Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 190-193

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 190-193
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Baqarah: 190) Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah: 191) Kemudian Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. Al-Baqarah: 192) Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya untuk Allah semata-mata. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)
Mengenai firman Allah: wa qaatiluu fii sabiilillaaHil ladziina yuqaatiluunakum (“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangimu.”) Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari Rabi’ bin Anas, dari Abu al-Aliyah, ia mengatakan, “Ini adalah ayat pertama yang turun mengenai perang di Madinah. Setelah ayat ini turun, maka Rasulullah memerangi orang-orang yang telah memeranginya dan menahan diri terhadap orang-orang yang tidak memeranginya hingga turun surat at-Taubah. Oleh karena itu di sini Allah A berfirman:
waqtuluuHum haitsu tsaqiftumuuHum wa akhrijuuHum min haitsu akhrajuukum (“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusirmu [Mekkah].”) Artinya, hendaklah tekad kalian bangkit untuk memerangi mereka, sebagaimana tekad mereka bangkit untuk memerangi kalian. Juga tekad untuk mengusir mereka dari negeri di mana mereka telah mengeluarkan kalian darinya sebagai pembalasan yang setimpal.
Firman Allah Ta’ala: walaa ta’taduu innallaaHa laa yuhibbul mu’tadiin (“Dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”) Maksudnya, berperanglah di jalan Allah Ta’ala tetapi jangan berlebih-lebihan dalam melakukannya. Termasuk dalam hal ini adalah melakukan berbagai macam larangan, sebagaimana dikatakan Hasan al-Bashri, seperti menyiksa, menipu, membunuh para wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia yang sudah lemah pikirannya dan tidak mampu berperang, para pendeta, penghuni rumah ibadah, membakar pepohonan, membunuh hewan tanpa adanya suatu maslahat. Sebagaimana hal itu telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Muqatil bin Hayyan, dan beberapa ulama lainnya.
Oleh karena itu diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim dari Buraidah, bahwa Rasulullah bersabda: “Berperanglah di jalan Allah. Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tetapi jangan berkhianat, jangan melanggar janji, jangan melakukan penyiksaan, jangan membunuh anak-anak, dan jangan pula membunuh para penghuni rumah ibadah.” (HR. Muslim)
Hadits senada diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, dari Anas, secara marfu’.
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia menceritakan, “Ditemukan seorang wanita terbunuh dalam suatu peperangan, maka Nabi melarang pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak.”
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Rabi’ bin Hirasy, katanya, aku pernah mendengar Hudzaifah berkata, Rasulullah pernah memberikan beberapa contoh kepada kami, satu, tiga, lima, tujuh, sembilan, dan sebelas. Lalu beliau memberikan satu contoh saja di antaranya dan mengabaikan yang lainnya. Beliau bersabda: “Sesungguhnya ada suatu kaum yang sangat lemah dan miskin. Mereka diperangi oleh kaum yang perkasa dan penuh permusuhan. Tetapi Allah memenangkan kaum yang lemah itu, mereka dengan sengaja mempekerjakan dan menindas musuh mereka itu, sehingga Allah murka kepada mereka sampai hari kiamat.”
Hadits ini berisnad hasan. Dan maksudnya, ketika kaum yang lemah itu dimenangkan atas orang-orang yang kuat, mereka pun bertindak melampaui batas dengan mempekerjakan kaum yang kuat itu pada pekerjaan yang tidak pantas. Karena itu Allah Ta’ala murka atas tindakan mereka yang melampaui batas itu. Dan cukup banyak hadits yang membahas mengenai masalah ini.
Oleh karena jihad mengandung resiko lenyapnya nyawa dan terbunuhnya banyak orang, maka Allah mengingatkan bahwa kekafiran, kemusyrikan, dan berpaling dari jalan Allah Ta’ala yang meliputi diri mereka itu lebih berat, kejam dan dahsyat bahayanya dari pada pembunuhan. Oleh karena itu, Dia berfirman: wal fitnatu asyaddu minal qatli (“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.”)
Abu Malik mengatakan: “Artinya, apa yang sedang kalian perbuat itu lebih besar bahayanya dari pada pembunuhan.”
Mengenai firman Allah: wal fitnatu asyaddu minal qatli (“Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.”) Abu al-Aliyah, Mujahid, Said bin Jubair, Ikrimah, Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, dan Rabi’ bin Anas mengatakan, “Syirik itu lebih berbahaya daripada pembunuhan.”
Dan Firman-Nya: walaa tuqaatiluuHum ‘indal masjidil haraam (“Dan janganlah kamu memerangi mereka di masjidil Haram.”) sebagaimana dinyatakan dalam shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya negeri ini telah diharamkan (disucikan) Allah pada hari penciptaan langit dan bumi, dan ia menjadi haram melalui pengharaman Allah sampai hari kiamat kelak. Dan tidak dihalalkan kecuali sesaat pada siang hari. Dan sesungguhnya pada saat ini adalah haram dengan pengharaman Allah sampai hari kiamat. Pepohonannya tidak boleh ditebang dan rerumputannya tidak boleh dicabut. Jika ada seseorang mencari-cari keringanan dengan dalih peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah, maka katakanlah, “Sesungguhnya Allah mengizinkan bagi Rasul-Nya dan tidak memberikan izin kepada kalian.”
Maksudnya Allah mengizinkan beliau memerangi penduduknya pada waktu penaklukan kota Makkah, karena ketika beliau menaklukkan Makkah ada beberapa orang lelaki yang terbunuh di Khandamah. Ada pula yang mengatakan bahwa penaklukan itu dilakukan secara damai, karena ucapan beliau: “Barangsiapa yang menutup pintu rumahnya maka ia aman, barangsiapa masuk masjid maka ia juga aman, dan barangsiapa masuk rumah Abu Sufyan maka ia juga aman.” (HR. Muslim)
Firman-Nya: hattaa yuqaatiluukum fiiHi fa in qaataluukum faqtuluuHum kadzaalika jazaa-ul kaafiriin (“Kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”) Artinya, janganlah kalian memerangi mereka di Masjidilharam kecuali jika mereka mulai menyerang lebih dahulu. Maka ketika itu kalian boleh memerangi dan membunuh mereka di sana untuk mempertahankan diri dari penyerangan, sebagaimana Nabi telah membai’at para sahabatnya pada saat perjanjian Hudaibiyah di bawah sebuah pohon untuk berperang ketika kaum Quraisy dan pendukung mereka dari Bani Tsaqif dan kumpulan dari berbagai kabilah pada tahun itu berkomplot memusuhi beliau.
Kemudian Allah menahan peperangan itu terjadi di antara mereka, Dia berfirman yang artinya: “Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan menahan tangan dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka.” (QS Al-Fath: 24)
Firman Allah: fa inintaHau fa innallaaHa ghafuurur rahiim (“Kemudian jika mereka berhenti [dari memusuhi kamu], maka sesungguuhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) Artinya, jika mereka meninggalkan peperangan di tanah suci Makkah dan kembali kepada Islam serta bertaubat, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka. Dan tiada suatu dosa yang terasa berat bagi Allah untuk diampuni-Nya bagi orang yang bertaubat dari dosa itu kepada-Nya.
Selanjutnya Allah memerintahkan memerangi orang-orang kafir dan berfirman: hattaa laa takuuna fitnatun (“Sehingga tidak ada lagi fitnah”) maksudnya tidak ada kemusyrikan. Demikian dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, Mujahid, Hasan al-Bashri, Qatadah, Rabi’ bin Anas, Muqatil bin Hayyan, as-Suddi, dan Zaid bin Aslam.
Wa yakuunad diinu lillaaHi (“Dan [sehingga] ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.”) Maksudnya, sehingga agama Allah Ta’ala yang benar-benar menang dan unggul di atas semua agama. Sebagaimana telah ditegaskan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa al-Asy’ari, katanya Rasulullah pernah ditanya mengenai seseorang yang berperang karena keberanian, berperang karena kesombongan, dan berperang karena riya’, manakah yang termasuk berperang di jalan Allah? Beliau menjawab: “Barangsiapa berperang dengan tujuan agar kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, maka ia telah berperang di jalan Allah.”
Dan diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk diibadahi selain Allah. Apabila mereka mengatakannya, maka darah dan harta kekayaan mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali dengan haknya dan perhitungan mereka terserah kepada Allah.”
Dan firman-Nya: fa inintaHau falaa ‘udwaana illaa ‘aladh dhaalimiin (“Jika mereka berhenti [dari memusuhi kamu], maka tidak permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.”) Allah swt. berfirman, jika mereka menghentikan perbuatan mereka berupa kemusyrikan dan pembunuhan terhadap orang-orang mukmin, maka hentikanlah penyerangan terhadap mereka. Dan orang yang tetap memerangi mereka setelah itu, maka ia termasuk zhalim, dan tiada permusuhan kecuali kepada orang-orang zhalim.
Demikian itulah makna ungkapan Mujahid, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang memerangi kecuali terhadap orang yang memerangi.”
Ayat tersebut juga bermakna, jika mereka berhenti, berarti mereka membebaskan diri dari kezhaliman, yaitu kemusyrikan, karenanya tidak ada lagi permusuhan setelah itu terhadap mereka.
Dan yang dimaksud dengan permusuhan di sini adalah pembalasan dan penyerangan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut ini: “Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadap kamu.” (QS. Al-Baqarah: 194)
Oleh karena itu, Ikrimah dan Qatadah mengatakan: “Orang zhalim adalah orang yang menolak mengucapkan: laa ilaaHa illallaH (tiada Ilah yang hak selain Allah).”
Mengenai firman Allah Ta’ala: wa qaatiluuHum hattaa laa takuuna fitnatun (“Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi,”) Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Nafi’, dari Ibnu Umar, katanya bahwa ia pernah didatangi oleh dua orang pada saat fitnah Ibnu Zubair. Kedua orang itu berkata, “Sesungguhnya orang-orang telah berbuat kerusakan, dan engkau putera Umar, serta sahabat Nabi, apa yang menghalangimu untuk keluar berperang?” Ibnu Umar menjawab, “Yang menghalangiku adalah bahwa Allah telah mengharamkan darah saudaraku.” Mereka berdua berkata lagi: “Bukankah Allah telah berfirman, “Dan perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi?” Ibnu Umar pun menjawab: “Kami telah berperang sehingga tidak ada lagi fitnah dan ketaatan hanya untuk Allah. Sedangkan kalian hendak berperang dengan tujuan agar terjadi fitnah dan supaya segala macam ketaatan untuk selain Allah.”


EmoticonEmoticon