Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: ‘Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (BaitulMaqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ Katakanlah: ‘Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.’ (QS. Al-Baqarah: 142) Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)! menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agarKami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Mahapengasih lagi Mahapenyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah: 143)
Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan sufaHaa’ di sini adalah orang-orang musyrik Arab. Demikian dikemukakan az-Zajaaj. Ada juga yang mengatakan, “Yaitu para pendeta Yahudi,” demikian kata Mujahid. Sedangkan as-Suddi mengemukakan, “Yang dimaksudkan adalah orang-orang munafik.” Namun, ayat tersebut umum mencakup mereka secara keseluruhan. Wallahu aalam.
Imam al-Bukhari meriwayatkan, dari al-Barra’ , bahwa Rasulullah mengerjakan shalat dengan berkiblat ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Dan beliau senang jika kiblatnya mengarah ke Baitullah.
Shalat yang pertama kali beliau kerjakan dengan menghadap Ka’bah adalah shalat Ashar. Beberapa orang ikut mengerjakan shalat bersama beliau. Kemudian salah seorang yang ikut mengerjakan shalat itu keluar, lalu ia melewati orang-orang yang sedang mengerjakan shalat di masjid dalam keadaan ruku’. Maka ia pun berkata: “Demi Allah, aku telah mengerjakan shalat bersama Nabi dengan menghadap Makkah.” Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah. Dan ada orang-orang yang meninggal lebih awal sebelum kiblat dirubah ke Baitullah, yaitu beberapa orang yang terbunuh (dalam perang), maka kami tidak tahu bagaimana pendapat kami mengenai mereka. Maka pada saat itu Allah; menurunkan firman-Nya: wa maa kaanallaaHu liyudlii’a iimaanakum innallaaHa binnaasi lara-uufur rahiim (“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Mahapengasih lagi Mahapenyayang kepada manusia.”) (Diriwayatkan Imam al-Bukhari sendiri dengan lafaz di atas)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dari jalan yang berbeda. Muhammad bin Ishak meriwayatkan, dari al Barra’, bahwa Rasulullah pernah mengerjakan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis dan beliau banyak mengarahkan pandangan ke langit menunggu perintah Allah Ta’ala.
Maka Allah Ta’ala pun menurunkan:
“Sesungguhnya Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.” (QS. Al-Baqarah: 144)
“Sesungguhnya Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.” (QS. Al-Baqarah: 144)
Lalu beberapa orang dari kalangan kaum muslimin mengatakan, “Kami ingin andaikata diberitahukan kepada kami mengenai orang-orang yang telah meninggal dunia dari kami sebelum kami menghadap ke kiblat (Ka’bah) dan bagaimana dengan shalat yang pernah kami kerjakan dengan menghadap ke Baitul Maqdis?” Maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: : wa maa kaanallaaHu liyudlii’a iimaanakum (“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian”.)
Orang-orang yang kurang akalnya, yaitu Ahlul Kitab menanyakan, “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblat yang sebelumnya (Baitul Maqdis)?” lalu Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya:
Sayuquulus sufaHaa-u minan naasi maa wallaa Hum ‘an qiblatiHimul latii kaanuu ‘alaiHaa qul lillaaHi masy-riqu wal maghribu yaHdii may yasyaa-u ilaa shiraathim mustaqiim (“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata : ‘Apakah yang memalingkan mereka [umat Islam] dari kiblatnya [Baitul Maqdis] yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ Katakanlah : ‘Kepunyaan Allah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.’”)
Selanjutnya Allah berfirman: qul lillaaHi masy-riqu wal maghribu yaHdii may yasyaa-u ilaa shiraathim mustaqiim (“Katakanlah, kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, Allah Ta’ala memerintahkannya untuk menghadap ke Baitul Maqdis, maka senanglah orang-orang Yahudi. Maka beliau pun menghadap ke Baitul Maqdis selama kurang lebih belasan bulan. Sedang Rasulullah menginginkan (untuk menghadap ke) kiblat Nabi Ibrahim as. Beliau sering berdoa kepada Allah Ta’ala sambil menengadahkan wajanya ke langit, maka Allah swt. pun menurunkan firman-Nya: fa walluu wujuuHakum syath-raHu (“Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya.”)
Dengan sebab itu, orang-orang Yahudi menjadi goncang seraya berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Lalu Allah swt. pun menurunkan firman-Nya: qul lillaaHi masy-riqu wal maghribu yaHdii may yasyaa-u ilaa shiraathim mustaqiim (“Katakanlah, kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya kejalan yang lurus.”)
Cukup banyak hadits-hadits berkenaan dengan masalah ini. Dan kesimpulannya, bahwasanya Rasulullah sebelumnya diperintahkan untuk menghadap ke Baitul Maqdis. Ketika masih berada di Makkah, beliau shalat di antara dua rukn, dengan posisi Ka’bah berada dihadapannya, tetapi beliau tetap menghadap ke Baitul Maqdis. Dan ketika berhijrah ke Madinah beliau tidak dapat menyatukan antara keduanya, maka Allah swt. memerintahkannya untuk menghadap ke Baitul Maqdis.
Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur (mayoritas) ulama. Kemudian para ulama berbeda pendapat, “Apakah perintah itu disampaikan melalui al-Qur’an atau selain al-Qur’an?”
Mengenai hal tersebut di atas terdapat dua pendapat. Dalam tafsirnya, al-Qurthubi menceritakan, dari Ikrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan al-Bashri, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis itu berdasarkan ijtihad Rasulullah saw. maksudnya, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis itu dilakukan setelah kedatangan beliau di Madinah. Dan hal itu masih terus berlangsung sampai belasan bulan. Kemudian beliau sering berdoa dan berharap agar kiblatnya dirubah ke arah Ka’bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim as. Maka permohonan beliau pun dikabulkan. Kemudian beliau diperintahkan untuk mengarahkan kiblatnya ke Baitul Atiq (Ka’bah). Setelah itu Rasulullah menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan memberitahukan hal itu kepada mereka. Dan shalat yang pertama kali dikerjakan oleh Rasulullah dengan menghadap ke Ka’bah adalah shalat Ashar. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari al-Barra’ bin Azib. Sedangkan menurut riwayat imam an-Nasa’i, dari Abu Sa’id bin al-Ma’la, bahwa shalat itu adalah shalat Dzuhur. Dan beliau mengatakan, “Aku dan sahabatku adalah orang yang pertama kali mengerjakan shalat dengan menghadap Ka’bah.”
Beberapa ahli tafsir dan juga yang lainnya mengatakan bahwa perintah pengalihan arah kiblat itu turun kepada Rasulullah ketika beliau sudah mengerjakan dua rakaat shalat Dzuhur, yaitu tepatnya di Masjid Bani Salamah. Kemudian masjid itu dinamakan Masjid Qiblatain (dua kiblat).
Dalam hadits Nuwailah binti Muslim, “Bahwasanya telah sampai kepada mereka berita mengenai hal itu sedang mereka dalam keadaan mengerjakan shalat Dzuhur.” Lebih lanjut Nuwailah berkata, “Maka jama’ah laki-laki bertukar tempat dengan jama’ah perempuan.”
Demikianlah yang dikemukakan oleh Syaikh Abu Amr bin Abdul Barr an-Namiri. Sedangkan penduduk Quba’ menerima berita itu dua hari setelahnya, yaitu ketika mereka sedang mengerjakan shalat Shubuh. Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar katanya, “Ketika orang-orang sedang berada di Quba’ mengeirjakan shalat Subuh, tiba-tiba ada seseorang yang datang kepada mereka seraya berkata, “Sesungguhnya pada malam itu telah diturunkan ayat kepada Rasulullah, dan beliau diperintahkan untuk menghadap kiblat ke Ka’bah, maka menghadaplah kalian ke Ka’bah!” “Pada saat itu posisi mereka menghadap Syam, lalu mereka berputar menghadap ke Ka’bah.”
Hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang menaskh (menghapus) tidak harus diikuti kecuali setelah diketahui, meskipun telah turun dan disampaikan lebih awal, karena mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi shalat Ashar, Maghrib, dan Isya’. Wallahu a’lam.
Imam Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan dari Aisyah radiallahu anHaa, katanya, Rasulullah bersabda, berkenaan dengan Ahlul Kitab: “Mereka (Ahlul Kitab) tidak dengki kepada kita karena sesuatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita karena hari Jum’at yang ditunjukkan Allah kepada kita sedang mereka disesatkan darinya, dan juga karena kiblat yang ditunjukkan kepada kita sedang mereka disesatkan darinya, dan juga karena ucapan `Amin’ kita di belakang imam dalam shalat.” (Dlaif HR. Imam Ahmad [24508] cetakan ihya-ut turaats, sanadnya dlaif)
Dan firman Allah: wa kadzaalik ja’alnaakum ummataw wasathal litakuunuu syuHadaa-a ‘alan naasi wa yakuunar rasuulu ‘alaikum syaHiidan (“Dan demikian juga Kami telah menjadikan kamu [umat Islam] umat yang adil dan juga pilihan agar kamu menjadi saksi atas [perbuatan] manusia dan Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas perbuatan kamu.”)
Melalui ayat itu, Allah Ta’ala menuturkan, “Sesungguhnya Kami mengubah kiblat kalian ke kiblat Ibrahim as. dan Kami pilih kiblat itu untuk kalian agar Kami dapat menjadikan kalian sebagai umat pilihan, agar pada hari kiamat kelak kalian menjadi saksi atas umat-umat yang lain, karena semua umat mengakui keutamaan kalian.”
Dan yang dimaksud dengan kata wasath di sini adalah pilihan yang terbaik. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa orang Quraisy adalah orang Arab pilihan, baik dalam nasab maupun tempat tinggal. Artinya, yang terbaik. Dan sebagaimana dikatakan, “RasulullaH wasathan fii qaumihi”, yang berarti beliau adalah orang yang terbaik dan termulia nasabnya.
Misalnya lagi, kalimat shalat Wustha, yang merupakan shalat terbaik, yaitu shalat Ashar, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab shahih dan kitab-kitab hadits lainnya.
Misalnya lagi, kalimat shalat Wustha, yang merupakan shalat terbaik, yaitu shalat Ashar, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab shahih dan kitab-kitab hadits lainnya.
Ketika Allah swt. menjadikan umat ini sebagai umatan wasathan, maka Dia memberikan kekhususan kepadanya dengan syari’at yang paling sempurna, jalan yang paling lurus, dan paham yang paling jelas.
Firman-Nya yang artinya: “Dia telah memilih kamu dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama ini suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu semua orang-orang muslim sejak dahulu. Dan begitu pula dalam (al-Qur an) ini, supaya Rasul itu menjadi sakst atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap umat manusia. “(QS. Al-Hajj: 78).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah bersabda: “Pada hari kiamat kelak, Nuh as. diseru kemudian ditanya, `Apakah engkau telah menyampaikan risalah’? `Sudah’, jawab Nuh. Kemudian kaumnya diseru dan ditanya, `Apakah Nuh telah menyampaikan risalah kepada kalian’? Mereka pun menjawab, `Tidak ada pemberi peringatan dan tidak seorang pun yang datang kepada kami’. Setelah itu Nuh diseru lagi, `Siapakah yang dapat memberikan kesaksian untukmu’? Jawab Nuh, `Muhammad dan umatnya’. Lebih lanjut Rasulullah bersabda, `Demikian itulah firman Allah: `Dan demikian juga Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan’. Beliau bersabda: `Al-wasath berarti adil. Lalu kalian diseru dan diminta memberi kesaksian bagi Nuh mengenai penyampaian risalah. Kemudian aku pun memberikan kesaksian atas diri kalian”‘. (Hadits ini juga diriwayatkan al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah.)
Imam Ahmad juga meriwayatkan, dari Abul Aswad, katanya, “Aku pernah datang di Madinah dan di sana sedang berjangkit penyakit yang menyerang banyak orang, dan korban pun berjatuhan dengan cepat. Lalu aku duduk di dekat Umar bin Khatthab ra, kemudian ada jenazah yang lewat, lalu jenazah itu dipuji dengan kebaikan. Umar berkata, “Pasti.” Kemudian umar melewati jenazah yang lain, dan jenazah itu disebutkan dengan keburukan lalu Umar berkata, “Pasti.” Setelah itu Abul Aswad bertanya kepada Umar bin Khatthab, “Ya Amirul Mukminin, apa yang pasti itu?” Umar menjawab, aku mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Nabi “Orang Muslim mana pun yang diberikan kesaksian oleh empat orang bahwa ia baik, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga.” Kami bertanya, “Juga tiga orang?” Belau menjawab, “Ya, meski hanya tiga orang.” Kami pun bertanya, lanjut Umar, “Juga dua orang?” Beliau pun menjawab, “Ya, termasuk dua orang.” Masih lanjut Umar, “Dan kemudian kami tidak menanyakan tentang satu orang.” (Hadits ini juga diriwayatkan Imam al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i.)
Dan firman Allah Ta’ala: wa maa ja’alnal qiblatal latii kunta ‘alaiHaa illaa lina’lama may yattabi’ur rasuula mimmay yanqalibu ‘alaa ‘aqibaiHi wa in kaanat alkabiiratan illaa ‘alal ladziina HadallaaH (“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu [sekarang] melainkan agar Kami mengetahui [supaya nyata] siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sesungguhnya [pemindahan kiblat] itu terasa amat berat kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.”)
Artinya, Allah swt. menyampaikan: hai Muhammad, pertama kali Kami mensyari’atkan kepadamu untuk menghadap ke Baitul Maqdis, lalu Kami palingkan engkau darinya menuju ke Ka’bah, agar tampak jelas siapa-siapa orang yang mengikuti dan menaatimu serta menghadap ke arah mana saja engkau menghadap, dan siapa pula yang membelot, maksudnya murtad dari agamanya. Dan sungguh pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Baitullah itu terasa sangat berat bagi mereka, kecuali orang-orang yang diberikan petunjuk oleh Allah Ta’ala ke dalam hatinya serta meyakini kebenaran Rasulullah dan apa yang dibawanya adalah benar, tiada keraguan di dalamnya. Dan bahwa Allah swt. dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan memutuskan sesuai keinginan-Nya. Dia berhak membebani hamba-hamba-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya dan menghapuskannya dari siapa saja apa yang dikehendaki-Nya pula. Dia mempunyai hikmah yang sangat sempurna dan hujjah yang sangat kuat dalam semuanya itu. Berbeda dengan orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit, yang setiap kali terjadi suatu persoalan, timbullah keraguan dalam hatinya, sebagaimana hal itu menimbulkan keyakinan dan pembenaran dalam hati orang-orang yang beriman.
Sebagaimana difirmankan-Nya yang artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada).” (QS. At-Taubah: 124-125)
Oleh karena itu, orang yang teguh dalam membenarkan Rasulullah, dan mengikutinya, serta menghadap seperti yang diperintahkan Allah swt. tanpa keraguan sedikitpun, berasal dari para tokoh sahabat. Sebagian ulama berpendapat bahwa assabiqunal awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar adalah orang-orang yang mengerjakan shalat dengan menghadap ke arah dua kiblat (Baitul Maqdis dan Ka’bah)
Dan firman-Nya: wa maa kaanallaaHu liyu-dli’a iimaanakum (“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”) Artinya shalat kalian ke arah Baitul Maqdis sebelum itu, pahalanya tidak akan disia-siakan di sisi Allah.
Diriwayatkan dalam kitab Shahih, hadits dari Abu Ishaq as-Subai’i, dari al-Barra’, katanya, “Ada beberapa orang yang telah meninggal, sedangkan mereka shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Maka para sahabat menanyakan tentang keadaan mereka dalam hal tersebut. wa maa kaanallaaHu liyu-dli’a iimaanakum (“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”) Hadits ini diriwayatkan Pula oleh at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas, dan dinyatakannya shahih.
Masih mengenai firman Allah Ta’ala: wa maa kaanallaaHu liyu-dli’a iimaanakum (“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”) menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas, “Artinya yaitu, shalat yang kalian kerjakan dengan menghadap kiblat pertama (Baitul Maqdis), dan pembenaran terhadap Nabi kalian, serta ketaatan kalian mengikutinya menghadap ke kiblat yang lain (Ka’bah). Maksudnya, Dia akan memberikan pahala atas semuanya itu.”
innallaaHa bin-naasi lara-uufur rahiim (“Sesungguhnya Allah Mahapengasih dan Mahapenyayang kepada manusia.”)
Dalam hadits shahih disebutkan:
“Bahwa Rasulullah pernah melihat seorang wanita tawanan yang dipisahkan dari bayinya. Sehingga setiap kali ia mendapatkan bayi tawanan lainnya, maka ia langsung mengambil dan mendekap dalam dadanya, dan ia terus berkeliling mencari anaknya. Ketika ia menemukan anaknya, maka ia mendekap bayinya itu dan kemudian menyusuinya. Rasulullah pun bersabda: ‘Bagaimana menurut pendapat kalian, apakah wanita ini tega melemparkan anaknya ke dalam api padahal ia mampu untuk tidak melemparkannya?’ Para sahabat pun menjawab, ‘Tidak, ya Rasulullah’. Lalu beliau pun bersabda, ‘Demi Allah, Allah itu lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.’”)
“Bahwa Rasulullah pernah melihat seorang wanita tawanan yang dipisahkan dari bayinya. Sehingga setiap kali ia mendapatkan bayi tawanan lainnya, maka ia langsung mengambil dan mendekap dalam dadanya, dan ia terus berkeliling mencari anaknya. Ketika ia menemukan anaknya, maka ia mendekap bayinya itu dan kemudian menyusuinya. Rasulullah pun bersabda: ‘Bagaimana menurut pendapat kalian, apakah wanita ini tega melemparkan anaknya ke dalam api padahal ia mampu untuk tidak melemparkannya?’ Para sahabat pun menjawab, ‘Tidak, ya Rasulullah’. Lalu beliau pun bersabda, ‘Demi Allah, Allah itu lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.’”)
EmoticonEmoticon