Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 232

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 232“Apabila kamu menalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah Mahamengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 232)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seseorang yang menalak istrinya dengan talak satu atau dua, kemudian istrinya menjalani iddahnya hingga selesai. Setelah itu terfikir olehnya keinginan untuk menikahi dan merujuknya kembali. Maka si wanita itu pun mau menerima, tetapi para walinya melarang hal itu. Lalu Allah Ta’ala melarang mereka menghalang-halanginya. Hal yang sama juga diriwayatkan al-Aufi, dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas pula.
Demikian juga yang dikatakan Masruq, Ibrahim an-Nakha’i, az-Zuhri,dan adh-Dhahhak, bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut. Dan mereka pun berkata: “Inilah dhahir (makna yang tampak jelas) dari ayat tersebut.”
Dalam ayat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahwa, seorang wanita tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus ada wali baginya dalam pernikahan. Sebagaimana yang dikatakan at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir berkenaan dengan ayat ini. Seperti yang terkandung dalam hadits berikut ini: “Seseorang wanita tidak dapat menikahkan wanita lain, dan tidak pula menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya wanita pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri. (Diriwayatkan Imam Ibnu Majah dan Daruquthni dengan syarat Syaikhani (Al-Bukharidan Muslim).
Dalam hadits yang lain juga disebutkan: “Tidak ada nikah melainkan dengan seorang wali, yang dapat memberi petunjuk, dan dua saksi yang adil.” (Diriwayatkan Imam Abu Daud dan Imam Tirmidzi dengan sanad Hasan. Juga diriwayatkan Imam Ahmad dan syaikhani dengan lafadz keduanya).
Ada juga yang meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ma’qil bin Yasar al-Muzni dan saudara puterinya. Al-Bukhari meriwayatkan dari al-Hasan bahwa saudara puteri Ma’qil bin Yasar telah dicerai oleh suaminya, lalu ia meninggalkannya hingga isterinya itu menyelesaikan masa iddahnya, kemudian ia melamarnya kembali, tetapi Ma’qil bin Yasar menolaknya. Maka turunlah ayat: falaa ta’dluluuHunna ay yankihna azwaajaHunna (“Maka janganlah kamu [para wali] menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya.”)
Demikianlah yang diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dan hadits tersebut dishahihkan oleh Tirmidzi, dan lafadznya berasal dari Ma’qil bin Yasar, bahwasanya ia pernah menikahkan saudara perempuannya dengan seseorang dari kalangan kaum muslimin pada masa Rasulullah saw. Maka hiduplah ia bersama suaminya itu, lalu ia menceraikannya dengan talak satu, dan ia tidak merujuknya kembali hingga wanita itu menyelesaikan iddahnya. Tetapi suaminya itu ternyata masih mencintainya, dan si wanita pun masih mencintai bekas suaminya, kemudian ia melamarnya kembali.
Ma’qil pun berkata kepadanya: “Hai si dungu anak orang dungu, aku telah menghormatimu dan menikahkanmu dengannya, tetapi engkau malah me-ceraikannya. Demi Allah, ia tidak akan pernah kembali kepadamu untuk selamanya hingga akhir hayatmu.” Dan Allah mengetahui hajat laki-laki pada mantan isterinya tersebut dan hajat wanita itu pada mantan suaminya. Maka Dia pun menurunkan firman-Nya: wa idzaa thallaqatumun nisaa-a fabalaghna ajalaHunna falaa ta’dluluuHunna ay yankihna azwaajaHunna idzaa taraadlau baina bainaHum bil ma’ruufi dzaalika yuu’adhubiHii man kaana minkum yu’minu billaaHi wal yaumil aakhiri dzaalika azkaa lakum wa athHaru wallaaHu ya’lamu wa antum laa ta’lamuun.
Maka ketika Ma’qil bin Yasar mendengarnya, maka ia pun berkata: “Aku mendengar dan menaati Rabbku.” Setelah itu Ma’qil memanggil laki-laki tersebut seraya berkata: “Aku nikahkan engkau kembali dan aku hormati engkau.” Sedangkan Ibnu Mardawaih menambahkan: “Dan aku akan membayar kafarat atas sumpah yang telah kuucapkan.” Wallahu a’lam.
Dan firman Allah: dzaalika yuu’adhubiHii man kaana minkum yu’minu billaaHi wal yaumil aakhiri (“Itulah yang dinasihatkan kepada orang orang yang beriman di antara kamu kepadaAllah dan hari akhir.”) Maksudnya, inilah yang Kami (Allah) larang, yaitu tindakan para wali menghalangi pernikahan wanita dengan calon suaminya, jika masing-masing dari keduanya sudah saling meridhai dengan cara yang ma’ruf, hendaknya ditaati, diperhatikan dan diikuti.
Man kaana minkum (“Kepada orang-orang di antara kamu,”) hai sekalian manusia, yu’minu billaaHi wal yaumil aakhiri (“Yang beriman kepada Allah dan hari akhir.”) Artinya, beriman kepada syari’at Allah, takut akan ancaman dan adzab AllahTa’ala di akhirat kelak serta mengimani akan adanya pahala di sana.
Dzaalikum azkaalakum wa ath-Haru (“Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih suci.”) Maksudnya ketaatan kalian pada syari’at Allah, dengan mengembalikan wanita yang ada (ikatan) perwaliannya (denganmu) kepada mantan suaminya dan tidak menghalanginya adalah lebih baik bagi kalian dan lebih suci bagi hati kalian.
wallaaHu ya’lamu (“Allah Mahamengetahui.”) Yaitu kebaikan yang terdapat dalam perintah dan larangan-Nya. Wa antum laa ta’lamuun (“Sedang kamu tidak mengetahui.”) Yakni kebaikan yang terdapat pada apa yang kalian kerjakan dan tinggalkan.


EmoticonEmoticon