Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakangpunggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima. (QS. Ali ‘Imraan: 187). Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih. (QS. Ali ‘Imraan: 188). Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi: dan Allah Maha- kuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali ‘Imraan: 189)
Yang demikian itu merupakan teguran sekaligus ancaman Allah terhadap Ahlul Kitab, di mana Allah telah mengambil perjanjian terhadap mereka melalui lisan para Nabi, yaitu janji agar mereka beriman kepada Muhammad saw. dan agar menjelaskannya kepada umat manusia. Sehingga keadaaan mereka siap menerima perintahnya, supaya apabila Allah mengutus Muhammad mereka pun mengikutinya. Namun mereka menyembunyikan hal itu dan mengganti apa yang pernah mereka janjikan berupa kebaikan di dunia dan di akhirat dengan sesuatu yang sangat sedikit, serta hal duniawi yang sangat murah. Maka seburuk-buruk sifat adalah sifat mereka, dan seburuk-buruk bai’at adalah bai’at mereka.
Dan dalam hal itu terdapat peringatan bagi para ulama agar jangan mengikuti jejak mereka, sehingga tidak menimpa apa yang telah menimpa mereka. Para ulama hendaknya mengajarkan apa yang ada pada mereka dari ilmu yang bermanfaat yang dapat menunjukkan kepada amal shalih dan tidak menyembunyikan ilmu barang sedikitpun.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari beberapa sumber yang berbeda, dari Nabi saw. Beliau pernah bersabda: “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari Kiamat kelak ia akan dimasukkan tali kekang kedalam mulutnya dengan kekang dari api.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan sanad hasan)
Firman-Nya, laa tahsabannal ladziina yaf-rahuuna bimaa ataw watuhibbuuna ay yuhmaduu bimaa lam yaf’aluu (“Janganlah sekali-sekali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan.”) Yakni orang-orang yang suka berbuat riya’, yang ingin dinilai lebih dengan apa-apa yang mereka tidak perbuat.
Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengaku-ngaku dengan pengakuan dusta supaya memperoleh penilaian lebih yang tidak ada pada dininya, maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kekurangan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Masih dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, beliau bersabda: “Orang yang ingin dinilai lebih dengan apa yang tidak ada pada dirinya, adalah seperti orang yang memakai dua pakaian palsu.”
Imam Ahmad meriwayatkan, Hajjaj telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Juraij, Ibnu Abi Mulaikah memberitahukan kepadaku bahwa Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah memberitahukan kepadanya, bahwa Marwan pernah mengatakan kepada pengawalnya, “Wahai Rafi’, pergilah kepada Ibnu ‘Abbas, dan katakan, jika setiap orang dari kami merasa senang dengan apa yang dilakukannya dan suka mendapat pujian atas sesuatu perbuatan yang tidak dikerjakannya, kemudian kami mendapat siksaan, maka niscaya semua orang akan kena siksa.” Maka Ibnu ‘Abbas menyahut, “Apa yang kalian maksudkan dengan ini? Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan Ahlul Kitab.”
Setelah itu Ibnu ‘Abbas membacakan ayat ini [yang artinya], “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya. Lalu mereka melemparkan janji itu kebelakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amat buruk tukaran yang mereka terima. Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan.”
Ibnu ‘Abbas berkata, Nabi saw. pernah bertanya kepada mereka mengenai sesuatu, lalu mereka menyembunyikannya dari beliau, dan memberi-tahukan kepada beliau sesuatu hal yang lain. Setelah itu mereka pun pergi dan mengklaim bahwa mereka telah memberitahukan apa yang ditanyakan Nabi saw. Selanjutnya mereka meminta pujian kepada beliau atas apa yang dilakukannya itu, serta mereka merasa gembira atas apa yang mereka sembunyikan kepada Nabi.
Demikian itulah hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam kitab tafsirnya, Imam Muslim, Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i dalam tafsirnya, Ibnu Abi Hakim, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ibnu Mardawaih, yang semuanya berasal dari hadits ‘Abdul Malik bin Juraij.
Hal yang sama juga diriwayatkan Imam al-Bukhari dari hadits Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Alqamah bin Waqqash, bahwa Marwan pernah mengatakan kepada penjaganya, “Ya Rafi’, pergilah kepada Ibnu ‘Abbas. Lalu ia menyebutkan hadits di atas.”
Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa pada masa Rasulullah ada beberapa orang munafik, yang jika Rasulullah berangkat perang, mereka enggan menyertai beliau dan merasa gembira dengan ketidak ikutsertaan mereka bersama beliau. Dan ketika Rasulullah datang dari perang, mereka mencari-cari alasan untuk disampaikan kepada beliau, mereka pun bersumpah, serta mereka suka mendapatkan pujian atas suatu hal yang tidak mereka lakukan, maka turunlah ayat ini: laa tahsabannal ladziina yaf-rahuuna bimaa ataw watuhibbuuna ay yuhmaduu bimaa lam yaf’aluu (“Janganlah sekali-sekali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan.”)
Hadits yang sama juga diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu AbiMaryam.
Dan firman-Nya: falaa tahsabannaHum bimafaazatim minal ‘adzaab (“Janganlah kamu me-nyangka bahwa mereka terlepas dari siksa.”) Artinya, janganlah kalian mengira bahwa mereka akan selamat dari siksa, bahkan mereka pasti mendapatkan siksa.
Oleh karena itu Allah berfirman, wa laHum ‘adzaabun aliim (“Dan bagi mereka siksa yang pedih.”)
Setelah itu Allah berfirman: wa lillaaHi mulkus samaawaati wal ardli wallaaHu ‘alaa kulli syai-in qadiir (“Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”) Artinya, Allah adalah pemilik segala sesuatu dan berkuasa untuk berbuat segala sesuatu sehingga tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya. Karena itu, janganlah kalian menentang-Nya dan hindarilah kemurkaan dan laknat-Nya. Karena Allah adalah Rabb yang Mahaagung yang tidak adasesuatu pun yang lebih agung dari-Nya dan Mahakuasa yang tiada sesuatu pun yang lebih berkuasa dari diri-Nya.
EmoticonEmoticon