Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 19-20

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 19-20“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap-gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Kilat itu nyaris menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu,
dan bila kegelapan menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2:19-20)
Ini perumpamaan lain yang diberikan Allah mengenai bentuk lain dari orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang sewaktu-waktu tampak kebenaran bagi mereka dan pada saat lain mereka ragu. Had mereka yang berada dalam keadaan ragu, kufur, dan bimbang, itu adalah kashayyibin (“Seperti hujan lebat. “). “ash-Shaubu” berarti hujan yang turun dari langit pada waktu gelap-gulita. Kegelapan itu adalah keraguan, kekufuran, dan kemunafikan. Dan “ar-ra’du” (petir/gurun/halilintar), yaitu (perumpamaan untuk) ketakutan yang mengguncangkan hati.
Di antara keadaan orang-orang munafik itu adalah berada dalam rasa takut dan cemas yang sangat, sebagaimana finnan Allah swt. yang artinya: “Mereka mengira setiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.” (QS. A1-Munaafiquun: 4)
Sedangkan al-barqu; yaitu kilat yang menyinari hati orang-orang munafik itu pada suatu waktu, berupa cahaya keimanan. Oleh karena itu, Allah berfirman yang artinya: “Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena [mendengar suara] petir sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.” Maksudnya, ketakutan mereka itu tidak dapat membawa manfaat sedikit pun karena Allah telah meliputi mereka melalui kekuasaan-Nya dan mereka itu berada di bawah kendali kehendak dan iradah-Nya. Sebagaimana Allah telah berfirman:
“Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang (yaitu) kaum Fir’aun dan Tsamud? Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. ” (QS. Al-Buruuj 17-20).
Setelah itu Allah berfirman: yakaadul barqu yakhthafu abshaaraHum (“Kilat itu nyaris menyambar penglihatan mereka,”) karena kuat dan hebatnya kilat tersebut serta lemahnya penglihatan dan ketidakteguhan mereka dalam beriman.
Mengenai firman-Nya: kullamaa adlaa-a laHum masyau fiiHi wa idzaa adh-lama ‘alaiHim qaamuu (“Setiap kali menyinari mereka, maka mereka berjalan di bawah sinar itu. Dan bila kegelapan menimpa mereka, mereka berhenti,”) Ibnu Ishak menuturkan dari Ibnu Abbas, “Artinya, mereka mengetahui kebenaran dan berbicara mengenai kebenaran tersebut. Jika mereka mengetahui kebenaran itu, maka mereka tetap istiqamah. Namun jika mereka kembali kepada kekafiran, mereka berhenti dalam keadaan bingung.”
Demikian pula yang dikatakan oleh al-Hasan Bashri, Qatadah, ar-Rabi’ bin Anas, dan as-Suddi, dengan sanadnya dari beberapa sahabat, dan merupakan pendapat yang paling benar dan jelas. Dan begitulah keadaan yang akan mereka alami pada hari kiamat kelak, yaitu ketika manusia diberi cahaya sesuai dengan keimanannya. Di antara mereka ada yang diberi cahaya yang dapat menerangi perjalanan beberapa mil, dan ada yang diberi kurang atau lebih dari itu. Ada juga yang cahayanya terkadang mati dan kadang-kadang menyala. Ada juga yang kadang-kadang berjalan dan kadang berhenti. Bahkan ada juga yang cahayanya mati sama sekali, mereka itulah orang munafik tulen yang Allah sebutkan melalui firman-Nya yang artinya:
“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: `Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu.’ Dikatakan (kepada mereka): ‘Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).’” (QS. Al-Hadiid: 13).
Dan mengenai orang-orang yang beriman, Allah , berfirman yang artinya: “Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia. Sedangkan cahaya mereka memancarkan di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”‘ (QS. At-Tahrim: 8).
Dengan demikian, Allah telah membagi orang-orang kafir menjadi dua macam, yaitu yang menyerukan (kepada kekafiran) dan yang hanya ikut-ikutan (muqallid), sebagaimana yang disebutkan-Nya pada awal surat al-Hajj yang artinya: “Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang sangat jahat. ” (QS. Al-Hajj: 3).
Dan Dia juga telah membagi orang-orang mukmin di awal surat al-Waqi’ah dan di akhirnya, juga pada surat al-Insan menjadi dua bagian; pertama, sabiqun, yaitu mereka yang didekatkan kepada Allah swt, dan kedua adalah Ashabul Yamin, yaitu orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang beriman terbagi menjadi dua bagian, yaitu “orang-orang yang didekatkan” dan “orang-orang yang berbuat kebajikan”. Sedangkan orang-orang kafir juga terbagi dua, ‘yaitu penyeru (kepada kekafiran) dan muqallid (ikut-ikutan). Dan orang-orang munafik juga terbagi dua, yaitu “orang munafik murni (tulen)” dan “orang munafik yang dalam dirinya masih ada iman dan masih ada juga kemunafikan.”
Sebagaimana tertuang dalam hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, dari Nabi:
“Ada tiga hal, yang jika ketiganya ada pada seseorang, maka ia seorang munafik murni (tulen). Dan barangsiapa yang pada dirinya terdapat salah satu dari ketiganya, maka pada dirinya itu terdapat satu sifat kemunafikan sehingga ia meninggalkannya. Yaitu: orang yang apabila berbicara berdusta, apabila berjanji tidak menepati, dan apabila diberi kepercayaan berkhianat.” (Muttafaqun `alaih)
Para ulama menjadikan hadits tersebut sebagai dalil bahwa dalam diri manusia itu mungkin saja terdapat salah satu unsur kemunafikan, baik yang bersifat amali berdasarkan hadits ini maupun i’tiqadi sebagaimana yang telah dijelaskan ayat al-Qur’an dan menjadi pendapat sekelompok ulama Salaf maupun Khalaf.
Imam Ahmad rahimahullahu meriyawatkan, dari Abu Sa’id, ia mencertakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hati itu ada empat macam; hati yang bersih yang di dalamnya terdapat semacam pelita yang bersinar, hati yang tertutup lagi terikat, hati yang berbalik, dan hati yang berlapis. Hati yang bersih itu adalah hati orang mukmin, dan pelita yang ada di dalamnya itu adalah cahayanya. Hati yang tertutup adalah hati orang kafir. Hati yang berbalik adalah hati orang munafik murni (tulen), ia mengetahui Islam lalu ingkar. Sedangkan hati yang berlapis adalah hati orang yang di dalamnya terdapat iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam hati itu adalah seperti sayur-sayuran yang disiram air bersih. Sedangkan perumpamaan kemunafikan dalam hati adalah seperti luka yang dilumuri nanah dan darah. Maka di antara keduanya (iman dan kemunafikan) yang mengalahkan yang lainnya, maka dialah yang mendominasi.” (Isnad hadits ini jayyid hasan; Dha’if: Isnadnya dha’if. Lihat tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Ebnu Katsir) yang hadits-haditsnya dita’liq dan ditakhrij oleh Hari al-Haaj yang merujuk kepada kitab-kitab Syaikh al-Albani).
Firman-Nya yang artinya: “Dan apabila Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” Muhammad bin Ishak menceritakan, Muhammad bin Abi Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya ini, ia mengatakan: “Karena mereka meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya”.
Firman-Nya: innallaaHa ‘alaa kulli syai-in qadiir (“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”) Ibnu Abbas mengatakan, artinya bahwa Allah swt. berkuasa atas segala adzab atau ampunan yang hendak diberikan kepada hamba-hamba-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, “Sesungguhnya Allah menyifati diri-Nya dengan kekuasaan atas segala sesuatu dalam hal ini, karena Dia hendak mengingatkan orang-orang munafik akan kekuatan, dan keperkasaan-Nya. Dan Dia juga memberitahukan kepada mereka bahwa Dia meliputi mereka serta sanggup untuk melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka.”
Makna kata “qadiirun” berarti “qaadirun” (yaitu Dzat Yang Mahakuasa) sebagaimana bentuk kata “’aliimun” berarti “’aalimun” (yang Mahamengetahui).


EmoticonEmoticon