Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. Al-Baqarah: 240) Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang takwa. (QS. Al-Baqarah: 241) Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.” (QS. Al-Baqarah: 242)
Mayoritas ulama mengatakan, ayat ini mansukh (dihapuskan) dengan ayat sebelumnya, yaitu firman Allah yang artinya: “(Hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah: 234).
Diriwayatkan melalui Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Jika seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan isterinya, maka isterinya harus menjalani iddah selama satu tahun di dalam rumahnya dengan diberi nafkah dari harta mantan suaminya. Dan setelah itu Allah Ta’ala menurunkan firman: wal ladziina yutawaffauna minkum wayadzaruuna azwaajay yatarabbashna bi-anfusiHinna arba’ata asyHuriw wa ‘asyran (“Orang-orang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri [hendaklah para isteri itu] menangguhkan dirinya [beriddah] empat bulan sepuluh hari.”) Inilah masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, kecuali jika ia ditinggal mati dalam keadaan hamil. Maka iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya. Dan firman Allah yang artinya: “Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.” (QS. An-Nisaa’: 12)
Dengan demikian, Allah swt. telah menguraikan masalah harta pusaka (warisan), peninggalan wasiat, dan pemberian nafkah.
Atha’ mengatakan, “Kemudian datanglah masalah pembagian warisan, maka dihapuslah masalah tempat tinggal. Sehingga seorang wanita boleh menjalankan masa iddahnya di mana saja yang ia kehendaki dan tidak haruskan tempat tinggal.”
Kemudian dari jalur Ibnu Abbas, Imam Bukhari meriwayatkan yang serupa dengan pendapat yang disampaikan sebelumnya yang dinyatakan oleh Mujahid dan Atha’, bahwa ayat ini tidak menunjukkan diwajibkannya iddah selama satu tahun, sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama. Dimana ketentuan tersebut mansukh dengan ketentuan empat bulan sepuluh hari. Namun demikian, ayat tersebut menunjukkan perihal wasiat kepada istri, yaitu agar mereka diperbolehkan tinggal selama satu tahun penuh di rumah suaminya yang sudah meninggal tersebut, jika memang mereka memilih itu.
Oleh karena itu, Allah swt. berfirman: washiyyatal li azwaajiHim (“Hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya.”) Artinya, Allah Ta’ala mewasiatkan kepada kalian sebuah wasiat mengenai diri mereka (para isteri). Hal itu sama seperti firman-Nya yang lain: yuushiikumullaaHu fii aulaadikum (“Allah mewasiatkan [mensyariatkan] kepada kamu tentang [pembagian harta pusaka untuk] anak-anak kamu. (QS. An-Nisaa’: 11)
Dan juga seperti firman Allah yang lainnya: washiyyatam minallaaHi (“Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah.”) (QS. An-Nisaa’: 12). Ada juga yang mengatakan, dibaca manshub dengan pengertian, “Hendaklah kamu mewasiatkan sebuah wasiat kepada mereka.” Tetapi ada juga yang membacanya marfu’ dengan pengertian, “Diwajibkan kepada kamu berwasiat.” Yang terakhir ini merupakan pilihan Ibnu jarir, namun para isteri tersebut tetap tidak dilarang dari hal itu, sebagaimana firman-Nya: ghaira ikhraaj (“Dengan tidak disuruh pindah [dari rumahnya].”)
Tetapi jika mereka telah menyelesaikan masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari atau dengan melahirkan anak yang dikandungnya, mereka memilih untuk pergi dan pindah dari rumah itu, maka mereka tidak boleh dihalang-halangi, berdasarkan pada firman Allah Ta’ala: fa in kharajna falaa junaaha ‘alaikum fiimaa fa’alna fii anfusiHinna mim ma’ruufin (“Akan tetapi jika mereka pindah sendiri, maka tidak dosa bagi kamu [wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka sendiri.”)
Pendapat ini cukup terarah dan lafadz ayat itu sendiri mendukungnya. Pendapat ini menjadi pilihan satu kelompok, di antaranya adalah Imam al-Abbas Ibnu Taimiyah. Tetapi ada yang menolak pendapat ini, di antaranya Syaikh Abu Umar bin Abdul Barr. Sedangkan pendapat Atha’ dan para pengikutnya menyatakan bahwa ketentuan itu telah mansukh dengan ayat mengenai harta warisan (mirats), jika mereka bermaksud lebih dari sekedar tinggal di rumah mantan suaminya selama empat bulan sepuluh hari, maka dapat diterima. Tetapi jika yang mereka maksudkan adalah pemberian tempat tinggal selama empat bulan sepuluh hari tidak wajib dalam harta pusaka, maka inilah titik perbedaan yang terjadi di antara para imam. Keduanya adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullahu.
Pendapat mereka yang mewajibkan memberi tempat tinggal di rumah mantan suami adalah didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitab al Muwattha’, dari Sa’ad bin Ishak bin Ka’ab bin Ajrah, dari bibinya, Zainab binti Ka’ab bin Ajrah, bahwa Furai’ah binti Malik bin Sinan, (saudara perempuan Abu Sa’id al-Khudri ra), bercerita kepada (Zainab binti Ka’ab bin Ajrah) bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah untuk menanyakan apakah ia boleh pulang kembali ke keluarganya di Bani Khudrah, karena suaminya pergi keluar rumah mencari beberapa budaknya, hingga ketika ia menemukan mereka dipinggir daerah Qadum, mereka membunuhnya. Furai’ah melanjutkan ceritanya, kemudian aku meminta kepada Rasulullah agar membolehkan aku kembali kepada keluargaku di Bani Khudrah, kerena suamiku tidak meninggalkanku di rumah miliknya dan tidak pula meninggalkan nafkah. Setelah itu, Nabimenjawab: “Ya.” Lalu aku pun pulang hingga ketika aku berada di dalam kamar, Rasulullah memanggilku atau menyuruh untuk memanggilku. Kemudian beliau berkata: “Bagaimana cerita yang engkau sampaikan tadi?” Maka aku pun mengulangi kembali kisah yang telah kusampaikan itu mengenai keadaan suamiku. Lalu beliau bersabda: “Tinggallah di tempat tinggalmu hingga masa iddahmu selesai.” Furai’ah melanjutkan ceritanya, maka aku pun menjalani iddah di sana selama empat bulan sepuluh hari. Dan ketika Utsman bin Affan mengirim utusan kepadaku untuk menanyakan hal itu kepadaku, maka aku pun memberitahukan kepadanya dan Utsman pun mengikutinya dan memberikan keputusan (yang sama) dengannya.
Demikian hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i, dari Malik. An-Nasa’i dan Ibnu Majah juga meiwayatkan hadits tersebut dari Sa’ad bin Ishak. Menurut at-Tirmidzi hadits tersebut hasan shahih.
Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa lil muthallaqaati mataa’um bilma’ruufi haqqan ‘alal muttaqiin (“Kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaklah diberikan oleh suaminya] mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”) Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menceritakan, ketika turun firman Allah Ta’ala: mataa’am bilma’ruufi haqqan ‘alal muhsiniin (“Pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”)(QS. Al-Bagarah 236) Ada seseorang yang mengatakan: “Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, maka aku akan mengerjakan, dan jika aku menghendaki aku tidak akan mengerjakannya.”
Lalu turunlah ayat ini: wa lil muthallaqaati mataa’um bilma’ruufi haqqan ‘alal muttaqiin (“Kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaklah diberikan oleh suaminya] mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”) (QS. Al-Baqarah: 241)
Ayat ini juga dijadikan dalil oleh orang yang mewajibkan pemberian mut’ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik yang belum diserahkan maharnya, maupun yang sudah ditentukan maharnya, baik wanita yang diceraikan sebelum dicampuri atau yang sudah dicampuri. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullahu. Dan pendapat ini pula yang menjadi pegangan Sa’id bin Jubair dan ulama salaf lainnya, dan menjadi pilihan Ibnu jarir.
Sedangkan orang-orang yang tidak mewajibkannya secara mutlak mengkhususkan keumuman ayat ini dengan pengertian firman Allah Ta’ala berikut ini yang artinya:
“Tidak ada kewajiban membayar mahar atasmu jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236).
“Tidak ada kewajiban membayar mahar atasmu jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236).
Ulama kelompok pertama menyatakan bahwa hal itu merupakan bentuk penyebutan beberapa bagian yang umum, sehingga tidak ada pengkhususan menurut pendapat yang masyhur. Wallahu a’lam.
Firman-Nya: kadzaalika yubayyinullaaHu lakum aayaatiHii (“Demikianlah Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya [hukum-hukum-Nya].”) Maksudnya, dalam hal yang menyangkut halal, haram, fardhu serta batasan-batasan mengenai apa yang diperintahkan dan dilarang. Dia menjelaskan dan menafsirkan semuanya itu secara gamblang serta tidak meninggalkannya secara mujmal (global) pada saat kalian membutuhkannya, la’allakum ta’qiluun (“Supaya kalian memahaminya.”) Atau dengan kata lain, memahami dan merenungkannya.
EmoticonEmoticon