Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 106-107

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
tulisan arab surat albaqarah ayat 106-107“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (al-Baqarah: 106) Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (al-Baqarah: 107)
Mengenai firman Allah: maa nansakh min aayatin (“Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”) Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Artinya yang Kami [Allah] gantikan.”
Dari Mujahid, Ibnu Juraij meriwayatkan, maa nansakh min aayatin (“Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”) maksudnya adalah: ayat mana saja yang Kami [Allah] hapuskan.
Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia menuturkan: maa nansakh min aayatin; artinya: “Kami [Allah] biarkan tulisannya, tetapi kami ubah hukumnya.” Hal itu diriwayatkan dari beberapa shahabat Abdullah bin Mas’ud.
maa nansakh min aayatin; as-Suddi mengatakan: “Nasakh berarti menarik [menggenggamnya].”
Sedangkan Ibnu Abi Hatim mengatakan, yakni menggenggam dan mengangkatnya. Seperti firman-Nya: asy-syaikhu wasy-syaikhatu idzaa jayanaa farjumuuHumaa battata (“Orang yang sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya.”) demikian juga dengan firman-Nya: lau kaana libni aadama waadiyani min dzaHabil labtaghaa laHumaa tsaalitsan (“Seandainya ibnu Adam mempunya dua lembah emas, niscaya mereka akan mencari lembah yang ketiga.”)
Masih berhubungan dengan firman-Nya: maa nansakh min aayatin (“Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan”) Ibnu Jarir mengatakan: artinya hukum suatu ayat yang Kami [Allah] pindahkan kepada lainnya dan Kami ganti dan ubah, yaitu mengubah yang haram menjadi halal, yang halal menjadi haram, yang boleh menjadi tidak boleh dan yang tidak boleh menjadi boleh. Dan hal itu tidak terjadi kecuali dalam perintah, larangan, keharusan, mutlaq dan ibadah [kebolehan]. Sedangkan ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah-kisah tidak mengalami nasikh maupun mansukh.
Kata “an-naskhu” berasal dari “naskhul kitaabi” yaitu menukil dari suatu naskah ke naskah lainnya. Demikian halnya “naskhul hukmi” berarti penukilan dan pemindahan redaksi ke redaksi yang lainnya. Baik yang dinasakh itu hukum maupun tulisannya. Karena keduanya tetap kedudukannya sebagai mansukh [yang dinasakh].
Firman-Nya: aw nunsiHaa (“atau Kami jadikan lupa”) bisa dibaca dengan salah satu dari dua bacaan: “nansa-uHaa” dan “nunsiHaa”. Nansa-uHaa berarti: tuakh-kharuHaa [kami akhirkan].
Mengenai firman-Nya: maa nansakh min aayatin aw nunsiHaa; Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengemukakan, [artinya] Allah berfirman: “Ayat-ayat yang Kami rubah atau tinggalkan, tidak Kami ganti.”
Sedang Mujahid meriwayatkan dari beberapa sahabat Ibnu Mas’ud, au nunsi-uHaa [berarti] Kami tidak merubah tulisannya dan hanya mengubah hukumnya saja.”
Athiyyah al-Aufi mengatakan, au nunsi-uHaa; [artinya] Kami akhirkan ayat tersebut dan Kami tidak menghapusnya.
Masih berkenaan dengan ayat: maa nansakh min aayatin wa nunsi-uHaa; adh-Dhahhak mengatakan: “Yakni nasikh dari yang dimansukh.”
Mengenai bacaan “nunsiHaa” Abdur Razak meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya: maa nansakh min aayatin aw nunsiHaa; ia mengatakan, “Allah menjadikan Nabi-Nya, Muhammad saw. lupa dan menasakh ayat sesuai dengan kehendak-Nya.”
Ubaid bin Umair mengatakan, au nusiHaa; “Berarti Kami mengangkatnnya dari kalian.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, “Umar bin al-Khaththab mengatakan, ‘Orang yang terbaik bacaannya di antara kami adalah Ubay dan yang paling ahli hukum adalah Ali, dan kami akan meninggalkan kata-kata Ubay, di mana ia mengatakan, ‘Aku tidak akan meninggalkan sesuatu apapun yang aku dengar dari Rasulullah saw. padahal Allah Ta’ala berfirman: maa nansakh min aayatin wa nunsiHaa (“Ayat many saja yang Kami nasakh,”) dan firman-Nya: na’ti bikhairim minHaa au mitsliHaa (“Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya.”) Yaitu hal hukum yang berkaitan dengan kepentingan Para mukallaf.”
Sebagaimana yang dikatakan Ali bin Abi Talhah, dari Ibnu Abbas, mengenai firman-Nya, na’ti bikhairim minHaa au mitsliHaa (“Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya.”) ia mengatakan, “Yaitu memberi manfaat yang lebih baik bagi kalian dan lebih ringan.”
Masih mengenai firman-Nya: na’ti bikhairim minHaa au mitsliHaa (“Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya.”) Qatadah mengatakan, “Yaitu ayat yang di dalamnya mengandung pemberian keringanan, rukhshah, perintah, dan larangan.”
Dan firman Allah swt: alam ta’lam annallaaHa ‘alaa kulli syai-in qadiirun alam ta’lam annallaaHa laHuu mulkus samaawaati wal ardli wa maa lakum min duunillaaHi miw waliyyiw wa laa nashiir (“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tidak ada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.”)
Imam Abu Ja’far bin Jarir rahimahullahu mengatakan, “Penafsiran ayat tersebut adalah sebagai berikut: ‘Hai Muhammad, tidakkah engkau mengetahui bahwa hanya Aku (Allah) pemilik kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi. Di dalamnya Aku putuskan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Ku, dan di sana Aku mengeluarkan perintah dan larangan, dan (juga) menasakh, mengganti, serta merubah hukum-hukum yang Aku berlakukan di tengah-tengah hamba-Ku sesuai kehendak-Ku, jika Aku menghendaki.’”
Lebih lanjut Abu Ja’far mengatakan, ayat itu meski diarahkan kepada Nabi Muhammad untuk memberitahu keagungan Allah swt, namun sekaligus hal itu dimaksudkan untuk mendustakan orang-orang Yahudi yang mengingkari nasakh (penghapusan) hukum-hukum Taurat dan menolak kenabian Isa as. dan Muhammad saw. karena keduanya datang dengan membawa beberapa perubahan dari sisi Allah untuk merubah hukum-hukum Taurat. Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa kerajaan dan kekuasaan atas langit dan bumi ini hanyalah milik-Nya, semua makhluk ini berada di bawah kekuasaan-Nya. Mereka harus tunduk dan patuh menjalankan perintah dan menjahui larangan-Nya. Dia mempunyai hak memerintah dan melarang mereka, menasakh, menetapkan, dan membuat segala sesuatu menurut kehendak-Nya.
Berkenaan dengan hal tersebut penulis (Ibnu Katsir) katakan, Yang membawa orang Yahudi membahas masalah nasakh ini adalah semata-mata karena kekufuran dan keingkarannya terhadap adanya nasakh tersebut. Menurut akal sehat, tidak ada suatu hal pun yang melarang adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah Ta’ala, karena Dia dapat memutuskan segala sesuatu
sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana Dia juga dapat berbuat apa saja yang di kehendaki-Nya. Yang demikian itu juga telah terjadi di dalam kitab-kitab dan syari’at-syari’at-Nya yang terdahulu. Misalnya, dahulu Allah swt. membolehkan Nabi Adam mengawinkan putrinya dengan puteranya sendiri, tetapi setelah itu Dia mengharamkan hal itu. Dia juga membolehkan Nabi Nuh setelah keluar dari kapal untuk memakan semua jenis hewan, tetapi setelah itu Dia menghapus penghalalan sebagiannya.
Selain itu, dulu menikahi dua saudara puteri itu diperbolehkan bagi Israil (Nabi Ya’qub) dan anak-anaknya, tetapi hal itu diharamkan di dalam syariat Taurat dan kitab-kitab setelahnya, Dia juga pernah menyuruh Nabi Ibrahim, menyembelih puteranya, tetapi kemudian Dia menasakhnya sebelum perintah itu dilaksanakan. Allah swt. juga memerintahkan mayoritas Bani Israil untuk membunuh orang-orang di antara mereka yang menyembah anak sapi, lalu Dia menarik kembali perintah pembunuhan tersebut agar tidak memusnahkan mereka.
Di samping itu, masih banyak lagi hal-hal yang berkenaan dengan masalah itu, orang-orang Yahudi sendiri mengakui dan membenarkannya. Dan jawaban-jawaban formal yang diberikan berkenaan dengan dalil-dalil ini, tidak dapat memalingkan sasaran maknanya, karena demikian itulah yang dimaksudkan. Dan sebagaimana yang masyhur tertulis di dalam kitab-kitab mereka mengenai kedatangan Nabi Muhammad saw. dan perintah untuk mengikutinya. Hal itu memberikan pengertian yang mengharuskan untuk mengikuti Rasulullah dan bahwa suatu amalan tidak akan diterima kecuali yang didahulukan berdasarkan syariatnya, baik dikatakan bahwa syariat terdahulu itu terbatas sampai pengutusan Rasulullah saw. Dan bahwa suatu amalan tidak akan diterima kecuali yang didahulukan berdasarkan syariatnya, baik dikatakan bahwa syariat terdahulu itu terbatas sampai pengutusan Rasulullah saw. maka yang demikian itu tidak disebut sebagai nasakh. Hal itu didasarkan pada firmari-Nya: tsumma atimmush shiyaama ilal laili (“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”)
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa syariat itu bersifat mutlak sedangkan syariat Muhammad menasakhnya. Bagaimanapun adanya, mengikutinya (Nabi Muhammad saw.) suatu keharusan, karena beliau datang dengan membawa sebuah kitab yang merupakan kitab terakhir dari Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Dalam hal ini, Allah Ta’ala menjelaskan dibolehkannya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi -lanatulah alaihim-, di mana Dia berfirman: alam ta’lam annallaaHa ‘alaa kulli syai-in qadiirun alam ta’lam annallaaHa laHuu mulkus samaawaati wal ardli (“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan dan bumi adalah kepunyaan Allah?”)
Sebagaimana Dia mempunyai kekuasaan tanpa ada yang menandinginya, demikian pula hanya Dia yang berhak memutuskan hukum menurut kehendak-Nya. “Ketahuilah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. Al-A raaf: 54) Dan di dalam Surat Ali Imran yang mana konteks pembicaraan pada bab awal surat tersebut ditujukan kepada Ahlul Kitab juga terdapat nasakh, yaitu pada firman-Nya: kulluth-tha’aami kaana hillal libanii israa-iila illaa maa harrama israa-iilu ‘alaa nafsiHi (“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil [Nabi Ya’qub] untuk dirinya sendiri.”) Sebagaimana penafsiran ayat ini akan kami sampaikan pada pembahasan berikutnya.
Kaum muslimin secara keseluruhan sepakat membolehkan adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah Ta’ala, karena di dalamnya terdapat hikmah yang sangat besar. Dan mereka semua mengakui terjadinya nasakh tersebut.
Seorang mufasir, Abu Muslim ash-Ashbahaani mengatakan: “Tidak ada nasakh di dalam al-Qur’an.” Pendapat Abu Muslim itu sangat lemah dan patut ditolak. Dan sangat mengada-ada dalam memberikan jawaban berkenaan dengan terjadinya nasakh. Misalnya (pendapat) mengenai masalah iddah seorang wanita yang berjumlah empat bulan sepuluh hari setelah satu tahun. Dia tidak dapat memberikan jawaban yang dapat diterima. Demikian halnya masalah pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, juga tidak diberikan jawaban sama sekali. Juga penghapusan kewajiban bersabar manghadapi kaum kafir satu lawan sepuluh menjadi satu lawan dua. Dan juga penghapusan (nasakh) kewajiban membayar sedekah sebelum mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasulullah, dan lain-lainnya. Wallahu a’lam.


EmoticonEmoticon