Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkan kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. 2:111) (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. 2:112) Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan,” dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,” padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengucapkan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.” (QS. 2:113)
Allah menjelaskan ketertipuan orang-orang Yahudi dan Nasrani oleh apa yang ada pada diri mereka, dimana setiap kelompok dari keduanya (Yahudi dan Nasrani) mengaku bahwasanya tidak akan ada yang masuk surga kecuali memeluk agama mereka, sebagaimana yang diberitahukan Allah Tabaraka wa Ta’ala melalui firman-Nya dalam Surat al-Maa-idah berikut ini, mereka menyatakan, “Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” (QS. A1-Maa-idah: 18)
Kemudian Allah Ta’ala mendustakan pengakuan mereka itu melalui pemberitahuan yang disampaikan dalam firman-Nya bahwa Dia akan mengadzab mereka akibat dosa yang mereka perbuat. Seandainya keadaan mereka sebagaimana yang mereka katakan, niscaya keadaannya tidak demikian. Sebagaimana pengakuan mereka sebelumnya yang menyatakan bahwa mereka
tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali beberapa hari saja. Kemudian mereka masuk ke surga. Tetapi pengakuan mereka ini pun mendapat bantahan dari Allah swt. Berikut ini adalah bantahan Allah Ta’ala berkenaan dengan pengakuan mereka yang tidak berdasarkan dalil, hujjah, dan keterangan yang jelas, di mana Dia berfirman, tilka ammaaniyyuHum (“Itulah angan-angan mereka.”)
tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali beberapa hari saja. Kemudian mereka masuk ke surga. Tetapi pengakuan mereka ini pun mendapat bantahan dari Allah swt. Berikut ini adalah bantahan Allah Ta’ala berkenaan dengan pengakuan mereka yang tidak berdasarkan dalil, hujjah, dan keterangan yang jelas, di mana Dia berfirman, tilka ammaaniyyuHum (“Itulah angan-angan mereka.”)
Abul ‘Aliyah mengatakan: “Artinya, yaitu angan-angan yang mereka dambakan dari Allah tanpa alasan yang benar.” Hal senada juga dikemukakan oleh Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas.
Selanjutnya Allah swt. berfirman: qul (“Katakan,”) hai Muhammad, Haatuu burHaanakum (“Kemukakanlah penjelasan kalian.”) Abul ‘Aliyah, Mujahid, as-Suddi, dan ar-Rab’i bin Anas mengatakan, “(Artinya) kemukakanlah hujjah kalian.” Sedangkan Qatadah mengatakan: “Berikanlah keterangan mengenai pengakuan kalian itu, ‘Jika kalian orang-orang yang benar, dalam pengakuan kalian ini.’”
Setelah itu Allah Ta’ala berfirman: balaa man as-lama waj-HaHu lillaaHi wa Huwa muhsinun (“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat baik.”) Maksudnya, barangsiapa yang mengikhlaskan amalnya hanya untuk Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya.
Berkaitan dengan firman-Nya, balaa man as-lama waj-HaHu lillaaHi wa Huwa muhsinun (“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat baik.”) Abu al-Aliyah dan ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, “(Yaitu), barangsiapa yang benar-benar tulus karena Allah. ”
Masih berkenaan dengan ayat tersebut, “wajHaHu” (dirinya) Jubair mengatakan, yaitu yang tulus ikhlas menyerahkan “agamanya”. Sedang “wa Huwa muhsinun” (Ia berbuat baik) artinya, mengikuti Rasulullah saw. Karena amal perbuatan yang diterima itu harus memenuhi dua syarat, yaitu harus didasarkan pada ketulusan karena Allah Ta’ala semata, dan syarat kedua, harus benar dan sejalan dengan syari’at Allah. Jika suatu amalan sudah didasarkan pada keikhlasan hanya karena Allah, tetapi tidak benar dan tidak sesuai dengan syariat, maka amalan tersebut tidak diterima.
Oleh karena itu, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak sejalan dengan perintah kami, maka amal itu tertolak.” (HR. Imam Muslim, dari hadits ‘Aisyah ra.)
Dengan demikian, perbuatan para pendeta ahli ibadah dan yang semisalnya, meskipun mereka tulus ikhlas dalam mengerjakannya karena Allah, namun perbuatan mereka itu tidak akan diterima hingga mereka mengikuti ajaran Rasulullah yang diutus kepada mereka dan kepada seluruh umat manusia. Mengenai mereka dan orang yang semisalnya, Allah berfirman: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqaan: 23)
Sedangkan amal yang secara lahiriyah sejalan dengan syariat tetapi pelakunya tidak mendasarinya dengan keikhlasan karena Allah Ta’ala, maka amal perbuatan seperti itu ditolak. Demikian itulah keadaan orang-orang yang riya dan orang-orang munafik, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun: 4-7).
Oleh karena itu, Dia berfirman yang artinya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Dalam surat al-Baqarah ini, Allah Ta’ala berfirman: balaa man as-lama waj-HaHu lillaaHi wa Huwa muhsinun (“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat baik.”)
Dan firman-Nya: falaHuu ajruHuu ‘inda rabbiHii walaa khaufun ‘alaiHim wa laa Hum yahzanuun (“Maka baginya pahala di sisi rabbn dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati.”) Dengan amal perbuatan itu Allah menjamin sampainya pahala pada mereka serta memberikan rasa aman dari hal-hal yang mereka khawatirkan. “wa laa khaufun ‘alaiHim” (dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka) dari yang mereka hadapi; “wa laa Hum yahzanuun” (dan tidak pula mereka bersedih hati) atas apa yang mereka tinggalkan di masa lalu. Sebagaimana dikatakan oleh Sa’id bin Jubair: “wa laa khaufun ‘alaiHim” (dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka) yaitu di akhirat kelak. “wa laa Hum yahzanuun” (dan tidak pula mereka bersedih hati) atas datangnya kematian.
Dan firman Allah: wa qaalatil yaHuudu laisatin nashaaraa ‘alaa syai-iw wa qaalatin nashaaraa laisatil yaHuudu ‘alaa syai-iw wa Hum yatluunal kitaab (“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab.”) Allah Ta’ala menjelaskan mengenai pertentangan, kebencian, permusuhan, dan keingkaran di antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.
Sebagaimana yang diriwayatkan Muhammad bin Ishak, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan ketika orang-orang Nasrani Najran menghadap Rasulullah Allah Ta’ala, datang pula kepada mereka para pendeta dari Yahudi. Lalu mereka saling berselisih di hadapan Rasulullah saw. Maka Rafi’ bin Ramalah (salah seorang pendeta Yahudi) mengatakan, “Kalian tidak mempunyai pegangan apapu. Dan mengingkari Isa dan Injil.” Lalu salah seorang dari Nasrani Najran itu berkata kepada orang-orang Yahudi: “Kalian tidak mempunyai pegangan apapun, dan mengingkari kenabian Musa dan kufur terhadap Taurat.” Berkenaan dengan hal itu Allah berfirman:
wa qaalatil yaHuudu laisatin nashaaraa ‘alaa syai-iw wa qaalatin nashaaraa laisatil yaHuudu ‘alaa syai-iw wa Hum yatluunal kitaab (“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab.”)
Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Masing-masing kelompok itu membaca dalam kitabnya membenarkan orang yang mereka ingkari. Orang-orang Yahudi kufur terhadap Isa padahal di tangan mereka terdapat Taurat yang di dalamnya Allah mengambil janji melalui lisan Musa as. untuk membenarkan Isa as. Sedangkan dalam kitab Injil yang dibawa Isa as. terdapat perintah untuk membenarkan Musa dalam kitab Taurat yang diturunkan dari sisi Allah swt. Masing-masing kelompok mengingkari kitab yang ada di tangan mereka sendiri. Mereka itu ahlul kitab yang hidup di zaman Rasulullah saw.
pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa masing-masing dari kedua kelompok membenarkan apa yang mereka tuduhkan kepada kelompok lain. Namun secara lahiriyah redaksi ayat di atas mengandung celaan terhadap apa yang mereka ucapkan, padahal mereka mengetahui kebalikan apa yang mereka ucapkan tersebut. Oleh karena itu Allah berfirman: wa Hum yatluunal kitaab (“Padahal mereka [sama-sama] membaca kitab”) maksudnya mereka mengetahui syariat Taurat dan Injil. Kedua kitab tersebut telah disyariatkan pada waktu tertentu, tetapi mereka saling mengingkari karena membangkang dan kufur serta menghadapkan suatu kebatilan dengan kebatilan yang lain. wallaaHu a’lam.
Firman Allah: kadzaalika qaalal ladziina laa ya’lamuuna mitsla qauliHim (“Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti perkataan mereka itu.”) dengan ayat ini Allah menjelaskan kebodohan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka saling melempar ucapan. Dan ini adalah nada yang bernada isyarat.
Para ulama masih berbeda pendapat siapakah yang dimaksud dalam firman Allah: alladziina laa ya’lamuun (“Orang-orang yang tidak mengetahui.”) mengenai ayat ini ar-Rabi’ bin Anas dan Qatadah mengatakan: “Orang-orang Nasrani mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh orang Yahudi.”
Masih mengenai firman-Nya: kadzaalika qaalal ladziina laa ya’lamuuna mitsla qauliHim (“Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti perkataan mereka itu.”) as-Suddi mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang Arab yang mengatakan bahwa Muhammad tidak mempunyai pegangan apapun.”
Sedangkan Abu Ja’far bin Jabir berpendapat bahwa hal itu bersifat umum berlaku bagi semua umat manusia. Dan tidak ada dalil pasti yang menetapkan salah satu dari beberapa pendapat tersebut. Maka membawa makna untuk semua pendapat di atas adalah lebih tepat. wallaaHu a’lam.
Firman Allah: fallaaHu yahkumu bainaHum yaumal qiyaamati fiimaa kaanuu fiiHi yakhtalifuun (“Maka Allah akan mengadili di antara mereka di hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih tentangnya.”) artinya Allah akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat kelak, serta memutuskan hukum di antara mereka dengan keputusan-Nya yang adil serta tidak ada kedhaliman serta mereka tidak akan didhalimi sedikitpun.
EmoticonEmoticon