Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
“Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepadamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari padamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliyyah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada dirumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Mahamengetahui segala isi hati. (QS. Ali ‘Imraan: 154) Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya AllahMahapengampun lagi Mahapenyantun.” (QS. Ali ‘Imraan: 155)
Allah berfirman, bahwa Dia menganugerahkan ketenangan dan keamanan kepada hamba-hambanya, yaitu berupa kantuk yang menghinggapi mereka ketika mereka masih memanggul senjata, pada saat di mana mereka masih bersedih dan berduka. Rasa kantuk dalam kondisi demikian itu menciptakan rasa aman. Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surat al-Anfaal berkenaan kisah perang Badar.
Idz yughasysyii kumunnaasa amanatam minHum (“Tatkala kantuk menghinggapi kamu sebagai rasa aman dari-Nya.”) (QS. Al=Anfaal: 11)
Idz yughasysyii kumunnaasa amanatam minHum (“Tatkala kantuk menghinggapi kamu sebagai rasa aman dari-Nya.”) (QS. Al=Anfaal: 11)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Rasa kantuk dalam peperangan itu dari Allah, sedangkan dalam shalat berasal dari syaitan.”
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Thalhah, ia berkata, aku termasuk salah seorang yang dihinggapi rasa kantuk pada peristiwa perang Uhud sehingga pedangku terjatuh dari tanganku berkali-kali, jatuh dan kuambil, jatuh dan kuambil lagi.
Demikian yang diriwayatkan dalam kitab al-Maghazi secara mu’allaq dan juga diriwayatkan dalam kitab Tafsir dengan disandarkan kepada Syaibah, Qatadah, Anas dan Abu Thalhah.
Dan telah diriwayatkan pula oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan al-Hakim. Sedangkan golongan lainnya adalah orang-orang munafik yang merupakan kaum yang paling pengecut, penakut dan tidak mau menerima kebenaran. Yadhunnuuna billaaHi ghairal haqqi dhannal jaaHiliyyati (“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyyah.”) Artinya, mereka ini tidak lain adalah orang-orang yang penuh keraguan terhadap Allah swt.
Sedangkan firman-Nya: tsumma anzala ‘alaikum mim ba’dil ghammi amanatan nu’aasay yaghsya thaa-ifatam minkuum (“Kemudian setelah kamu berduka cita, Allah menurunkan kepadamu keamanan [berupa] kantuk yang meliputi segolongan dari padamu.”) Yakni orang-orang yang penuh keimanan, keyakinan, keteguhan dan tawakkal yang sungguh-sungguh. Dan mereka benar-benar yakin bahwa Allah akan menolong Rasul-Nya dan mengabulkan permohonannya.
Oleh karena itu Allah berfirman, wa thaa-ifatun qad aHammatHum anfusuHum (“Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri.”) Yaitu, golongan ini tidak dihinggapi rasa kantuk (yang melindungi mereka) dari kecemasan, kegelisahan dan ketakutan. Yadhunnuuna billaaHi ghairal haqqi dhannal jaaHiliyyati (“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyyah.”) Hal itu seperti yang difirmankan-Nya dalam ayat yang lain, bal dhanantum al lay yanqalibar rasuulu wal mu’minuuna ilaa aHliHim abadan…. (“Tapi, kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang yang beriman tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka untuk selamanya…. [hingga akhir ayat]”) (QS. Al-Fath: 12)
Demikianlah golongan orang-orang munafik tersebut, ketika orang-orang musyrik bermunculan pada saat itu, mereka berkeyakinan bahwa saat itu merupakan kemenangan bagi mereka, sedangkan Islam beserta pemeluknya telah binasa. Itulah keadaan orang-orang yang diliputi keraguan jika mereka menghadapi suatu masalah dan mereka mempunyai sangkaan-sangkaan yang jelek.
Selanjutnya Allah memberitahukan bahwa mereka, yaquuluuna (“berkata”) pada saat itu, Hal lanaa minal amri min syai-in (“Apakah ada bagi kita barang sesuatu [hak campur tangan] dalam urusan ini?”)
Maka Allah berfirman, qul innal amra kullaHuu lillaaHi yukhfuuna fii anfusiHim maa laa yubduuna laka (“Katakanlah, ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah. ‘Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu.”)
Setelah itu Allah menerangkan apa yang mereka sembunyikan dalam diri mereka itu melalui firman-Nya: yaquuluuna lau lau kaana lanaa minal amri syai-um maa qutilnaa HaaHunaa (“Mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatui [hak campur tangan] dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’”) Artinya, mereka menyembunyikan perkataan ini dari Rasulullah saw.
Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari ‘Abdullah bin az-Zubair, ia berkata, aku sedang bersama Rasulullah ketika kami dihinggapi rasa takut yang mencekam dan aku menyaksikan Allah mengirimkan rasa kantuk kepada kami sehingga tidak ada seorang pun di antara kami melainkan dagunya terkulai jatuh di dadanya. Az-Zubair berkata, “Demi Allah, aku mendegar apa yang dikatakan Mu’tab bin Qusyair. Dan aku tidak mendengamya melainkan seperti impian.” Mu’tab mengatakan, yaquuluuna lau lau kaana lanaa minal amri syai-um maa qutilnaa HaaHunaa (“Sekira-nya ada bagi kita barang sesuatu [hak campur tangan] dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh [dikalahkan] di sini.”) Lalu aku menghafalnya, sehubungan dengan hal itu Allah menurunkan firman-Nya, yaquuluuna lau lau kaana lanaa minal amri syai-um maa qutilnaa HaaHunaa (“Mereka berkata, ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu [hak campur tangan] dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh dikalahkan di sini.”‘) Karena perkataan Mu’tab. Hadits ini di-riwayatkan Ibnu Abi Hatim.
Allah berfirman, qul lau kuntum fii buyuutikum labarazal ladziina kutiba ‘alaiHimul qatlu ilaa ma-dlaaji-‘iHim (“Katakanlah, ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar [juga] ke tempat mereka terbunuh.’”) Artinya, yang demikian itu telah ditakdirkan oleh Allah, merupakan ketetapan yang pasti yang tidak akan dapat dihindari dan melepaskan diri darinya.
Firman-Nya, wa liyab-taliyallaaHu maa fii shuduurikum wa liyumahhisha maa fii quluubikum (“Dan Allah [berbuat demikian] untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.”) Maksudnya, Allah menguji kalian melalui apa yang terjadi pada kalian guna membedakan yang buruk dari yang baik serta memperjelas keadaan orang-orang yang beriman dari orang-orang munafik kepada umat manusia, baik dalam ucapan maupun tindakan mereka. wallaaHu ‘aliimum bidzaatish shuduur (“Allah Mahamengetahui isi hati.”) Yakni, rahasia yang terdapat dalam dada dan hati mereka.
Setelah itu Allah berfirman: innal ladziina tawallau minkum yauumal taqal jam-‘aani innamas tazallaHumusy syaithaanu bi ba’dli maa kasabuu (“Orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat [pada masa lampau].”) Maksudnya, disebabkan oleh sebagian dosa mereka yang terdahulu. Sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama salaf, “Sesungguhnya di antara balasan kebaikan adalah terjadinya kebaikan sesudahnya. Dan balasan keburukan adalah terjadinya keburukan sesudahnya.”
Selanjutnya Allah berfirman: wa laqad ‘afallaaHu ‘anHum (“Dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka.”) yaitu, tindakan melarikan diri yang pernah mereka lakukan. innallaaHa ghafuurun haliim (“Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyantun.”) Maksudnya, Allah mengampuni dosa, menyantuni semua makhluk-Nya, serta memaafkan kesalahan mereka.
Mengenai hal ini telah dikemukakan hadits dari Ibnu ‘Umar yang membahas mengenai keadaan ‘Utsman dan berpalingnya (larinya ia) pada waktu perang Uhud. Di mana Allah telah memberikan maaf kepadanya beserta orang-orang yang diberikan maaf oleh-Nya. Yaitu dalam firman-Nya, laqad ‘afaa ‘ankum (“Dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu.”) (QS. Ali-Imran: 152)
EmoticonEmoticon