Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 234

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 234“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)
Ini merupakan perintah Allah bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu hendaklah mereka menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Dan menurut ketetapan ijma’, ketentuan itu berlaku bagi isteri yang sudah dicampuri maupun yang belum dicampuri.
Yang menjadi sandaran berlakunya ketentuan ini bagi wanita yang belum dicampuri adalah pengertian umum dari ayat dan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan para penulis buku as-Sunan, dan yang dishahihkan oleh Imam at-Tirmidzi: Bahwasanya Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu ia meninggal sebelum sempat bercampur dengannya dan belum menyerahkan kepadanya mahar yang menjadi kewajibannya. Kemudian orang-orang berulang kali datang untuk mempertanyakan hal itu kepadanya. Maka Ibnu Masud berkata: “Aku akan jawab berdasarkan pendapatku sendiri, jika benar maka demikian berasal dari Allah, dan jika salah maka hal itu berasal dari diriku sendiri dan syaitan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya terlepas dari kesalahan tersebut. Yaitu, wanita itu berhak menerima mahar secara penuh.”
Sedangkan dalam lafazh yang lain juga di-katakan: “Baginya mahar seperti yang diberikan kepada wanita semisalnya. Tidak boleh kurang atau lebih, serta berlaku pula baginya iddah dan menerima waris.” Kemudian Ma’qil bin Yasar al-Asyja’i berdiri seraya berujar: “Aku pernah mendengar Rasulullah memutuskan masalah Buru’ binti Wasyiq dengan ketentuan tersebut.” Mendengar hal itu, Abdullah bin Mas’ud pun gembira sekali.
Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, maka orang-orang dari kabilah Asyja’ berdiri seraya berucap, “Kami bersaksi bahwa Rasulullah memutuskan demikian dalam kasus Buru’ bin Wasyiq.” Tidak dikecualikan dari ketentuan tersebut selain isteri yang ditinggal mati suaminya ketika ia sedang hamil. Maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Hal itu didasarkan pada keumuman firman Allah Ta’ala: “Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddahnya mereka itu adalah sampai mereka melahirkan.” (QS. Ath-Thalaq: 4).
Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat, bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil harus menunggu dalam masa yang lebih panjang dari dua macam masa iddah yaitu; antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari. Hal itu didasarkan pada pemaduan antara kedua ayat diatas. Yang demikian itu merupakan pendapat yang baik dan kuat yang diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari Subai’ah al-Aslamiyah yang disebutkan dalam Kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) dari beberapa jalan: “Bahwa Subai’ah ditinggal mati suaminya yang bernama Sa’ad bin Khaulah sedang ia dalam keadaan hamil. Dan tidak lama setelah suaminya meninggal, ia pun melahirkan.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan, maka ia pun melahirkan beberapa malam setelah suaminya meninggal. Setelah nifasnya mengering ia pun berdandan untuk menyambut pelamar. Maka datanglah Abu Sanabil bin Ba’kak menemuinya dan berkata kepadanya, “Aku melihat engkau berdandan ap amungkin engkau berkeinginan untuk menikah? Demi Allah, engkau tidak boleh menikah sebelum empat bulan sepuluh hari berlalu.” Subai’ah berkata: “Setelah Abu Sanabil mengatakan hal itu kepadaku, maka sore harinya aku langsung mengemasi pakaianku dan kemudian pergi menemui Rasulullah dan kutanyakan hal itu kepada beliau, maka beliau memberikan fatwa kepada-ku bahwa aku boleh menikah sejak aku melahirkan. Dan beliau menyuruhku menikah, jika aku mau.”
Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan, telah diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas telah (meralat pendapatnya dan) kembali kepada hadits Subai’ah, ketika ia disanggah dengan hadits ini. Yang membuktikan kebenaran hal ini ialah bahwa para sahabat pun memberikan fatwa dengan hadits Subai’ah, sebagaimana yangmenjadi pendapat para ulama.
Dalam hal ini dikecualikan bagi isteri yang berasal dari budak, di mana iddah budak wanita itu setengah dari iddahnya wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari. Demikian menurut pendapat jumhur ulama, karena ia mendapat ketentuan setengah dari wanita merdeka dalam perkara yang menyangkut had (hukum pidana), maka dalam iddah pun ia mendapatkan ketentuan setengah pula.
Thawus dan Qatadah mengemukakan: “Iddah seorang ibu (dari kalangan budak) yang ditinggal mati tuannya adalah setengah dari iddah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari.”
Sedangkan Abu Hanifah dan Para sahabatnya, ats-Tsauri, al-Hasan bin Shalih bin Huyay mengatakan: “Ia harus menjalani iddah dengan tiga kali haid.”
Yang demikian itu juga merupakan pendapat All, Ibnu Mas’ud, Atha’, Ibrahim an-Nakha’i. Sedangkan Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat: “Iddahnya adalah satu kali haid.” Pendapat terakhir ini juga dikemukakan oleh Ibnu Umar, asy-Sya’bi, Makhul, al-Laits, Abu Ubaid, Abu Tsaur, dan jumhur ulama.
Al-Laits mengatakan: “Seandainya suaminya meninggal, sedang ia dalam keadaan haid, maka cukup baginya haid itu sebagai iddah.” Imam Malik mengemukakan: “Jika ia termasuk wanita yang tidak mengalami haid, maka iddahnya tiga bulan.” Sedangkan Imam Syafi’i dan jumhurul ulama mengatakan: “Tiga bulan lebih aku sukai.” Wallahu a’lam.
Firman Allah Ta’ala: fa idzaa balaghna ajalaHunna falaa junaaha ‘alaikum fiimaa fa’alna fii anfusiHinna bilma’ruufi wallaaHu bimaa ta’maluuna khabiir (“Kemudian apabila telah habis niasa iddahnya, maka tiada dosa bagi kamu [para wali] membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka sendiri menurut apa yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan.”) Dari penggalan ayat ini dapat disimpulkan keharusan berkabung bagi isteri yang ditinggal mati suaminya selama menjalani masa iddahnya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain melalui beberapa jalan, dari Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy, Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah bersabda:
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas seseorang yang meninggal dunia melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, (maka berkabungnya adalah selama) empat bulan sepuluh hari.”
Dan dalam kitab Shahihain juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwasanya ada seorang wanita yang berkata: “‘Ya Rasulallah, sesungguhnya puteriku ditinggal mati suaminya, hingga matanya bengkak, apakah kami boleh memakaikan celak pada matanya?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Setiap pertanyaan, beliau jawab “tidak” dua kali atau tiga kali. Setelah itu beliau bersabda: “Sesungguhnya masa berkabungnya adalah empat bulan sepuluh hari. Dulu, seorang di antara kalian ada pada masa jahiliyah, mengurung diri (mengalami masa iddahnya) selama satu tahun.'”
Bertolak dari hal tersebut di atas, banyak dari kalangan para ulama yang berpendapat bahwa ayat ini berkedudukan sebagai penasakh (penghapus) hukum ayat setelahnya, yaitu firman-Nya yang artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).” (QS. Al-Baqarah: 240).
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan ulama lainnya. Namun hal ini perlu ditinjau kembali sebagaimana yang akan dikemukakan selanjutnya. Yang dimaksud dengan berkabung adalah meninggalkan berhias dengan wangi-wangian dan memakai pakaian dan perhiasan atau hal lainnya yang menunjukkan pada keinginan menikah. Yang demikian itu telah disepakati sebagai suatu hal yang wajib dalam iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, dan tidak wajib bagi wanita yang ditalak raj’i. Lalu apakah hal itu wajib bagi iddah wanita yang ditalak ba’in. Mengenai yang terakhir ini terdapat dua pendapat. Diharuskan berkabung bagi semua wanita yang ditinggal mati suaminya, baik itu wanita masih kecil atau sudah tua, wanita merdeka atau budak, muslimah maupun kafir. Hal itu berdasarkan pada keumuman ayat di atas.
Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan para sahabatnya mengatakan: “Tidak ada kewajiban bagi wanita kafir untuk berkabung.” Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Asyhab dan Ibnu Nafi’ salah seorang sahabat Malik. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah: “Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas seorang_yang meninggal dunia melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.”
Mereka mengatakan bahwa dalam hal ini, berkabung bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dijadikan sebagai suatu ibadah. Imam Abu Hanifah dan ats-Tsauri mengecualikan wanita yang masih kecil karena tidak adanya taklif baginya, Abu Hanifah serta para sahabatnya memasukkan ke dalam pengertian ini, budak wanita muslimah karena kekurangan yang ada padanya. Ketentuan semua ini terdapat dalarn buku-buku masalah hukum dan furu’ (cabang).
Dan firman Allah: fa idzaa balaghna ajalaHunna (“Kemudian apabila telah habis masa iddanya.”) Maksudnya, jika ia telah menyelesaikan masa iddahnya. Demikian dikatakan oleh adh-Dhahhak dan Rabi’ bin Anas.
Falaa junaaha ‘alaikum (“Maka tiada dosa bagi kamu.”) Mengenai firman Allah Ta’ala tersebut, az-Zuhri mengatakan: “Yaitu para wali mereka.”
Fiimaa fa’alna fii anfusiHinna (“Membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka sendiri,”) yaitu para wanita yang telah menyelesaikan masa iddahnya. Alwani menceritakan dari Ibnu Abbas, jika seorang wanita dicerai atau ditinggal mati suaminya, dan telah menyelesaikan masa iddahnya, maka tidak ada dosa baginya untuk berhias, berdandan, serta menampilkan diri untuk dipinang. Dan itulah yang ma’ruf (patut). Hal senada juga telah diriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan.
Masih mengenai firman Allah: falaa junaaha ‘alaikum fiimaa fa’alna fii anfusiHinna (“Maka tiada dosa bagi kamu [parawali] membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka sendiri menurut yang patut,”) Ibnu Juraij menceritakan dari Mujahid, ia mengatakan, “Yaitu pernikahan yang halal dan baik.” Hal yang sama juga diriwayatkan dari al-Hasan, az-Zuhri, dan as-Suddi.


EmoticonEmoticon