“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. an-Nisaa’: 36)
Ibnu sabil ialah, seorang musafir yang terputus (terhenti) perjalanan kembali ke tempat asal-nya, karena kehabisan bekal.
Allah memerintahkan untuk beribadah hanya kepada-Nya, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebab Dia-lah Pencipta, Pemberi rizki, Pemberi nikmat dan Pemberi karunia terhadap makhluk-Nya, di dalam seluruh keadaan. Maka Dia-lah yang berhak agar mereka meng-Esakan, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. kepada Mu’adz bin Jabal:
“Tahukah engkau, apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya?” Mu’adz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” Kemudian beliau bertanya lagi: “Tahukah engkau, apa hak hamba atas Allah, jika mereka melakukannya?” Beliau menjawab: “Yaitu Dia tidak akan mengadzab mereka.”
Kemudian Allah mewasiatkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Karena Allah menjadikan keduanya sebagai sebab yang mengeluarkan kamu, dari tidak ada menjadi ada. Banyak sekali Allah menyandingkan antara ibadah kepada-Nya dan berbuat baik kepada orang tua. Seperti firman Allah, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu.” (QS. Luqman: 14)
Kemudian setelah perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, dilanjutkan dengan berbuat baik kepada kerabat, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian Allah berfirman: wal yataamaa (“Dan anak-anak yatim.”) Hal itu dikarenakan mereka kehilangan orang yang menjaga kemaslahatan dan nafkah mereka, maka Allah perintahkan untuk berbuat baik dan lemah lembut kepada mereka.
Kemudian Allah berfirman: wal masaakiini (“Dan orang-orang miskin.”) Yaitu orang-orang yang sangat butuh dimana mereka tidak mendapatkan orang-orang yang dapat mencukupi mereka, maka Allah perintahkan untuk membantu mencukupi kebutuhan mereka dan menghilangkan kesulitan mereka. Pembicaraan tentang fakir dan miskin akan diuraikan pada surat Bara’ah (at-Taubah).
Firman-Nya: wal jaari dzil qurbaa wal jaaril junubi (“Tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.”) Tetangga yang dekat yaitu orang yang antara kamu dan dia memiliki hubungan kekerabatan. Sedangkan antara kamu dan dia tidak memiliki hubungan kerabat. Demikian pendapat yang diriwayatkan dari `Ikrimah, Mujahid, Maimun bin Mahran, adh-Dhahhak, Zaid bin Aslam, Muqatil bin Hayyan, dan Qatadah. Abu Ishaq mengatakan, dari Nauf al-Bakkali tentang firman Allah: “tetangga yang dekat,” yaitu tetangga muslim sedangkan “tetangga jauh” yaitu orang Yahudi dan Nasrani. (HR. Ibnu Jarii dan Ibnu Abi Hatim).
Jabir al-Ju’fi mengatakan dari asy-Sya’bi dari Ali dan ibnu Mas’ud bahwa “jaari dzil qurbaa” yaitu wanita. Sedangkan Mujahid berkata pula tentang “wal jaaril junubi” yaitu teman dalam perjalanan. Banyak hadits yang menjelaskan tentang wasiat untuk tetangga. Kita akan sebutkan beberapa yang mudah dan hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.
Hadits pertama, Imam Ahmad meriwayatkan dari `Abdullah bin `Umar, bahwa Rasulullah bersabda: “Jibril senantiasa mewasiatkan aku tentang tetangga, hingga aku menyangka akan mewariskannya.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam ash-Shahihain, juga Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkan yang sama).
Hadits kedua, Imam Ahmad meriwayatkan pula dari `Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Janganlah seseorang kenyang tanpa (memperhatikan) tetangganya.” (Hanya Imam Ahmad yang meriwayatkan)
Hadits ketiga, Imam Ahmad meriwayatkan, `Ali bin `Abdullah telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Sa’ad al-Anshari telah menceritakan kepada kami, aku mendengar Abu Zhabyah al-Kala-i berkata, Aku mendengar al-Miqdad bin al-Aswad berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada para Sahabatnya: “Apa yang kalian katakana tentang zina?” Mereka menjawab: “Perilaku yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu akan tetap haram hingga hari Kiamat.” Beliau bersabda: “Zinanya seseorang dengan sepuluh wanita, lebih ringan baginya daripada berzina dengan isteri tetangga.” Beliau melanjutkan pertanyaannya: “Apa yang kalian katakan tentang pencurian?” Mereka menjawab: “Perilaku yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu akan tetap haram hingga hari Kiamat.” Beliau bersabda: “Seseorang yang mencuri di sepuluh buah rumah lebih ringan baginya dari pada mencuri dari rumah tetangganya.” (Hanya Imam Ahmad yang meriwayatkan).
Hadits ini memiliki syahid (penguat) dalam kitab ash-Shahihain dari hadits Ibnu Mas’ud, aku bertanya: “Ya Rasulullah. Apakah dosa yang paling besar?” Beliau menjawab: “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakanmu.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Engkau bunuh anakmu, karena takut makan bersamamu”. Aku melanjutkan pertanyaan: “Lalu apa lagi?” Beliau pun menjawab: “Engkau berzina dengan isteri tetanggamu.”
Hadits keempat, Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa `Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw.: “Sesungguhnya aku memiliki dua orang tetangga, mana di antara keduanya yang paling berhak aku beri hadiah?” Beliau menjawab: “Orang yang pintunya paling dekat denganmu.” (HR. Al-Bukhari).
Firman Allah: wash shaahibil bil jambi (“Teman Sejawat.”) Ats-Tsauri mengatakan dari `Ali dan Ibnu Mas’ud, keduanya berkata: “Yaitu wanita.” Ibnu Abi Hatim berkata: “Pendapat serupa diriwayatkan dari `Abdurrahman bin Abi Laila, Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan dan Sa’id bin Jubair dalam salah satu riwayat.” Ibnu `Abbas dan jama’ah berkata: “Yaitu orang yang lemah”. Sedang-kan Ibnu `Abbas, Mujahid, `Ikrimah dan Qatadah berkata: “Yaitu teman dalam perjalanan”. Sedangkan dan jama’ah adalah tamu.
Firman Allah: wa maa malakat aimaanukum (“hamba sahayamu”) ayat ini merupakan wasiat untuk para budak, karena mereka lemah dalam bertindak dan tawanan di tangan manusia. Untuk itu Rasulullah di saat sakit menjelang wafatnya, beliau mewasiatkan umatnya dengan sabdanya: “Jagalah shalat, jagalah shalat, dan hamba sahayamu”. Beliau terus mengulangnya hingga lisannya tidak mampu lagi berucap.
Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Miqdam bin Ma’dikarb, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Apa yang engkau makan untuk dirimu sendiri, maka itu shadaqah bagimu. Dan makanan yang engkau berikan untuk anakmu, maka itu shadaqah bagi-mu. Makanan yang engkau berikan untuk isterimu, maka itu shadaqah bagi-mu. Dan makanan yang engkau berikan untuk pembantumu, maka itu shadaqah bagimu.” (HR. An-Nasa’i dari hadits Baqiyah dan isnadnya shahih), segala puji hanya bagi Allah.
Dari `Abdullah bin `Amr bahwa ia berkata kepada bendaharanya: “Apakah telah engkau berikan makanan kepada budakmu ?” Dia menjawab: “Tidak.” Beliau pun berkata: “Pergilah dan berikan kepada mereka, karena Rasulullah bersabda: “Cukuplah berdosa bagi seseorang, jika ia menahan makanan orang yang dibawah kepemilikannya.” (HR Muslim).
Dari Abu Hurairah juga, bahwa Nabi bersabda: “Seorang budak berhak mendapatkan makanan dan pakaian. Dan hendaklah ia tidak dibebani pekerjaan kecuali yang dia mampu (mengerjakannya)”. (HR.Muslim).
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda: “Apabila pembantu mendatangi salah seorang di antara kalian dengan membawa makanannya, kalau ia tidak mendudukkannya bersamanya, maka berikanlah (ambilkanlah) untuknya satu atau dua jenis makanan, sesuap atau dua suap makanan, karena ia telah mengurusi panasnya dan penghidangannya.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dan lafazhnya ini bagi al-Bukhari)
Sedangkan dalam lafazh Muslim: “Maka hendaklah ia mendudukannya dan makan bersamanya, jika makanannya adalah untuk orang banyak, tetapi hanya ada sedikit, maka letakkanlah di tangannya satu atau dua suapan.”
Dari Abu Dzar, bahwa Nabi saw bersabda: “Mereka adalah saudara dan kerabat kalian, yang dijadikan Allah di tangan kalian. Barangsiapa yang saudaranya berada di bawah tangannya, maka berilah makan dari apa yang dia makan, berikanlah pakaian apa yang dia pakai. Dan janganlah kalian tugaskan mereka sesuatu yang mereka tidak mampu dan jika kalian membebankan pekerjaan kepada mereka, maka bantulah mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Firman Allah: innallaaHa laa yuhibbu man kaana mukhtaalan fakhuuran (“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”) Artinya, sombong dalam dirinya, bangga, angkuh dan sombong pada orang lain. Dia melihat dirinya lebih baik dari mereka dan ia merasa besar dalam dirinya, padahal di sisi Allah ia hina dan di sisi manusia ia dibenci.
Mujahid berkata tentang firman-Nya: mukhtaalan; yaitu sombong. Fakhuuran; yaitu setelah diberikan berbagai nikmat, ia tidak bersyukur kepada Allah, yaitu merasa sombong kepada manusia dengan apa yang diberikan Allah berupa nikmat-Nya serta sedikit rasa syukurnya kepada Allah.
EmoticonEmoticon