.”
Ringkasnya, Allah memerintahkan kepada Ibrahim as. dan Ismail as. agar membangun Ka’bah atas nama-Nya semata, yang tiada sekutu bagi-N’ya, bagi orang-orang yang mengerjakan thawaf dan beri’tikaf di sana serta orang-orang yang mengerjakan ruku’ dan sujud dalam shalat.
Para ahli fiqih berbeda pendapat perihal manakah yang lebih utama shalat atau tawaf di Baitullah? Imam Malik rahimahullahu berpendapat, bagi penduduk kota-kota lain, thawaf di Baitullah itu lebih utama. Sedangkan jumhurul fuqaha’ berpendapat, secara mutlak bahwa shalat di Baitullah lebih utama. Alasan kedua pendapat ini dimuat dalam kitab al Ahkam (hukum-hukum).
Maksud dari ayat ini adalah penolakan terhadap orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah swt. di Baitullah, yang sengaja dibangun sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya semata. Selain itu, orang-orang kafir itu menghalangi orang-orang mukmin darinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di sana maupun di padang pasir, dan barangsiapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS. Al-Hajj: 25)
Setelah itu disebutkan bahwa Baitullah itu dibangun bagi orang yang beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya, baik dengan cara thawaf maupun shalat. Lalu di dalam surat al-Hajj disebutkan tiga dari bagiannya, yaitu: qiyam (berdiri), ruku’, dan sujud. Dalam surat itu Allah Ta’ala tidak menyebutkan, karena Dia telah mendahuluinya dengan firman-Nya, “Baik yang bermukim di sana maupun di padang pasir. ”
Sedangkan dalam surat al-Baqarah ini disebutkan: ath-thaa-ifiin (“Yang mengerjakan thawaf”), al-‘aakifiina (“yang beri’tikaf”), dan disebutkan pula ruku’ dan sujud tanpa disebutkan qiyam (berdiri), karena telah diketahui bahwa, tidak ada ruku’ maupun sujud kecuali setelah qiyam.
Musa bin Imran dan juga nabi-nabi lainnya pernah menunaikan ibadah haji, sebagaimana diterangkan Rasulullah pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu: in Huwa illaa wahyuy yuuhaa (“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”) (QS. An-Najm: 4).
Penyucian masjid itu didasarkan pada ayat ini (al-Baqarah: 125), dan juga pada firman Allah swt, yang artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang hari.” (QS. An-Nuur: 36).
Dan juga berdasarkan sunnah Nabi yaitu beberapa hadits yang memerintahkan penyucian Baitullah, perawatannya, dan pemeliharaannya dari segala macam kotoran, najis, dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya masjid itu didirikan untuk tujuan pendiriannya.”) Diriwayatkan Imam Muslim. Hadits tersebut permulaannya adalah bahwa Nabi usai mengerjakan shalat, ada seseorang yang berdiri seraya berucap, “Siapa yang dapat memberitahukan di mana unta merah.” Maka Nabi berujar, “Engkau tidak akan menemukannya, karena ia didirikan…
Dan mengenai masalah itu, penulis telah menghimpunnya dalam satu buku khusus, dan segala puji bagi Allah.
Dan firman Allah: wa idz qaala ibraaHiimu rabbij’al Haadza baladan aaminaw warzuq aHlaHuu minats tsamaraati man aamana minHum billaaHi wal yaumil aakhiri (“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa. Dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari akhir.’”)
Imam Abu Ja’far bin Jarir meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan Baitullah sebagai tanah haram dan tempat yang aman. Dan sesungguhnya aku pun telah menjadikan kota Madinah sebagai tanah haram, di antara kedua batasnya, dan tidak boleh diburu binatang buruannya, dan tidak boleh pula dipotong pepohonannya.” (HR. An-Nasa’i dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. katanya, “Jika para shahabat menyaksikan buah pertama dari sebuah pohon, maka mereka segera membawanya ke hadapan Rasulullah saw. Dan ketika mengambilnya, beliau berdoa:
“Ya Allah, berkahilah kami pada buah-buahan kami, pada kota kami dan berkahi pula kami pada sha’ dan mudd kami. Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba-Mu, kekasih-Mu, dan nabi-Mu. Dan bahwasanya aku ini adalah hamba-Mu dan nabi-Mu. Ibrahim telah berdoa untuk Makkah, dan aku berdoa untuk Madinah seperti ia berdoa untuk Makkah, dan keberkahan juga sepertinya.”
Kemudian beliau memanggil anak kecil, dan memberikan buah tersebut kepadanya. Dan menurut lafadz Imam Muslim disebutkan, “keberkahan bersama keberkahan.” Kemudian beliau memberikan buah itu kepada anak paling kecil yang hadir di sana.
Dan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik, katanya, Rasulullah pernah bersabda kepada Abu Thalhah: “Tolong carikan untukku salah seorang dari pemuda kalian yang akan membantuku.” Lalu Abu Thalhah pergi dengan memboncengku di belakangnya. Maka aku pun melayani Rasulullah setiap kali beliau singgah. Dalam hadits tersebut, Anas bin Malik menyebutkan, kemudian beliau berangkat hingga ketika gunung Uhud tampak olehnya, maka beliau bersabda: “Inilah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya.” Dan ketika mendekati kota Madinah, beliau pun bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan sebagai tanah haram pada yang ada di antara kedua gunungnya, sebagaimana Ibrahim telah menjadikan Makkah sebagai tanah haram. Ya Allah, berkahilah mereka pada sha’ dan mudd mereka.”
Dan dalam lafazh lain dari al-Bukhari dan Muslim disebutkan: “Ya Allah, berkahilah mereka dalam takaran mereka, berkahilah mereka dalam sha’, dan berkahilah dalam mudd mereka.” Al-Bukhari memberikan tambahan, “Yakni penduduk Madinah.”
Masih menurut riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: “Ya Allah, berikanlah kepada Madinah dua kali lipat berkah yang telah Engkau berikan kepada Mekkah.”
Dari Abdullah bin Zaid bin Ashim, Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan Makkah sebagai tanah haram (suci) dan mendoakannya, dan aku menjadikan Kota Madinah sebagai tanah haram (suci) sebagaimana Ibrahim menjadikan Makkah sebagai tanah haram (suci). Dan aku pun mendoakan untuk Madinah (supaya mendapat berkah) dalam mudd
dan sha’nya sebagaimana Ibrahim telah mendo’akan untuk Makkah.” (HR. Al-Bukhari)
Sedangkan menurut lafazh Imam Muslim Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan kota Mekkah sebagai tanah haram dan mendoakan penduduknya. Dan sesungguhnya aku juga menjadikan kota Madinah sebagai tanah haram sebagaimana Ibrahim telah menjadikan kota Makkah sebagai tanah haram. Dan aku mendoakan (agar diberikan keberkahan) pada sha’ dan muddnya, dua kali lipat dari do’a yang dipanjatkan Ibrahim untuk penduduk Makkah.” (HR. Muslim)
Dari Abu Said, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan Makkah sebagai tanah haram. Dan aku juga menjadikan Madinah sebagai tanah haram di antara ke dua batasnya, tidak boleh menumpahkan darah di sana, tidak boleh juga membawa senjata untuk berperang, dan tidak boleh juga dipotong pohonnya kecuali untuk makanan ternak saja. Ya Allah, berkahilah kami di kota kami. Ya Allah, berkahilah kami dalam sha’ dan mudd kami. Ya Allah, jadikanlah setiap keberkahan mengandung dua keberkahan.” (HR. Muslim).
Hadits yang membahas dijadikannya Madinah sebagai kota suci cukup banyak. Di sini kami hanya menyebutkan beberapa saja, yang berkaitan dengan pengharaman Nabi Ibrahim as. terhadap kota Makkah, sesuai dengan ayat al-Qur’an yang sedang kami bahas.
Dan orang-orang yang berpendapat bahwa pengharaman kota Makkah itu diberikan melalui lisan Nabi Ibrahim as, berpegang pada hadits-hadits tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa kota Makkah menjadi haram (suci) sejak diciptakannya bumi. Dan inilah pendapat yang lebih jelas, dan kuat. Wallahu a’lam.
Ada juga hadits lain yang menunjukkan bahwa Allah swt. telah mengharamkan kota Mekkah sebelum penciptaan langit dan bumi, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim melalui sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas ra, ia berkata, Rasulullah pernah bersabda pada waktu pembebasan kota Mekkah:
“Sesungguhnya negeri ini telah diharamkan (disucikan) Allah pada hari penciptaan langit dan bumi, dan ia menjadi haram melalui pengharaman Allah sampai hari kiamat kelak. Allah tidak membolehkan peperangan di dalamnya bagi seorang pun sebelumku, dan tidak juga membolehkanku kecuali sesaat pada siang hari. Negeri ini haram melalui pengharaman-Nya sampai hari kiamat kelak. Tidak boleh ditebang pepohonannya, tidak boleh diburu binatang buruannya, serta tidak boleh diambil barang temuannya kecuali bagi orang yang berkendak memberitahukannya kepada orang banyak, tidak boleh juga dicabut rerumputannya.” (HR. Al-Bukhari).
Ibnu Abbas mengatakan: “Ya Rasulullah, kecuali idzkhar (ilalang), karena dibutuhkan oleh tukang besi, dan juga untuk rumah-rumah mereka.” Maka beliau pun bersabda: “Ya, kecuali idzkhar.” (HR. Muslim).
Dari Abu Syuraih al-Adawi, ia pernah mengatakan kepada Amr bin Sa’id, yang mengirimkan utusan ke Makkah, “Izinkahlah aku, wahai Amir untuk memberitahu kepadamu ucapan Rasulullah pada keesokan harinya setelah hari pembebasan kota Makkah, yang aku dengar langsung dengan kedua telingaku, kufahami hingga lubuk hatiku, dan kusaksikan dengan kedua mataku ketika beliau menyampaikannya. Beliau memanjatkan pujian kepadaAllah, lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya Makkah telah diharamkan (disucikan) Allah dan tidak diharamkan oleh manusia (kaum musyrikin). Oleh karena itu, tidak dibolehkan bagi seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah di sana dan tidak boleh juga memotong pohonnya. Jika seseorang membolehkan untuk berperang karena Rasulullah pernah berperang di sana, maka katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah hanya mengizinkan Rasul-Nya saja (untuk berperang di sana) dan tidak memberikan izin kepada kalian.’ Allah memberikan izin kepadaku hanya sesaat pada siang hari. Dan pada hari ini pengharaman kota Makkah kembali lagi sebagaimana kemarin. Maka hendaklah orang yang Nadir di sini menyampaikan (berita ini) kepada orang yang tidak hadir.”
Maka ditanyakan kepada Abu Syuraih: “Apakah yang dikatakan Amir kepadamu?” la menjawab: “Aku lebih mengetahui hal itu daripada kamu, wahai Abu Syuraih. Sesungguhnya Tanah Haram tidak melindungi orang yang durhaka, dan tidak pula orang yang melarikan diri karena membunuh dan tidak pula karena menimbulkan kerusakan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jika yang demikian itu sudah diketahui, maka tidak ada pertentangan antara hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Allah telah mengharamkan Makkah pada hari penciptaan langit dan bumi dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim as. telah mengharamkan [menyucikan] Makkah karena Ibrahim menyampaikan dari Allah ketetapan dan pengharaman-Nya terhadap kota ini. Dan Mekkah, masih dan akan terus menjadi negeri haram (suci) di sisi Allah sebelum Ibrahim as. membangunnya, sebagaimana Rasulullah saw. telah tertulis di sisi Allah sebagai Nabi terakhir, dan bahwa Nabi Adam as. akan terlempar (diturunkan) ke tanah-Nya. (Dha’if: Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iiful Jaami’ (2091).-ed.)
Namun demikian, Ibrahim berdoa: “Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri.” Maka Allah pun mengabulkan doa Ibrahim tersebut (dengan mengutus Rasul) yang sudah ada dalam pengetahuan-Nya dan menjadi ketentuan-Nya.
Firman Allah Ta’ala yang memberitahukan mengenai Ibrahim yang berdo’a: raabij’al Haadaa baladan aminan (“Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman senotsa.”) artinya aman dari rasa takut. Maksudnya penduduknya tidak merasa takut. Dan Allah telah memenuhi hal itu baik menurut syariat maupun takdir. Sebagaimana firman-Nya: wa man dakhalaHuu kaana aaminan (“Barangsiapa yang memasukinya [Baitullah], maka ia aman.”) (Ali Imraan: 97).
Juga firman-Nya yang artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya rampok-merampok.” (QS. Al-Ankabut: 67)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainya, dan telah dikemukkan sebelumnya hadits-hadits yang mengharamkan peperangan di sana.
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Tidak diperbolehkan bagi seorang pun membawa senjata di Makkah.”
Dalam surah al-Baqarah ini Ibrahim as. berdoa: raabij’al Haadaa baladan aminan (“Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman senotsa.”) artinya jadikanlah tempat ini sebagai negeri yang aman. Doa ini tepat karena doa ini [diucapkan] sebelum pembangunan Ka’bah. Dan dalam surah Ibrahim Allah berfirman: wa idz qaala ibraaHiimu raabij’al Haadal baladan aminan (“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa: ‘Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman.”) (QS. Ibrahim: 35). Hal ini pun sesuai (tepat), karena -wallahu a’lam-, kemungkinan do’a ini dipanjatkan untuk kedua kalinya setelah pembangunan Baitullah (Ka’bah), dan didiami oleh para penghuninya, serta setelah kelahiran Ishak, yang usianya tiga belas tahun lebih mudah daripada Ismail.
Oleh karena itu, pada akhir do’anya, Ibrahim as. mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishak. Sesungguhnya Rabb-ku benar-benar Mahamendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39)
Sedangkan firman-Nya: warzuq aHlaHuu minats tsamaraati man aamana minHum billaaHi wal yaumil aakhiri qaala wa man kafara fa umatti’uHuu qaliilan tsumma adl-tharruHuu ilaa ‘adzaabin naari wa bi’sal mashiir (“’Dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari akhir.’ Allah berfirman: ‘Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.’”) (QS. Al-Baqarah: 126)
Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari Rabi’ bin Anas, dari Abul Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab, mengenai firman-Nya: qaala waman kafara fa umatti-‘uHuu qaliilan tsumma adl-tharruHuu ilaa ‘adzaabin naari wa bi’sal mashiir (“Allah berfirman, ‘Dan kepada orang-orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali,’”) ia mengatakan, “(Kalimat) ini adalah ucapan Allah swt.” Hal itu juga menjadi pendapat Mujahid dan Ikrimah. Dan hal ini pula yang dibenarkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah.
Dan firman-Nya: tsumma adl-tharruHuu ilaa ‘adzaabin naari wa bi’sal mashiir (“kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali,’”) Artinya, setelah diberikan kenikmatan dan dibentangkan baginya kemewahan hidup di dunia, kemudian Kami giring ia menjalani siksa neraka, dan neraka adalah seburuk-buruk tempat kembali. Maksudnya, Allah menunda dan memberikan tangguh kepada mereka, kemudian menyiksa mereka sebagai balasan dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dan berapa banyak kota yang Aku tangguhkan (adzab-Ku) kepadanya, yang penduduknya zhalim. Kemudian Aku adzab mereka, dan hanya kepadaKu-lah kembalinya (segala sesuatu).” (QS. Al-Hajj: 48).
Dalam kitab Bukhari Muslim terdapaat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw., “Tidak ada seorang pun yang lebih sabar atas gangguan yang didengarnya daripada (sabarya) Allah. Mereka menyatakan bahwa Allah mempunyai anak, sedang Dia-lah yang memberikan rizki dan kesehatan kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam hadits Shahih diriwayatkan, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan tangguh kepada orang zhalim hingga jika Dia mengadzabnya, maka Dia tidak akan melepaskannya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah: wa kadzaalika akhdzu rabbika idzaa akhadzal quraa wa Hiya dhaalimatun inna akhdzaHuu liimun syadiid (“Dan begitulah adzab Rabb-mu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.”) (QS. Huud: 102).
Sedangkan firman Allah: wa idz yarfa’u ibraaHiimul qawaa’ida minal baiti wa ismaa’iilu rabbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliimu rabbanaa waj’alnaa muslimaini laka wa min dzurriyyatinaa ummatam muslimal laka wa arinaa manaasikanaa wa tub ‘alainaa innaka antat tawwaabur rahiim (“Dan ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail seraya berdoa: ‘Ya Rabb kami terimalah dari kami [amalan kami], sesungguhnya Engkaulah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui. Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang tunduk patuh kepada-Mu [dan jadikanlah] di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu. Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang.” (QS. Al-Baqarah: 127-128).
Kata “al-qawaa’idu” dalam ayat di atas merupakan jamak dari kata “qaa’idun” yang berarti tiang dan pondasi. Artinya Allah berfirman: “Hai Muhammad, katakanlah kepada kaummu mengenai pembangunan Baitullah yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail dan peninggian pondasi oleh keduanya, dan keduanya pun berdoa: rabbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliimu (“Ya Rabb kami, terimalah dari kami [amalan kami], sesungguhnya Engkaulah yang Mahamendengar lagi Maha-mengetahui.”)
Dan yang benar bahwa Ibrahim dan Ismail meninggikan pondasi dan mengatakan apa yang akan diterangkan pada pembahasan berikut ini. Mengenai hal ini Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits yang akan kami kemukakan di sini, lalu kami sertai dengan beberapa atsar (riwayat) yang berkenaan dengan masalah ini.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menuturkan: Wanita pertama yang membuat ikat pinggang adalah ibu Ismail, hal itu ia lakukan agar dapat menutupi jejak kakinya dari Sarah. Kemudian Ibrahim membawa isteri dan puteranya, Ismail, yang masih disusuinya. Hingga akhirnya Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah di sisi sebuah pohon besar di atas sumur Zamzam di bagian atas Masjidilharam. Dan pada saat itu di Makkah tidak ada seorang pun, dan tidak ada air. Beliau meninggalkan keduanya, setelah meletakkan sebuah kantong yang berisi kurma dan tempat dari kulit yang berisi air. Kemudian Ibrahim melangkah pergi, lalu Hajar pun menyusulnya seraya bertanya: “Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi (apakah) engkau (akan) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang pun manusia dan tidak ada sesuatu pun?” Hajar terus-menerus menanyakan hal itu, dan Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Maka Hajar bertanya kembali: “Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?” “Ya,” jawab Ibrahim. Hajar pun berucap: “Kalau memang demikian, Dia tidak akan mengabaikan kami.”
Selanjutnya Hajar pun kembali, dan Ibrahim pun terus berjalan hingga ketika sampai di sebuah bukit, di mana mereka tidak melihatnya, beliau menghadapkan wajahnya ke Baitullah, lalu berdoa dengan beberapa doa, seraya mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan: “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki kepada mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Lalu Hajar menyusui Ismail dan meminum dari air tersebut, dan ketika air yang di dalam kantong itu sudah habis, ia pun merasa kehausan, demikian pula puteranya, maka dilihatnya putranya merengek-rengek kehausan. Kemudian ia pergi karena tidak tega melihatnya. Selanjutnya ia menemukan Shafa, gunung yang paling dekat dengannya, maka ia pun berdiri di atasnya, kemudian menghadap ke lembah sambil melihat-melihat, adakah seseorang, tetapi dia tidak melihat seorang pun. Setelah itu is turun dari Shafa, hingga ketika sampai di lembah, dia mengangkat ujung bajunya dan berusaha keras seperti orang yang berjuang mati-matian hingga berhasil melewati lembah, lalu mendatangi Marwah, kemudian berdiri di atasnya sembari melihat, apakah ada seseorang yang dapat dilihatnya? Tetapi dia tidak melihat seorang pun, hingga dia melakukan hal itu tujuh kali.”
Ibnu Abbas mengatakan, Nabi berkata: “Karena hal inilah orang-orang melakukan sa’i di antara keduanya (Shafa dan Marwah).”
Ketika mendekati Marwah, ia mendengar sebuah suara. Ia pun berkata, “Diam.” -maksudnya ditujukan pada dirinya sendiri-. Kemudian ia berusaha mendengar lagi hingga ia pun mendengarnya. Lalu ia berkata, “Engkau telah memperdengarkan. Adakah Engkau dapat menolong?” Tiba-tiba ia mendapatkan malaikat di tempat sumber air Zamzam. Kemudian malaikat itu menggali tanah dengan tumitnya, dalam riwayat lain dengan sayapnya, sehingga muncullah air. Selanjutnya ia membendung air dengan tangannya seperti ini. Ia menciduk dan memasukkan air itu ke tempatnya. Dan air itu terus mengalir deras setelah ia menciduknya.”
Ibnu Abbas mengatakan, Nabi bersabda: “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada ibunya Ismail, jika saja ia membiarkan Zamzam -atau Beliau bersabda: ‘Seandainya ia tidak menciduk airnya- niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.”
Lebih lanjut Ibnu Abbas mengatakan, kemudian ia meminum air itu dan menyusui anaknya. Lalu malaikat berkata kepadanya: “Janganlah engkau khawatir akan disia-siakan, karena di sini terdapat sebuah rumah Allah yang akan dibangun oleh anak ini dan bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menelantarkan penduduknya.
Rumah Allah itu posisinya lebih tinggi dari permukaan bumi, seperti sebuah anak bukit yang diterpa banjir sehingga mengikis bagian kiri dan kanannya. Kondisi ibu Ismail itu terus demikian, sampai sekelompok Bani Jurhum atau sebuah keluarga dari kalangan Bani Jurhum melewati mereka, datang melalui jalan Keda’. Kemudian mereka mendiami daerah Makkah yang paling bawah, lalu mereka melihat seekor burung berputar di angkasa. Dan mereka pun berkata: “Burung itu pasti sedang mengitari air, karena kita mengenal lembah ini tidak ada air.” Mereka pun mengutus satu atau dua orang utusan. Ternyata utusan itu menemukan air. Lalu mereka kembali dan memberitahukan perihal air tersebut. Maka mereka pun datang.
Ibnu Abbas selanjutnya menceritakan, Ibu Ismail ketika itu masih berada di sumber air itu. Maka mereka pun bertanya kepadanya: “Apakah engkau mengizinkan kami untuk singgah di sini?” “Ya, tetapi kalian tidak berhak atas air ini,” jawab ibu Ismail. Mereka pun menyahut: “Baiklah.” Kemudian lanjut Ibnu Abbas, Nabi pun bersabda: “Maka ibu Ismail menerima mereka, karena ia memerlukan teman.” Selanjutnya mereka pun singgah di sana dan mengirimkan utusan kepada keluarga mereka, hingga mereka juga datang dan menetap di sana bersama mereka, sehingga berdirilah beberapa rumah.
Akhirnya sang bayi (Ismail) pun tumbuh besar dan belajar bahasa Arab dari mereka serta menjadi seorang yang paling dihargai dan dikagumi, ketika menginjak usia remaja. Setelah dewasa mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Setelah itu, ibu Ismail meninggal dunia. Setelah Ismail menikah, Ibrahim pun datang untuk mencari keluarga yang dulu ditinggalkannya, tetapi is tidak menemukan Ismail di sana. Lalu Ibrahim menanyakan keberadaan Ismail kepada isterinya (menantu Ibrahim), maka isteri Ismail itu menjawab: la sedang pergi mencari nafkah untuk kami.”
Kemudian Ibrahim menanyakan perihal kehidupan dan keadaan mereka, maka isterinya itupun menjawab: “Kami berada dalam kondisi buruk, kami hidup dalam kesusahan dan kesulitan.” Ia mengeluh kepada Ibrahim. Maka Ibrahim pun berpesan: “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya agar merubah ambang pintunya.”
Ketika Ismail datang, seolah-olah ia merasakan sesuatu, kemudian bertanya: “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” “Ya, kami didatangi seorang yang sudah tua, begini dan begitu, lalu ia menanyakan kepada kami mengenai dirimu, dan aku memberitahukannya, selain itu ia pun menanyakan ihwal kehidupan kita di sini, maka aku pun menjawab bahwa di sini kita hidup dalam kesulitan dan kesusahan,” jawab isterinya. “Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?” tanya Ismail. Isterinya pun menjawab: “Ia menitipkan salam untuk aku sampaikan kepadamu dan menyuruhmu agar merubah ambang pintu rumahmu.”
Ismail pun berujar: “la adalah ayahku. la menyuruhku untuk menceraikanmu, karena itu kembalilah engkau kepada keluargamu.” Maka Ismail pun menceraikannya, lalu mengawini wanita lain dari Bani Jurhum.
Ibrahim tidak mengunjungi mereka selama beberapa waktu. Setelah itu Ibrahim mendatanginya, namun ia tidak juga mendapatinya. Kemudian ia menemui isterinya dan menanyakan perihal keadaan Ismail. Maka isterinya pun menjawab: “Ia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.” “Bagaimana keadaan dan kehidupan kalian?” tanya Ibrahim. Isteri Ismail menjawab: “Kami baik-baik saja dan berkecukupan.” Seraya memuji (bersyukur kepada) Allah swt. Kemudian Ibrahim bertanya: “Apa yang kalian makan?” Isteri Ismail menjawab: “Kami memakan daging.” “Apa yang kalian minum?” lanjut Ibrahim. Isteri Ismail menjawab: “Air.” Kemudian Ibrahim berdoa: “Ya Allah, berkatilah mereka pada daging dan air.”
Selanjutnya Nabi bersabda: “Pada saat itu, mereka belum mempunyai makanan berupa biji-bijian. Seandainya mereka memilikinya, niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya mereka diberikan berkah pada biji-bijian itu.”
Lebih lanjut Ibnu Abbas berkata, “Untuk di luar Makkah, tidak ada seorang pun sanggup hanya mengkonsumsi kedua jenis makanan itu saja.
Ibrahim berpesan: “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan suruh ia untuk memperkokoh ambang pintunya.” Ketika datang, Ismail bertanya: “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” Isterinya menjawab, “Ya, ada orang tua yang berpenampilan sangat bagus -seraya memuji Ibrahim- dan ia menanyakan kepadaku perihal dirimu, lalu kuberitahukan. Setelah itupun ia menanyakan perihal kehidupan kita. Maka kujawab bahwa kita baik-baik saja.” “Apakah ia berpesan sesuatu hal kepadamu?” tanya Ismail. Isterinya menjawab: “Ya, ia menyampaikan salam kepadamu dan menyuruhmu agar memperkokoh ambang pintu pintumu.”
Lalu Ismail berkata: “Ia adalah ayahku. Engkaulah ambang pintu yang dimaksud. la menyuruhku untuk tetap hidup rukun bersamamu.”
Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka selama beberapa waktu. Setelah itu, ia datang kembali, sedang Ismail tengah meraut anak panah di bawah pohon besar dekat sumur Zamzam. Ketika melihatnya, Ismail bangkit, hingga keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anak dengan ayahnya dan ayah dengan anaknya (jika bertemu). Ibrahim berkata: “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah memerintahkan sesuatu kepadaku.” “Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Rabb-mu itu,” sahut Ismail. Ibrahim pun bertanya: “Apakah engkau akan membantuku?” “Aku pasti akan membantumu,” jawab Ismail. Ibrahim bertutur: “Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membangun sebuah rumah di sini.” Seraya menunjuk ke anak bukit kecil yang lebih tinggi dari sekelilingnya.
Ibnu Abbas pun melanjutkan ceritanya, pada saat itulah keduanya meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mengangkat batu, sedang Ibrahim memasangnya. Hingga ketika bangunan itu sudah tinggi, dia datangkan sebuah batu, dan dia meletakkannya untuk dijadikan pijakan. Ibrahim pun berdiri di atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail menyodorkan batu kepadanya. Keduanya pun berdoa: rabbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim (“Ya Rabb kami, terimalah dari kami [amalan kami], sesungguhnya Engkaulah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”)
Ibnu Abbas meneruskan, maka keduanya terus membangun hingga keduanya menyelesaikan keseluruhan bangunan Baitullah, seraya keduanya berdoa: rabbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim (“Ya Rabb kami, terimalah dari kami [amalan kami], sesungguhnya Engkaulah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.”)
Al-Bukhari berkata, firman Allah: wa idz yarfa’u ibraaHiimul qowaa-‘ida minal baiti wa ismaa’iila (“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail.”) “alqawaa’idu” berarti landasan, jamak dari “qaa’idatun”, sedang “qowaa’idu minan naasi” (perempuan-perempuan yang sudah menopause) adalah jamak dari “qaa’idun”
Dari ‘Aisyah ra. istri Rasulullah saw. bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Tidakkah engkau menyaksikan bahwa kaummu ketika membangun Baitullah telah mengurangi pondasi bangunan Ibrahim.” Lalu aku (Aisyah) tanyakan: “Ya Rasulullah, apakah engkau tidak mengembalikannya ke pondasi (yang dibangun oleh) Ibrahim?” Beliau menjawab: “Seandainya kaummu itu bukan orang-orang yang baru saja melepaskan kekafirannya, (pasti aku akan melakukannya).”
Kemudian Abdullah bin Umar berkata: “Jika benar Aisyah mendengar itu langsung dari Rasulullah, tentu aku tidak melihat Rasulullah meninggalkan menyentuh dua rukun yang berada setelah hijir, hanya saja bangunan Ka’bah tidak sempurna menurut asas bangunan Ibrahim as.” (HR al-Bukhari dalam Kitab haji, dari Qa’nabi, Muslim dan an-Nasa’i)
Muslim pun meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda, “Seandainya kaummu itu tidak baru saja mengalami masa jahiliyah [atau beliau mengatakan: kekufuran] niscaya aku akan menginfakkan simpanan Ka’bah di jalan Allah, dan akan aku jadikan pintunya sejajar dengan tanah, dan aku memasukkan ke dalamnya hijir (hijir Ismail).”
Bukhari meriwayatkan dari al-Aswad, katanya, Ibnu Zubair pernah berkata kepadaku, “Aisyah menyampaikan berita rahasia kepadamu, lalu apa yang disampaikannya kepadamu mengenai Ka’bah?” Al-Aswad menjawab: “Aisyah pernah bercerita, Nabi pernah bersabda: “Ya Aisyah, kalau seandainya kaummu itu tidak berdekatan dengan masa mereka (Jahiliyah) -Ibnu Zubair mengatakan, dengan kekufuran- niscaya aku akan merobohkan Ka’bah, lalu kubuatkan dua pintu untuknya, satu pintu sebagai jalan masuk bagi orang-orang, dan pintu lainnya menjadi jalan keluar mereka.” Maka Ibnu Zubair pun mengerjakannya. (HR. Al-Bukhari).
Dalam kitab Shahih Muslim, diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahuanHa, katanya Rasulullah bersabda kepadaku: “Seandainya kaummu itu tidak baru saja melepaskan kekufurannya, maka aku pasti akan membongkar Ka’bah dan akan aku bangun sesuai dengan pondasi Ibrahim. Sesungguhnya orang-orang Quraisy ketika membangun Baitullah ini telah mengurangi pondasinya, dan aku juga akan membuatkan untuknya pintu keluar.” (HR. Muslim)
Masih menurut Imam Muslim, ia menceritakan, Muhammad bin Hatim memberitahuku dari Sa’id bin Mina’, ia bercerita, aku mendengar Abdullah bin Zubair, ia menuturkan, bibiku, yakni Aisyah radhiallahu anha, pernah memberitahuku, bahwa Rasulullah bersabda: “Ya Aisyah, seandainya kaummu itu tidak baru saja lepas dari kemusyrikan, niscaya aku akan robohkan Ka’bah, lalu aku dekatkan ke tanah, dan kubuatkan untuknya satu pintu menghadap ke timur dan satu pintu lainnya menghadap ke barat, lalu akan kutambahkan enam hasta dari hijir Ismail. Karena kaum Quraisy telah menguranginya ketika membangun Ka’bah tersebut.” (HR. Muslim).
Kisah orang-orang Quraisy membangun Ka’bah beberapa lama setelah meninggalnya Ibrahim dan Lima tahun sebelum diutusnya Rasulullah saw.
Ketika Rasulullah berusia tiga puluh lima tahun, beliau ikut memindahkan batu bersama orang-orang Quraisy.
Dalam kitab as-Siirah, Muhammad bin Ishak bin Yasar menceritakan, ketika Rasulullah berusia tiga puluh lima tahun, orang-orang Quraisy berkumpul untuk merenovasi Ka’bah. Mereka ingin melakukan hal itu untuk memberikan atap pada bangunan Ka’bah tersebut. Sementara mereka takut merobohkannya. Padahal bangunannya ketika itu hanya berupa tumpukan batu yang sedikit lebih tinggi dari ukuran orang sedang berdiri. Lalu mereka bermaksud untuk meninggikannya dan memberinya atap. Hal itu mereka lakukan, karena ada beberapa orang yang mencuri simpanan Ka’bah yang berada di dalam sebuah sumur di dalam Ka’bah. Harta simpanan Ka’bah itu ditemukan pada Duwaik maula Bani Malih bin Amr dari Kabilah Khuza’ah, maka orang-orang Quraisy memotong tangannya.
Pada saat yang sama ada sebuah kapal milik seorang pedagang dari Romawi terdampar di Jeddah. Kayu-kayunya pun mereka ambil untuk dijadikan atap Ka’bah. Dan ketika itu, di Makkah terdapat seorang tukang kayu dari suku Qibti yang menyediakan berbagai keperluan yang mereka butuhkan untuk memperbaiki Ka’bah.
Selanjutnya, kata Muhammad bin Ishak, beberapa kabilah Quraisy mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Masing-masing kabilah mengumpulkan batu-batu itu untuk mereka masing-masing, lalu mereka membangunnya. Ketika bangunan itu sampai pada bagian rukun, yaitu Hajar Aswad, terjadilah pertengkaran di antara mereka. Masing-masing kabilah ingin mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya. Sampai akhimya mereka berdebat, saling adu mulut, dan bahkan bersiap untuk perang.
Kemudian Banu Abdiddar mendekatkan mangkuk besar yang berisi darah, lalu mereka dan Banu `Adi bin Ka’ab bin Lu’ay berjanji setia untuk mati, dan memasukkan tangan mereka ke dalam darah yang berada di dalam mangkuk besar tersebut, dan mereka menamainya dengan sebutan “la’natuddam”.
Orang-orang Quraisy pun menunggu selama empat atau lima malam. Selanjutnya mereka berkumpul di masjid untuk memusyawarahkan dan menyelesaikan persoalan itu secara adil.
Sebagian perawi mengatakan bahwa Abu Umayyah bin al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum, yang saat iu adalah orang tertua di antara orang-orang Quraisy mengatakan: “Hai sekalian kaum Quraisy, serahkanlah persoalan yang kalian perselisihkan itu kepada orang yang pertama masuk dari pintu masjid ini, untuk selanjutnya memberikan keputusan di antara kalian.”
Maka mereka pun melakukannya, dan ternyata orang yang pertama kali masuk adalah Rasulullah saw. Ketika melihat Rasulullah saw, mereka pun berkata, “Inilah al-Amin (orang yang terpercaya), kami menyetujui Muhammad ini.”
Setelah beliau bertemu mereka dan mereka pun menceritakannya kepada beliau, maka Rasulullah bersabda: “Ambillah sehelai kain untukku.” Kemudian beliau dibawakan sehelai kain. Selanjutnya beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkan Hajar Aswad pada kain itu dengan tangannya. Dan setelah itu beliau berujar, “Hendaklah setiap kabilah memegang sisi kain, lalu angkatlah secara bersamaan.”
Mereka pun melakukannya sehingga ketika sampai pada tempatnya, Rasulullah meletakkan Hajar Aswad dengan tangannya sendiri pada tempatnya semula. Setelah itu beliau membangun di atasnya. Sebelum diturunkan wahyu, orang-orang Quraisy menyebut Rasulullah dengan sebutan “al-Amin”, kemudian mereka meneruskan pembangunan Ka’bah seperti yang mereka kehendaki.
Selanjutnya Muhammad bin Ishak menceritakan, pada masa Rasulullah Ka’bah itu berukuran delapan belas dzira’ (pasta), dan ditutupi dengan kain katun dari Mesir, kemudian setelah itu dengan kain wool hitam, dan yang pertama kali menutupinya dengan kain sutera adalah al-Hajjaj bin Yusuf.
Berkenaan dengan hal tersebut penulis (Ibnu Katsir) katakan, bangunan Ka’bah itu tetap seperti yang dibangun oleh orang-orang Quraisy hingga terbakar pada awal kepemimpinan Abdullah bin Zubair, setelah tahun 60 H. Dan pada akhir pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah, ketika mereka mengepung Ibnu Zubair, maka pada saat itu, Ibnu Zubair merobohkan Ka’bah ke tanah dan membangunnya kembali di atas pondasi yang dulu dibuat oleh Ibrahim as. Ibnu Zubair memasukkan hijir (hijir Ismail) ke dalam bangunan Ka’bah dan membuatkan pintu Ka’bah pada bagian timur dan bagian barat yang bersentuhan dengan tanah. Sebagaimana hal itu didengarnya dari bibinya, Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu ‘anha, dari Nabi saw.
Bangunan Ka’bah masih tetap demikian selama masa kepemimpinannya hingga akhirnya ia dibunuh oleh al-Hajjaj. Lalu ia mengembalikan Ka’bah itu ke bentuk semula atas perintah Abdul Malik bin Marwan. Tetapi setelah Ka’bah berada dalam keadaan seperti itu, maka sebagian ulama memakruhkan untuk dirubah dari kedaan itu. Sebagaimana disebutkan dari Amirul Mukminin, Harun ar-Rasyid atau ayahnya al-Mahdi, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Imam Malik mengenai perobohan Ka’bah dan pembangunannya kembali seperti apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Zubair.
Maka imam Malik pun menjawab: “Ya Amirul Mukminin, janganlah engkau menjadikan Ka’bah Allah itu sebagai permainan para penguasa, tidak seorang pun yang bermaksud merobohkannya, melainkan Dia pasti merobohkannya.” Akhirnya, Harun al-Rasyid tidak melakukan hal tersebut.
Hal itu dinukil oleh Iyadh dan an-Nawawi. Dan -wallahu a’lam- Ka’bah itu masih terus seperti itu hingga akhir zaman hingga dirusak oleh Dzu Suwaiqatain dari Habasyah (Ethiopia). Sebagaimana hal itu telah ditegaskan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Ka’bah itu akan dihancurkan oleh Dzus-Suwaiqatain dari Habasyah atau Ethiopia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda: “Seolah-olah aku mengenalnya seperti orang berkulit hitam dan berkaki pengkor yang melepas batu Ka’bah satu persatu.” (HR. Al-Bukhari)
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad, dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, katanya, aku pemah mendengar Rasulullah bersabda: “Ka’bah akan dirusak oleh Dzus-Suwaiqatain dari Habasyah (Ethopia), dicopotinya perhiasan Ka’bah, dan dilepas kiswahnya (penutupnya). Seolah-olah aku menyaksikan Dzus-Suwaiqatain itu seorang berbadan kecil, botak, lagi berkaki pengkor. Ia menghantam Ka’bah dengan sekop dan linggisnya.” (HR. Imam Ahmad)
Hal ini terjadi [wallahu a’lam] setelah Ya’juj dan Ma’juj keluar, berdasarkan riwayat dalam kitab Shahih Bukhari, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia menceritakan, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Baitullah ini tetap akan dijadikan tempat menunaikan ibadah haji dan umrah setelah keluarnya Ya’juj dan Ma’juj.” (HR. Al-Bukhari)
Firman Allah yang menceritakan doa Ibrahim dan Ismail: rabbanaa waj’alnaa muslimainilaka wa min dzurriyyatinaa ummatam muslimal laka wa arinaa manaasikanaa wa tub ‘alainaa innaka antat tawwaabur rahiim (“Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu dan tunjudkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadab haji kami, serta terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yangMahamenerima taubat lagi Maha-penyayang.”)
Ibnu Jarir mengemukakan, maksud mereka berdua adalah, “Ya Allah, jadikanlah kami orang yang patuh kepada penintah-Mu, tunduk mentaati-Mu, serta tidak menyekutukan-Mu dengan seorang pun di dalam ketaatan dan ibadah kami.”
Dan mengenai firman Allah Ta’ala: waj’alnaa muslimainilaka (“Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Mu,”) Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdul Karim, ia mengatakan, “(Artinya), tulus ikhlas karena-Mu.”
wa min dzurriyyatinaa ummatam muslimal laka (“Dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu,”) ia mengatakan, “Artinya, umat yang tulus ikhlas.”
Ia juga meriwayatkan dari Ali bin Husain, dari Salam bin Abi Muthi’i, mengenai firman-Nya: waj’alnaa muslimaini (“Dan jadikanlah kami berdua orang-orang yang tunduk patuh,”) ia mengatakan: “Keduanya telah menjadi hamba yang tunduk patuh, tetapi dalam hal itu mereka meminta keteguhan.”
Mengenai firman-Nya: wa min dzurriyyatinaa ummatam muslimal laka (“Dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu,”) as-Suddi mengatakan, “Yang mereka maksudkan adalah bangsa Arab.”
Sedangkan Ibnu Jarir mengemukakan: “Yang benar, mereka itu mencakup bangsa Arab dan selain mereka karena Bani Israil juga termasuk keturunan Ibrahim.” Sebagaimana yang telah Allah Ta’ala firmankan yang artinya:
“Dan di antara kaum Musa itu terdapat satu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak dan dengan yang hak itu mereka menjalankan keadilan.” (QS. Al-A’raaf: 159)
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis katakan, bahwa apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini tidak menafikan pendapat as-Suddi karena pengkhususan bagi mereka (Bangsa Arab) di dalam do’a Ibrahim dan Ismail itu tidak menafikan bagi orang-orang selain berdo’a: “Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. “Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Muhammad kepada mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: Huwal ladzii ba’atsa fil ummiyyiina minHum (“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri.”) (QS. Al Jumu’ ah: 2)
Namun demikian, hal itu tidak menafikan bahwa Nabi Muhammad juga diutus kepada orang-orang berkulit merah atau hitam, sebagaimana firman-Nya: qul yaa ayyuHan naasu innii rasuulullaaHi ilaikum (“Katakanlah: ‘Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku adalah rasul Allah bagi kalian semua.’”) (QS. Al-A’raaf: 158)
Dan juga dalil-dalil qath’i (pasti) lainnya.
Dan inilah do’a yang dipanjatkan oleh Ibrahim dan Ismail sebagaimana yang diberitahukan Allah, mengenai hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan beriman melalui firman-Nya: “Dan orang-orang yang mengatakan: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada Kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Hal ini sangat dianjurkan secara syari’at, karena di antara kesempurnaan cinta pada ibadah kepada Allah Ta’ala adalah keinginan agar keturunannya juga beribadah kepada Allah semata dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Oleh karena itu, Allah Ta`ala berfirman kepada Ibrahim as. “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh umat manusia.” (Baqarah: 124). Ibrahim berkata: “Dan saya mohon juga dari keturunanku. ” Dia juga berfirman: “janji-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang yang zhalim. ” (QS. A1-Baqarah: 124).
Karena itu Nabi Ibrahim berdo’a: wajnabnii wa baniyya an na’budal ashnaam (“Dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala.” (QS: Ibrahim: 35)
Dan dalam kitab Shahih Muslim, hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda: “Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah yang mengalir terus pahalanya, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa arinaa manaasikanaa (“Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.”) Ibnu Juraij menceritakan, dari Atha’, ia mengatakan, “(Artinya), perlihatkanlah dan ajarkanlah hal itu kepada kami.”
Masih mengenai firman-Nya itu, wa arinaa manaasikanaa (“Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.”) Mujahid mengatakan, “(Artinya), tempat-tempat penyembelihan kurban kami.”
Abu Daud ath-Thayalisi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Sesungguhnya ketika diperlihatkan kepada Ibrahim beberapa perintah dalam ibadah haji, lalu ia dihalangi oleh syaitan pada saat berada di tempat Sa’i, lalu syaitan itu dikalahkan oleh Ibrahim. Kemudian Jibril berangkat bersamanya dan sampai di Mina, Jibril berkata kepadanya: “Ini adalah tempat berkumpulnya manusia.” Dan ketika tiba di Jumratul Aqabah, ia kembali dihalang-halangi oleh syaitan, lalu ia melemparnya dengan tujuh batu kecil hingga akhirnya pergi. Kemudian Ibrahim dibawa ke Jumratul Wustha, dan ia pun dihalangi oleh syaitan lalu ia melemparnya dengan tujuh batu kecil hingga akhirnya syaitan itu pergi. Dan pada saat dibawa ke Jumratul Qushwa, lalu dihalangi pula oleh syaitan, maka ia melemparnya dengan tujuh batu kecil sehingga pergi. Kemudian Jibril membawa Ibrahim mendatangi tempat berkumpul (Muzdalifah). Jibril berkata: “Ini adalah Masy’arul Haram.” Setelah itu ia dibawa lagi oleh Jibril ke Arafah. Jibril berkata: “Inilah Arafah,” lalu Jibril bertanya: “Apakah engkau sudah mengetahui semua itu?.”


EmoticonEmoticon