Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Katakanlah: ‘Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, Maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar.’ (al-Baqarah: 94) Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. (al-Baqarah: 95) dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling tamak kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih tamak lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 96)
Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad: qul in kaanat lakumud daarul aakhiratu khaalishatam min duunin naasi fatamannawul mauta in kuntum shaadiqiin (“Katakanlah, ‘Jika kamu [menganggap bahwa] kampung akhirat [surge] itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginkanlah kematian[mu], jika kamu memang benar.’”) Maksudnya, “Berdoalah kalian agar ditimpakan kematian terhadap salah satu kelompok yang paling berdusta. Namun mereka menolak ajakan Rasulullah tersebut.
Wa lay yatamannauHu abadam bimaa qaddamat aidiiHim. wallaaHu ‘aliimum bidh-dhaalimiin (“Dan sekali-sekali mereka tidak akan menginginkan kematian itu selama-lamannya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri. Dan Allah Mahamengetahui siapa orang-orang yang zhalim.”) Artinya, Allah mengetahui segala sesuatu tentang mereka, bahkan pengingkaran mereka terhadap (ajakan Rasul). Seandainya mereka menginginkan kematian itu pada saat Rasulullah mengajaknya niscaya tidak akan ada di muka bumi ini seorang pun dari kaum Yahudi, melainkan akan mati.
Dari Ibnu Abbas, adh-Dhahhak meriwayatkan, “fa tamannawul mauta” berarti mohonlah kematian.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Seandainya orang-orang Yahudi itu menginginkan kematian, niscaya mereka akan disambar kematian.” Seluruh sanad ini shahih sampai Ibnu Abbas.
Demikian itulah penafsiran yang dikemukakan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat di atas, yaitu ajakan untuk bermubahalah (adu do’a) untuk mengetahui kelompok mana yang berdusta, baik kelompok kaum muslimin ataupun Yahudi. Hal yang sama dinyatakan pula oleh Ibnu Jarir dari Qatadah, Abu al-Aliyah, dan Rabi’ bin Anas semoga Allah merahmati mereka.
Ketika orang-orang Yahudi terlaknat itu mengatakan bahwa mereka itu anak Allah dan kekasih-Nya serta mengatakan: “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi dan Nasrani,” maka mereka diajak bermuhahalah dan mendoakan keburukan kepada salah satu kelompok yang berdusta, baik itu kelompok muslim ataupun kelompok Yahudi. Setelah mereka menolak ajakan tersebut, maka setiap orang mengetahui bahwa mereka itu zhalim, karena jika mereka benar-benar teguh dengan pengakuannya itu, pasti mereka menjadi kelompok yang paling dahulu tampil untuk melakukan mubahalah.
Ketika mereka menunda-nunda, maka terungkaplah kebohongan mereka. Peristiwa itu sama dengan peristiwa pada saat Rasulullah mengajak utusan kaum Nasrani Najran untuk bermuhahalah setelah hujjah tegak atas mereka dalam perdebatan, (sementara mereka semakin) sombong dan ingkar, maka Allah Ta’ala berfirman:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)
Setelah orang-orang Nasrani mendengar ajakan itu, lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Demi Allah, jika kalian bermubahalah dengan Nabi ini, niscaya kalian akan musnah dalam sekejap.” Pada saat itu, mereka langsung cenderung untuk berdamai dan menyerahkan jizyah (pajak) dengan patuh, dalam keadaan hina. Kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah diutus sebagai pengawas bagi mereka.
Mubahalah ini disebut tamanni (yaitu kalimat “tamannau” [pengharapan/keinginan kematian]), karena kedua belah pihak yang merasa benar ingin agar Allah Ta ala membinasakan kelompok yang batil, apalagi jika merasa mempunyai hujjah untuk menjelaskan kebenaran dan keunggulannya. Dan mubahalah itu dilakukan dalam bentuk memohon kematian, karena kehidupan dunia bagi orang-orang Yahudi sangat mulia dan berharga, sementara mereka mengetahui tempat kembali mereka yang menyeramkan setelah kematian.
Oleh karena itu Allah berfirman: Wa lay yatamannauHu abadam bimaa qaddamat aidiiHim. wallaaHu ‘aliimum bidh-dhaalimiina wa latajidannaHum ahrashun naasi ‘alaa hayaatin (“Sekali-kali mereka tidak akan menginginkannya untuk selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka [sendiri]. Dan Allah Mahamengetahui orang-orang yang berbuat zhalim. Sesungguhnya kamu akan mendapati mereka setamak-tamak manusia kepada kehidupan [di dunia].”)
Maksudnya, sepanjang umur mereka, karena mereka tahu bahwa tempat kembali mereka (di akhirat) itu sangat buruk dan kesudahan yang akan mereka alami sangat merugikan. Sebab dunia itu merupakan penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang kafir. Mereka mengangankan seandainya mereka dapat menghindari alam akhirat dengan segala macam cara. Padahal apa yang mereka hindari dan jauhi itu pasti akan mereka alami. Terhadap kehidupan duniawi ini, orang-orang Yahudi itu lebih rakus daripada orang-orang musyrik yang tidak memiliki kitab. Yang demikian itu merupakan ‘athaf khash (penyandaran yang khusus) kepada yang ‘aam (umum).
Mengenai firman Allah: wa minal ladziina asy-rakuu (“Bahkan [lebih tamak lagi] dari orang-orang musyrik.”) Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “orang-orang non-Arab.”
Demikian halnya hadits yang diriwayatkan al-Hakim dalam kitab, al- Mustadrak, dari Sufyan ats-Tsauri, dan ia mengatakan bahwa hadits ini shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya. Al-Hakim berkata bahwa kedua imam itu bersepakat atas sanad tafsir sahabat ini.
Sehubungan dengan firman Allah: wa latajidannaHum ahrashun naasi ‘alaa hayaatin (“Sesungguhnya engkau akan mendapati mereka setamak-tamak manusia kepada kehidupan [di dunia],”) Hasan al-Bashri mengatakan: “Orang munafik itu lebih tamak terhadap kehidupan dunia daripada orang musyrik.”
Yawaddu ahaduHum (“Masing-masing orang dari mereka ingin.”) Maksudnya, salah seorang dari kaum Yahudi, seperti yang ditujukan konteks ayat. Sedangkan menurut Abul al-Aliyah: “Adalah salah seorang dari kaum Majusi. Dan ia akan kembali seperti semula, meski diberi umur seribu tahun.”
Mengenai firman-Nya: Yawaddu ahaduHum lau yu-‘ammaru alfa sanatin (“Masing-masing orang dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun.”) Mujahid mengatakan, “Perbuatan dosa dijadikan hal yang mereka sukai sepanjang umur.”
Dan berkenaan dengan firrnan-Nya: wa maa Huwa bimuzahzihiHii minal ‘adzaabi ay yu-‘ammara (“Pahahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.”) Berkata Mujahid bin Ishak dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Sa’id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas: “Maksudnya, umur panjang itu sama sekali tidak akan menyelamatkan mereka dari adzab, karena orang musyrik tidak mengharapkan kebangkitan kembali setelah kematian, tetapi menginginkan umur panjang. Sedangkan orang Yahudi mengetahui kehinaan yang akan mereka terima di akhirat karena mereka menyia-nyiakan ilmu yang mereka miliki.”
Berkaitan dengan firman-Nya: wa maa Huwa bimuzahzihiHii minal ‘adzaabi ay yu-‘ammara (“Pahahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.”) Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas katanya, “yaitu orang-orang yang memusuhi Jibril.”
Sedangkan Abu al-Aliyah dan Ibnu Umar mengatakan, “Makna ayat itu adalah umur panjang tidak akan membantu dan menyelamatkan mereka dari adzab.”
Mengenai makna ayat ini, Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, “Orang Yahudi itu lebih rakus terhadap kehidupan dunia ini dari pada orang-orang Musyrik, di mana mereka mengharapkan diberikan umur seribu tahun lagi. Namun umur panjang itu tidak akan dapat menyelamatkan mereka dari adzab. Sebagaimana umur panjang yang diberikan kepada Iblis tidak memberikan manfaat sama sekali kepadanya, karena ia kafir.”
wallaaHu bashiirum bimaa ya’maluun (“Allah Mahamengetahui apa yang mereka lakukan.”) Maksudnya, Allah mengetahui dan menyaksikan kebaikan dan keburukan yang dikerjakan oleh hamba-hamba-Nya, dan masing-masing akan diberikan balasan sesuai dengan amalannya.
EmoticonEmoticon