Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikanmu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. (QS. Ali ‘Imraan: 149) Tetapi (ikutilah Allah) ,Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik penolong. (QS. Ali ‘Imraan:150) Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah Neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim”. (QS. Ali ‘Imraan: 151) Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya, sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antaramu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkanmu dari mereka untuk mengujimu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkanmu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (QS. Ali ‘Imraan: 152) (Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggilmu, karena itu Allah menimpakan atasmu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari padamu danterhadap apa yang menimpamu. Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imraan: 153)
Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar tidak mentaati orang-orang kafir dan orang-orang munafik, karena ketaatan kepada mereka akan menyebabkan kebinasaan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, Allah berfirman: in tuthii’ul ladziina kafaruu yarudduukum ‘alaa a’qaabikum fatanqalibuu khaasiriin (“Jika kamu mentaati orang-orang kafir, niscaya mereka mengembalikanmu ke belakang [kepada kekafiran], lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.”)
Setelah itu Allah memerintahkan mereka agar mentaati-Nya, berwala, memohon pertolongan, serta bertawakkal kepada-Nya. Di mana dalam hal ini Allah berfirman: balillaaHu maulaakum wa Huwa khairun naashiriin (“Tetapi [ikutilah Allah]. Allah adalah pelindungmu dan Dia-lah sebaik-baik penolong.”)
Selanjutnya, Allah menyampaikan berita gembira kepada mereka bahwa Allah, akan memasukkan ke dalam hati musuh-musuh mereka rasa takut terhadap kaum muslimin dan menghinakan mereka disebabkan oleh ke-kufuran dan kemusyrikan mereka, serta merendahkan mereka dengan adzab dan siksa di akhirat.
Allah berfirman yang artinya: “Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang hal itu. Tempat kembali mereka adalah Neraka. Dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim.”
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim terdapat riwayat dari Jabir bin ‘Abdillah, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Telah diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku; Aku ditolong (dimenangkan) dengan diberikannya rasa takut pada musuh dalam jarak perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sujud) dan penyuci, dihalalkan bagiku harta rampasan perang, aku diberi hak syafa’at, dan Nabi selainku diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada umat manusia secara keseluruhan.”
Firman-Nya: wa laqad shadaqa kumullaaHu wa’daHuu idz tahussuunaHum bi idzniHi (“Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya.”) Ibnu ‘Abbas berkata: Allah menjanjikan kemenangan kepada mereka. Oleh karena itu Allah berfirman, wa laqad shadaqa kumullaaHu wa’daHuu (“sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu.”) Yaitu pada permulaan Siang hari, idz tahussuunaHum bi idzniHi (“Ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya.”) Yakni dengan pemberian kekuasaan kepada kalian atas diri mereka. hattaa idzaa fasyiltum (“Sampai pada saat kamu lemah.”)Ibnu juraij berkata dari Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa al-fasyal berarti pengecut.
Wa tanaaza’tum fil amri wa ‘ashaitum (“Dan berselisih dalam urusan itu serta mendurhakai perintah [Rasul].”) Seperti yang terjadi pada regu pemanah. Mim ba’di maa araakum maa tuhibbuun (“Sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai.”) Yaitu kemenangan atas mereka. minkum may yuriidud dun-yaa (“Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia.”) Mereka itu adalah orang-orang yang hanya ingin mengejar harta rampasan ketika mereka melihat kekalahan kaum musyrikin. Wa minkum may yuriidul aakhirata tsumma sharafakum ‘anHum liyab-taliyakum (“Dan di antara kamu ada juga orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk mengujimu.”) Setelah itu, Allah memenangkan mereka atas kalian untuk menguji kalian. Wa laqad ‘afaa ‘ankum (“Dan sesungguhnya Allah telah memaafkanmu.”) Yakni memberikan ampunan kepada kalian atas tindakan tersebut. Hal itu, wallahu a’lam, karena banyaknya jumlah musuh dan perlengkapannya serta sedikitnya jumlah kaum muslimin dan perlengkapannya. wallaaHu dzuu fadl-lin ‘alal mu’miniin (“Dan Allah mempunyai karunia [yang dilimpahkan] atas orang-orang yang beriman.”)
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari al-Barra’, ia berkata: “Pada hari itu kami bertemu dengan orang-orang musyrik. Dan Nabi menempatkan pasukan pemanah serta menunjuk ‘Abdullah bin Jubair untuk memimpin mereka, beliau pun bersabda: ‘Kalian jangan sampai beranjak dari posisi kalian. Jika kalian melihat kami lebih unggul dari mereka, maka jangan sekali-kali beranjak. Dan jika kalian melihat mereka lebih unggul dari kami, maka janganlah pula kalian membantu kami.’ Maka tatkala kami berhadapan dengan mereka, mereka (kaum musyrik) lari tunggang langgang hingga aku menyaksikan para wanita berlarian menaiki gunung sambil mengangkat kain mereka Sampai betis, sehingga nampaklah gelang-gelang di kaki mereka, ketika itu orang-orang berteriak: ‘Ghanimah, ghanimah (harta rampasan),’ maka ‘Abdullah bin Jubair pun berkata: ‘Nabi telah mengambil janji kepadaku agar kalian tidak meninggalkan posisi kalian.’ Namun mereka membangkang dan mereka memalingkan wajah mereka (kepada ghanimah), maka terjadilah serangan balik terhadap kaum muslimin, sehingga terbunuhlah sebanyak 70 orang.
Kemudian Abu Sufyan mendekat seraya berteriak: ‘Apakah di antara kalian ada Muhammad?’ Nabi pun menyampaikan: ‘Janganlah kalian menjawabnya.’ Abu Sufyan berseru lagi: ‘Apakah di antara kalian terdapat Ibnu Abi Quhafah?’ Nabi bersabda: ‘Janganlah kalian menjawabnya.’ Abu Sufyan terus berteriak: ‘Apakah di antara kaum ini terdapat ‘Umar bin al-Khaththab?’ Lebih lanjut, Abu Sufyan berseru: ‘Ternyata mereka semua telah terbunuh, seandainya mereka masih hidup, niscaya mereka akan menjawab.’ Mendengar hal itu, Umar tidak dapat menahan diri dan berkata: ‘Wahai musuh Allah, kamu bohong. Mudah-mudahan Allah mengekalkan apa yang dapat mendatangkan kesedihan bagimu.’ Kemudian Abu Sufyan berteriak: ‘Hidup Hubal dan agunglah dia.’ Maka Nabi bersabda: ‘Berikan jawaban kepadanya.’ Para Sahabat bertanya: ‘Apa yang harus kami katakan?’ Beliau menjawab: ‘Katakanlah bahwa Allah Mahatinggi dan Mahaagung.’ Selanjutnya Abu Sufyan berseru: ‘Kami memiliki ‘Uzza sedangkan kalian tidak.’ Kemudian Nabi bersabda: ‘Berikan jawaban kepadanya.’ ‘Dengan apa kami harus menjawab,’ tanya para Sahabat. Beliau menuturkan: ‘Katakanlah, Allah adalah pelindung kami sedangkan kalian tidak mempunyai pelindung.’ Abu Sufyan melanjutkan: Peristiwa ini sebagai balasan atas peristiwa perang Badar. Perang itu bergilir. Kalian akan dicincang dengan cara yang mengerikan, tetapi aku tidak memerintahkannya sekalipun hal itu tidak menyedihkanku.”‘
As-Suddi mengatakan dari ‘Abdul Khair dari ‘Ali bin ‘Abdillah bin Mas’ud, ia berkata: “Aku tidak menyangka bila ada seseorang dari Sahabat Rasulullah yang menghendaki dunia. Sehingga turun kepada kami ayat yang menceritakan tentang perang Uhud: minkum may yuriidud dun-yaa wa minkum may yuriidul aakhirata (“antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada juga orang yang menghendaki akhirat.”)
Demikianlah telah diriwayatkan melalui beberapa sumber dari Ibnu Mas’ud. Demikian juga yang diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Aus dan Abu Thalhah. Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Mardawaih dalam Tafsirnya.
Firman-Nya: tsumma sharafakum ‘anHum liyab-taliyakum (“Kemudian Allah memalingkan mudarat mereka untuk mengujimu,”) Muhammad bin Ishaq berkata: “Telah menceritakan kepadaku al-Qasim bin ‘Abdurrahman bin Rafi’i, salah seorang dari Bani ‘Adi bin Najjar, ia berkata, Anas bin Nadhr, paman Anas bin Malik pernah menghadap ‘Umar bin al-Khaththab dan Thalhah bin ‘Ubaidillah yang tengah berada di antara kaum Muhajirin dan Anshar, yang mereka telah mencampakkan apa yang di tangan mereka (yaitu pedang-pedang mereka), maka ia bertanya:Apa yang menjadikan kalian bersedih?’ Mereka menjawab: ‘Terbunuhnya Rasulullah.’ Ia bertanya kembali: ‘Lalu apa yang kalian akan lakukan dengan kehidupan ini setelah beliau wafat? Bangkit dan gugurlah kalian sebagaimana beliau wafat.’ Setelah itu, orang-orang berangkat dan berperang sehingga Anas bin Nadhr wafat terbunuh.”‘
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa pamannya, Anas bin Nadhr berkata: “Aku tidak ikut dalam perang pertama Nabi seandainya Allah menyertakanku bersama Rasulullah, niscaya Allah akan melihat apa yang aku lakukan secara bersungguh-sungguh.” Kemudian ia hadir dalam peristiwa perang Uhud, maka ketika orang-orang pun kalah, maka ia (Anas bin Nadhr) berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon maaf kepada-Mu atas apa yang mereka (kaum muslimin) lakukan. Dan aku melepaskan diri kepada-Mu atas apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik.” Setelah itu ia segera maju ke barisan depan dengan membawa pedangnya, lalu bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz: “Hai Sa’ad, sesungguhnya aku telah mencium bau Surga di balik Uhud.” Lalu ia terus maju bertempur hingga terbunuh. Tidak ada yang mengenali mayatnya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya melalui tahi lalat atau ujung jarinya. Pada tubuhnya terdapat delapan puluh tikaman, bekas pukulan dan tusukan anak panah.
Demikian menurut lafazh dari Imam al-Bukhari, juga diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Bahwa Imam al-Bukhari meriwayatkan pula dari ‘Utsman bin Mauhib, ia berkata bahwa ada seseorang yang datang untuk mengerjakan ibadah haji, lalu ia melihat sekelompok orang sedang duduk-duduk, kemudian ia berkata: “Siapakah mereka yang duduk-duduk itu?” Mereka menjawab: “Mereka adalah kaum Quraisy.” Siapa yang tua itu?” tanyanya. Mereka menjawab: “Ibnu Umar.” Setelah itu ia langsung mendatanginya (Ibnu ‘Umar) seraya berkata: “Aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu, beritahukanlah kepadaku sebuah hadits.” la bertutur: “Tanyalah.” Dia bertanya: “Aku bersumpah atas kesucian rumah ini (Ka’bah), tidakkah engkau mengetahui bahwa ‘Utsman bin ‘Affan pernah melarikan diri pada perang Uhud?” “Ya,” jawabnya. Ia bertanya lagi: “Engkau juga mengetahui bahwa ‘Utsman tidak ikut serta dalam perang Badar dan tidak menyaksikannya?” “Ya” jawabnya. Ia bertanya lagi: “Bukankah engkau juga mengetahui bahwa ‘Utsman juga tertinggal Bai’atur Ridhwan serta tidak ikut menyaksikannya ?” la pun menjawab, “Ya.” Setelah itu Ibnu ‘Umar bertakbir seraya mengatakan: “Kemarilah, akan aku beritahukan dan terangkan kepadamu mengenai apa yang engkau tanyakan kepadaku. Mengenai larinya ‘Utsman pada perang Uhud, aku bersaksi bahwa Allah telah memaafkannya. Dan mengenai ketidak hadirannya pada perang Badar, karena pada waktu itu ia sedang merawat isterinya, yaitu puteri Rasulullah yang sedang sakit. Dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau mendapatkan pahala dan bagian orang yang ikut dalam perang Badar.” Sedangkan ketidak hadirannya pada waktu Bai’atur Ridhwan, maka seandainya ada seseorang di kota Makkah ini yang lebih mulia dari ‘Utsman, niscaya beliau akan mengutusnya menggantikan kedudukan’Utsman. Maka beliau mengutus Utsman, maka terjadilah Bai’atur Ridhwan, setelah kepergian ‘Utsman ke Makkah. Kemudian Nabi bersabda dengan mengangkat tangan kanannya: “Inilah tangan ‘Utsman.” Setelah itu beliau (Ibnu ‘Umar) menepukkan tangan (kiri) beliau ke tangan kanannya seraya bertutur: “Inilah tangan ‘Utsman dan pergilah sekarang dengan membawa fakta ini bersamamu.”
Diriwayatkan pula oleh Imam al-Bukhari dari jalur yang lain dari Abu Awanah dari’Utsman bin ‘Abdullah bin Mauhib.
Firman-Nya, idz tush-‘iduuna walaa talwuuna ‘alaa ahadin (“Ingatlah ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seorang pun.”) Artinya, berpalingnya kalian dari mereka ketika kalian naik gunung untuk menjauhi musuh-musuh kalian. walaa talwuuna ‘alaa ahadin (“Dan tidak menoleh kepada seorang pun.”) Maksudnya, kalian tidak menoleh kepada seorang pun karena perasaan takut yang mencekam.
War rasuulu yad’uukum fii ukhraakum (“Sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggilmu.”) Maksudnya, padahal Rasulullah yang kalian langgar perintahnya berada di belakang kalian, menyeru kalian agar tidak lari dari musuh-musuh dan mengajak untuk kembali dan melakukan balasan.
As-Suddi berkata: “Ketika orang-orang musyrik tampil demikian kuat mengalahkan orang-orang Islam pada waktu perang Uhud, maka pada saat itu kaum muslimin ada yang masuk kota Madinah dan sebagian yang lainnya ada yang lari ke gunung di atas batu cadas.” Kemudian Rasulullah berseru kepada semua orang: ‘Wahai hamba-hamba Allah, kembalilah bersamaku, kembalilah bersamaku, wahai hamba-hamba Allah. Maka Allah pun menyebutkan naiknya mereka ke gunung seraya berfirman: idz tush-‘iduuna walaa talwuuna ‘alaa ahadin War rasuulu yad’uukum fii ukhraakum (“Ingatlah ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seorang pun, seorang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggilmu.”)
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan ar-Rabi’bin Anas, serta Ibnu Zaid.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim, ia berkata: “Aku melihat tangan Thalhah menjadi cacat disebabkan ia melindungi Rasulullah pada waktu perang Uhud.”
Sedangkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Mu’tamar bin Sulaiman, dari ayahnya, dari Abu ‘Utsman an-Nahdi, di mana ia berkata, “Tidak ada seorang pun yang tetap bersama Rasulullah saw. pada beberapa hari terjadinya perang Uhud, kecuali Thalhah bin ‘Ubaidillah dan Sa’ad.
Al-Hasan bin ‘Arafah meriwayatkan dari Hisyam bin Hisyam az-Zuhri, ia berkata, aku pernah mendengar Sa’id bin al-Musayyab berkata, aku pernah mendengar Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: “Rasulullah mengeluarkan tempat anak panahnya untukku pada hari perang Uhud, lalu beliau bersabda: Panahlah, tebusanmu adalah ayah dan ibuku.” Dikeluarkan pula oleh Imam al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Muhammad dari Marwan bin Mu’awiyah.
Muhammad bin Ishaq berkata, dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwasanya ia pernah melepaskan anak panah pada waktu perang Uhud di belakang Rasulullah. Sa’ad bin abi Waqqash berkata: “Aku menyaksikan Rasulullah mengulurkan anak panah kepadaku seraya berkata: ‘Panahlah, tebusanmu adalah ayah dan ibuku.’ Sampai beliau memberikan anak panah kepadaku yang tidak bermata, lalu aku memanahkannya juga.”
Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ibrahim bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dari ayahnya, ia berkata: “Pada waktu perang Uhud, aku melihat di sebelah kanan dan kiri Rasulullah terdapat dua orang yang memakai pakaian putih berperang bersamanya dengan sungguh-sungguh. Aku tidak pernah melihat keduanya sebelum dan setelah hari itu.” Kedua orang itu adalah Malaikat Jibril dan Mikail. Hamad bin Salamah meriwayatkan dari ‘Ali bin Zaid dan Tsabit dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah di saat sendiri pada perang Uhud, beliau dilindungi oleh tujuh orang dari kaum Anshar dan dua orang Quraisy. Ketika musuh kian mendekat, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang bisa menghalau mereka dari kami, maka baginya Surga, atau ia akan menjadi temanku di Surga.” Maka seseorang dari kaum Anshar maju dan melakukan penyerangan hingga akhirnya wafat. Musuh masih terus mendekati beliau, maka beliau pun menyampaikan: “Siapa yang bisa menghalau mereka dari kami, maka baginya Surga.” Kemudian seorang dari kaum Anshar maju dan melawan mereka, hingga akhirnya is wafat juga. Begitu seterusnya hingga ketujuh orang Anshar tersebut tewas semuanya. Lalu Rasulullah bersabda kepada kedua orang Sahabatnya yang masih hidup itu: “Kita tidak berlaku adil terhadap para Sahabat kita (lantaran semua yang maju adalah orang Anshar).”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hudbah bin Khalid dari Hamad bin Salamah seperti ini juga.
Abul Aswad meriwayatkan, dari ‘Urwah bin az-Zubair, ia berkata, Ubay bin Khalaf, saudara Bani Jumah ketika berada di kota Makkah pernah bersumpah untuk membunuh Rasulullah. Ketika aku sampaikan sumpahnya itu kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda: “Bahkan aku yang akan membunuhnya, insya Allah.”
Maka ketika terjadi perang Uhud, dengan memakai baju besi, Ubay bin Khalaf berangkat seraya berkata: “Aku tidak akan selamat jika Muhammad masih selamat.” Selanjutnya ia menuju Rasulullah untuk membunuhnya. Kemudian Mush’ab bin ‘Umair, saudara Bani ‘Abdud Daar menghadangnya untuk melindungi Rasulullah. Namun Mush’ab bin ‘Umair tewas. Dan Rasulullah melihat tenggorokan Ubay bin Khalaf dari sela-sela antara baju besi dan topi besinya, lalu beliau menusuk dia dengan tombak kecilnya hingga ia terjatuh dari kudanya. Dari tusukannya itu tidak mengeluarkan darah sedikit pun, lalu rekan-rekannya mendatangi dan membawanya. Ketika itu Ubay bin Khalaf menguak seperti suara sapi, maka rekan-rekannya itu berkata kepadanya: “Apa yang menjadikanmu mengerang, padahal hanya goresan semata?” Kemudian ia menyebutkan ucapan Rasulullah kepada mereka: “Aku yang akan membunuh Ubay.” Lebih lanjut, Ubay mengatakan: “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya apa yang menimpaku ini menimpa penduduk Dzul Majaz, niscaya mereka akan mati semua.” Setelah itu ia meninggal dan menuju ke Neraka. Fa suhqal li ash-haabis sa-‘iir (“Maka kebinasaanlah bagi penghuni Neraka yang menyala-nyala.”) (QS. Al-Mulk: 11)
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Hammam bin Munabbih, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Allah sangat murka kepada kaum yang berani melakukan hal seperti itu kepada Rasulullah. Ketika itu beliau sambil menunjuk ke gigi seri beliau. Dan sangatlah berat murka Allah terhadap orang yang dibunuh oleh Rasulullah dalam perang di jalan Allah.”
Al-Waqidi berkata: “Yang ditegaskan kepada kami adalah, bahwa yang melukai pipi Rasulullah adalah Ibnu Qami-ah. Sedangkan yang merobek bibir dan mematahkan gigi serinya adalah ‘Utbah bin Abi Waqqash.”
Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim telah disebutkan sebuah hadits dari jalan ‘Abdul’Aziz bin Abi Hazim, dari ayahnya, dari Sahl bin Sa’ad, bahwasanya ia pernah ditanya mengenai luka Rasulullah, maka ia menjawab: “Wajah beliau terluka, gigi serinya rontok dan ada bagian kepalanya yang memar. Fathimah putri Rasulullah yang membersihkan darahnya. Sementara itu ‘Ali bin Abi Thalib yang menyiramkan air dengan (dari) sebuah bejana. Ketika Fathimah melihat, ternyata air hanya menambah darah semakin banyak mengucur, maka ia segera mengambil sehelai tikar lalu membakarnya hingga menjadi abu. Setelah itu Fathimah menaburkan abu tersebut pada luka beliau sehingga darahnya berhenti mengalir.”
Dan firman-Nya, fa atsaabakum bighammam bighammin (“Karena itu Allah menimpakan atasmu kesedihan atas kesedihan.”) Artinya, Allah memberikan balasan kepada kalian berupa kesedihan di atas kesedihan.
Ibnu Jarir berkata: “Demikian pula makna yang terkandung pada firman Allah: wa la-ushallibannakum fii judzuu’in nakhl (‘Dan sesungguhnya aku akan menyalibmu pada pangkal pohon kurma.’)” (QS. Thaahaa: 71), yakni di atas pohon kurma.”
Sedangkan Ibnu ‘Abbas berkata: “Kesedihan pertama disebabkan oleh kekalahan serta ketika dikatakan bahwa Muhammad sudah terbunuh. Dan kesedihan kedua adalah ketika orang-orang musyrik berada di atas mereka di gunung. Dan Rasulullah berdo’a: ‘Ya Allah, tidak ada hak bagi mereka untuk menjadi lebih tinggi dari kami.”‘
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf: “Kesedihan pertama disebabkan oleh kekalahan. Dan kesedihan kedua ketika dikatakan bahwa Muhammad telah terbunuh, karena hal itu lebih menyedihkan mereka daripada kekalahan.”
Kedua hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih. Hal senada juga diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab. Ibnu Abi Hatim juga menyebutkan hal yang sama dari Qatadah.
Mengenai firman Allah: fa atsaabakum bighammam bighammin (“Karena itu Allah menimpakan atasmu kesedihan atas kesedihan,”) Muhammad bin Ishaq berkata: “Yakni kesusahan di atas kesusahan, karena banyak dari para Sahabat kalian yang terbunuh, sedangkan musuh-musuh kalian semakin menguasai daerah yang lebih tinggi dari kalian. Selain itu, kesedihan kalian juga disebabkan adanya berita bahwa Muhammad telah terbunuh. Semuanya itu menyebabkan kalian sedih dan semakin sedih.” Dan dari Qatadah serta ar- Rabi’ bin Anas diriwayatkan dengan urutan sebaliknya.
Sedangkan as-Suddi berkata: “Pertama, lepasnya kemenangan dan ghanimah dari mereka. Kedua, pengawasan musuh terhadap mereka.” Perkataan ini telah dikemukakan as-Suddi sebelumnya.
Menurut Ibnu Jarir, di antara pendapat-pendapat di atas yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa arti firman-Nya, fa atsaabakum bighammam bighammin (“Karena itu Allah menimpakan atasmu kesedihan atas kesedihan,”) maka Allah menimpakan terhadap kegembiraan kalian hai orang-orang yang beriman, dengan diharamkannya ghanimah orang-orang musyrik kepada kalian, dan diharamkannya kemenangan dan pertolongan terhadap mereka. Dan musibah yang menimpa kalian, terbunuh dan lukanya pada hari itu terjadi setelah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai dengan sebab kedurhakaan kalian akan perintah Rabb kalian dan penyelisihan kalian akan perintah Nabi kalian, juga kesedihan karena prasangka kalian bahwa Nabi kalian telah dibunuh disamping desakan musuh terhadap kalian dan posisi mereka yang lebih tinggi terhadap kalian.
Firman-Nya, li kailaa tahzanuu ‘alaa maa faatakum (“Supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput darimu.”) Yaitu lepasnya ghanimah dari kalian dan kemenangan atas musuh kalian. Walaa maa ashaabakum (“Dan terhadap apa yang menimpamu.”) Yakni yang berupa luka dan kematian. Demikian dikatakan Ibnu Abbas, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, al-Hasan, Qatadah dan as-Suddi. Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan. wallaaHu khabiirum bimaa ta’maluun (“Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan”) “Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, yang tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi selain Dia, yang Mahaagung lagi Mahatinggi.
EmoticonEmoticon