Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. 3:110). Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan, celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri kebelakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan. (QS. 3:111). Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. 3:112)
Allah swt. memberitahukan mengenai umat Muhammad, bahwa mereka adalah sebaik-baik umat seraya berfirman, kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi (“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”)
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, mengenai ayat ini, kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi (“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,”) ia berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia lain. Kalian datang membawa mereka dengan belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka masuk Islam.”
Demikian juga yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, `Athiyyah al-Aufi, ‘Ikrimah, ‘Atha’, dan Rabi’ bin Anas.
Karena itu Dia berfirman, ta’muruuna bil ma’ruufi wa tanHauna ‘anil munkari wa tu’minuuna billaaHi (“Menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.”)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Durrah binti Abu Lahab, ia berkata ada seseorang berdiri menghadap Nabi, ketika itu beliau berada di mimbar, lalu orang itu berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah manusia terbaik itu?’ Beliau bersabda: `Sebaik-baik manusia adalah yang paling hafal al-Qur’an, paling bertakwa kepada Allah, paling giat menyuruh berbuat yang ma’ruf dan paling gencar mencegah kemunkaran dan paling rajin bersilaturahmi di antara mereka.” (HR. Ahmad)
An-Nasa’i dalam kitab Sunan dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak meriwayatkan dari hadits Samak, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah: kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi (“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”) Ia berkata: “Mereka itu adalah orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah dari Makkah menuju Madinah.”
Yang benar bahwa ayat ini bersifat umum mencakup seluruh umat pada setiap generasi berdasarkan tingkatannya. Dan sebaik-baik generasi mereka adalah para Sahabat Rasulullah, kemudian yang setelah mereka, lalu generasi berikutnya. Sebagaimana firman-Nya, dalam ayat yang lain, wa kadzaalika ja’alnaakum ummataw wasathal litakuunu syuHadaa-a ‘alan naasi (“Dan demikian [pula] Kami telah menjadikan kamu [umat Islam], umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas [perbuatan] manusia.”) (QS. Al-Baqarah: 143)
Dalam Musnad Imam Ahmad, , jaami’ at-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, dan Mustadrak al-Hakim, diriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Kalian sebanding dengan 70 (tujuh puluh) umat dan kalian adalah sebaik-baik dan semulia-mulia umat bagi Allah swt.” (Hadits di atas masyhur, dan dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi.)
Umat ini menjadi sang juara dalam menuju kepada kebaikan tiada lain karena Nabinya, Muhammad saw. Sebab beliau adalah makhluk paling terhormat dan Rasul yang paling mulia di hadapan Allah swt. Beliau diutus Allah dengan syari’at yang sempurna nan agung yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi maupun Rasul sebelumnya. Maka pengamalan sedikit dari manhaj dan jalannya menempati posisi yang tidak dicapai oleh pengamalan banyak dari manhaj dan jalan umat lainnya.
Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Muhammad bin `Ali Ibnu al-Hanafiyah, bahwa ia pernah mendengar ‘Ali bin Abi Thalib berkata, Rasulullah bersabda: “Aku telah diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang Nabi pun.” Lalu kami bertanya: “Apakah sesuatu itu, ya Rasulallah?” Beliau bersabda: “Aku dimenangkan dengan ketakutan (musuh), aku diberi kunci-kunci bumi, diberikan kepadaku nama Ahmad, dan dijadikan tanah ini bagiku suci, serta dijadikan umatku ini sebagai umat yang terbaik.” (Melalui jalan tersebut hadits ini hanya diriwayatkan Ahmad dengan isnad hasan).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Dhamdham bin Zar’ah, ia berkata, Syuraih bin `Ubaidah berkata: Tsauban jatuh sakit di Himsha, dan Gubernur Himsha ketika itu ‘Abdullah bin Qarath al-Azdi, tidak menjenguknya. Lalu ada seseorang dari Kala’iyyin datang menjenguknya, Tsauban pun berkata kepada orang itu: “Apakah engkau bisa menulis?” “Bisa,” jawabnya. “Tulislah,” kata Tsauban. Maka ia pun menulis surat yang dikatakan Tsauban:
Kepada al-Amir ‘Abdullah bin Qarath.
Dari Tsauban, (pembantu) Rasulullah, amma ba’du.
Seandainya Musa dan `Isa as. mempunyai seorang pembantu yang berada di dekatmu, maka tentulah engkau akan menjenguknya.”
Kepada al-Amir ‘Abdullah bin Qarath.
Dari Tsauban, (pembantu) Rasulullah, amma ba’du.
Seandainya Musa dan `Isa as. mempunyai seorang pembantu yang berada di dekatmu, maka tentulah engkau akan menjenguknya.”
Kemudian Tsauban melipat suratnya, dan bertanya kepada orang itu: “Apakah engkau dapat mengirimkan kepadanya?” “Ya,” jawabnya. Maka orang itu berangkat dengan membawa surat tersebut dan menyerahkannya kepada Abdullah Ibnu Qarath. Ketika Ibnu Qarath melihatnya, maka ia pun bangkit dalam keadaan terkejut, lalu orang-orang pun bertanya: “Mengapa dia, apakah terjadi sesuatu?” Lalu ia berangkat mendatangi Tsauban dan menemuinya serta duduk di sisinya sejenak. Ketika ia bangkit, Tsauban pun memegang pakaiannya seraya berkata: “Duduklah sehingga aku dapat memberitahukan sebuah hadits yang pernah aku dengar langsung dari Rasulullah, beliau bersabda: “Akan masuk Surga dari umatku tujuh puluh ribu orang tanpa hisab dan adzab bagi mereka, setiap seribu orang disertai lagi tujuh puluh ribu orang.”
Dengan jalan tersebut, hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad sendirian. Dan sanad para perawinya tsiqat (dapat dipercaya), mereka dari orang-orang Syam dan Himsha, maka hadits ini adalah shahih.
Abu Qasim ath-Thabrani meriwayatkan dari Abu Hazim, dari Sahlbin Sa’ad, bahwa Nabi bersabda: “Akan masuk Surga dari umatku tujuh puluh ribu orang -atau tujuh ratus ribu orang-, mereka saling bergandengan sehingga yang pertama masuk Surga bersama yang terakhir. Wajah mereka seperti bulan pada malam purnama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Muslim bin al-Hajjaj meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, Sa’id bin Mashur, menceritakan kepada kami dari Hasyim, dari Hushain bin ‘Abdur-rahman, ia berkata, aku pernah bersama Sa’id bin Jubair, lalu ia bertanya: “Siapa di antara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam?” “Aku,” jawabku. Lalu kukatakan: “Adapun aku waktu itu tidak sedang mengerjakan shalat, tetapi aku tersengat.” Ia pun bertanya: “Lalu apa yang engkau lakukan?” “Aku bacakan rugyah (jampi-jampi),” jawabku. Kemudian ia bertanya: “Apa yang mendorongmu melakukan hal tersebut?” Aku katakan: “Sebuah hadits yangdiberitahukan kepada kami oleh asy-Sya’bi.” “Apa yang dikatakan asy-Sya’bi kepadamu?” Tanyanya lebih lanjut. Aku pun menjawab: “Kami diberitahu oleh Buraidah bin al-Hushaib al-Aslami, bahwa Rasulullah bersabda: “Telah diperlihatkan kepadaku berbagai umat, lalu aku melihat seorang Nabi yang bersamanya sekelompok orang, seorang Nabi lain yang bersamanya satu atau dua orang dan seorang Nabi yang tidak mempunyai seorang pengikutpun. Tiba-tiba muncul sekumpulan manusia yang sangat banyak, aku mereka itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku: “Ini adalah Musa dan kaumnya, tetapi lihatlah ke ufuk.” Kemudian aku melihat ke ufuk, ternyata ada sekumpulan umat dalam jumlah yang sangat besar. Selanjutnya dikatakan kepadaku: “Lihatlah ke ufuk yang lain.” Tiba-tiba ada kumpulan manusia dalam jumlah yang sangat besar pula, dan dikatakan kepadaku: “Itulah umatmu dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk Surga tanpahisab dan tanpa adzab.”
Kemudian beliau bangkit dan memasuki rumahnya. Maka orang-orangpun beramai-ramai membicarakan mereka yang disebut masuk Surga tanpa hisab dan tanpa adzab tersebut. Sebagian mereka mengatakan: “Boleh jadi mereka itu adalah orang-orang yang menjadi Sahabat Rasulullah.” Sebagian lainnya mengatakan: “Mungkin juga mereka itu adalah orang-orang yang di-lahirkan pada masa Islam dan tidak menyekutukan Allah sedikit pun.” Mereka menyebutkan beberapa hal, hingga akhirnya Rasulullah keluar menemui mereka seraya bertanya: “Apa yang kalian perbincangkan?” Maka mereka pun memberitahukannya, kemudian beliau bersabda:
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak melakukan ruqyah dan tidak minta diruqyah, tidak berobat dengan kayy (besi panas) dan tidak bertathayyur, serta hanya kepada Allah mereka bertawakkal.”
Ukkasyah bin Mihshan pun berdiri seraya berkata: “Mohonkanlah kepada Allah agar Dia berkenan menjadikanku termasuk golongan mereka.” Beliau menjawab: “Engkau termasuk salah satu dari mereka.” Selanjutnyaada orang lain berdiri lalu berkata: “Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk dari mereka.” Beliau menjawab: “Engkau telah didahului oleh Ukkasyah.” (HR. Muslim)
Dan al-Bukhari meriwayatkan dari Usaid bin Zaid, dari Hasyim, di dalam haditsnya tidak disebutkan kalimat “laa yarquuna” (Tidak melakukan ruqyah). Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, disebutkan sebuah hadits dari Abu Ishaq as-Subai’i, dari ‘Amr bin Maimun, dari ‘Abdullah binMas’ud, ia berkata, Rasulullah bersabda kepada kami: “Apakah kalian senang menjadi seperempat penghuni Surga?” Maka kami pun bertakbir. Lalu beliau bersabda: “Apakah kalian senang menjadi sepertiga penghuni Surga?” Kami pun bertakbir lagi. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya aku sangat berharap kalian menjadi setengah penghuni Surga.”
Abdurrazzaq meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. beliau bersabda: “Kami adalah umat terakhir, tetapi yang pertama pada hari Kiamat kelak. Kami adalah orang yang pertama kali masuk Surga, meskipun mereka diberikan Kitab sebelum kita, sedang kita diberi Kitab setelah mereka. Lalu Allah menunjukkan kepada kita kebenaran yang mereka perselisihkan, maka hari ini( hari Jum’at) yang mereka perselisihkan (diberikan untuk kita), manusia tentang hal ini mengikuti kita, sedangkan untuk Yahudi adalah besok (hari Sabtu), dan untuk Nasrani adalah lusa (hari Ahad).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits-hadits di atas berkenaan dengan makna firman Allah: kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi ta’muruuna bil ma’ruufi wa tanHauna ‘anil munkari wa tu’minuuna billaaHi (“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.”) Dengan demikian, barangsiapa dari umat ini yang memiliki sifat-sifat di atas, maka ia termasuk mereka yang mendapatkan pujian tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Qatadah: “Pernah sampai kepada kami berita bahwa Umar bin al-Khaththab ra. ketika menunaikan ibadah haji, melihat di antara orang-orang itu hidup dalam ketenteraman, maka ‘Umar membaca ayat ini, kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi (“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untukmanusia,”) kemudian ‘Umar berkata: “Barangsiapa yang ingin menjadi bagian dariumat ini, maka ia harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan Allah dalam ayat tersebut.” (HR. Ibnu Jarir)
Dan barangsiapa tidak memiliki sifat-sifat tersebut di atas, maka ia seperti Ahlul Kitab yang dicela Allah melalui firman-Nya, kaanuu laa yatanaaHauna munkarin fa’aluuHu (“Mereka tidak saling melarang dari kemunkaran yang mereka lakukan.”) (QS.Al-Maa-idah: 79)
Oleh karena itu, ketika Allah memberikan pujian kepada umat ini atas sifat-sifat yang dimilikinya, Dia pun mencela Ahlul Kitab seraya berfirman, wa law aamana aHlul kitaabi (“Seandainya Ahlul Kitab itu beriman.”) Yaitu beriman kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
La kaana khaira laHum min Humul mu’minuuna wa aktsara Humul faasiquun (“Niscaya hal itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada orang yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang fasik.”) Maksudnya, sedikit sekali dari mereka yang beriman kepada Allah swt. dan kepada apa yang diturunkan untuk mereka. Dan kebanyakan dari mereka berada dalam kesesatan, kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Selanjutnya Allah memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, sekaligus menyampaikan kabar gembira kepada mereka, bahwa kemenangan dan keberuntungan ada pada kaum mukminin terhadap Ahlul Kitab, yang kafir dan ingkar kepada Allah.
Firman-Nya, laa yadluurrukum illaa adzaw wa iy yuqaatiluukum yuwalluukumul ad-baara tsumma laa yunsharuun (“Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepadamu selain dari gangguan-gangguan celaan saja. Dan jika mereka berperang melawanmu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang [kalah]. Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan.”)
Demikianlah yang terjadi. Pada peristiwa perang Khaibar, mereka benar-benar dihinakan oleh Allah dan dijadikan tidak berkutik. Demikian juga Ahlul Kitab sebelum mereka yang berada di Madinah, yaitu; Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah, mereka semua dihinakan oleh Allah. Sama halnya dengan orang-orang Nasrani yang berada di Syam. Merekad itaklukkan oleh para Sahabat dan kekuasaan di Syam pun direbut dari mereka untuk selama-lamanya. Kekuatan kelompok Islam tetap terus berdiri tegak di Syam sampai turun `Isa bin Maryam pada akhir zaman, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian, `Isa pun akan memimpin dengan agama Islam dan syari’at Muhammad. Beliau akan menghancurkan salib, membunuh babi, membatalkan jizyah dan tidak menerima selain Islam.
Kemudian Allah berfirman: dluribat ‘alaiHimudz dzillatu aina maa tsuqifuu illaa bihablim minallaaHi wa hablim minan naasi (“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali [agama] Allah dan tali [perjanjian] dengan manusia.” Yakni Allah menetapkan kehinaan dan kerendahan kepada mereka. Di mana saja berada, mereka tidak akan merasa aman, illaa bi hablim minallaaHi (“Kecuali jika mereka berpegang kepada tali [agama] Allah.”)
Maksudnya, dengan jaminan perlindungan Allah, yaitu berupa perjanjian ber-lakunya jaminan untuk mereka, pemberlakuan jizyah, serta penerapan hukum-hukum Islam terhadap mereka. Wa hablim minan naasi (“Dan tali [perjanjian] dengan manusia.”) Yakni jaminan keamanan dari manusia untuk mereka sendiri, seperti misalnya terhadap orang yang memiliki perjanjian perdamaian atau persekutuan, diberi jaminan keamanan oleh salah seorang dari kaum muslimin, meski hanya seorang wanita. Demikian pula seorang hamba sahaya, menurutsalah satu pendapat para ulama.
Mengenai firman Allah: illaa bihablim minallaaHi wa hablim minan naasi (“Kecuali jika mereka berpegang kepada tali [agama] Allah dan tali [perjanjian] dengan manusia,”) Ibnu ‘Abbas berkata, Maksudnya adalah perjanjian Allah dan perjanjianmanusia. Demikian juga pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’, adh-Dhahhak,as-Suddi dan ar-Rabi’ bin Anas.
Firman-Nya, wabaa-uu bi ghadlabim minallaaHi (“Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah.”) Yakni mereka dipastikan mendapatkan murka dari Allah, dan mereka memang berhak mendapatkannya. Wa dluribata ‘alaiHimul maskanatu (“Dan mereka diliputi oleh kehinaan.”) Maksudnya, ditetapkan bagi mereka kehinaan sesuai dengan takdir dan hukum syari’at.
Oleh karena itu Allah berfirman: dzaalika bi-annaHum kaanuu yakfuruuna bi-aayaatillaaHi wa yaqtuluunal anbiyaa-a bighairi haqqi (“Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar.”) Artinya, yang mendorong mereka melakukan hal tersebut adalah kesombongan, kesewenangan dan kedengkian, oleh karena itu mereka mendapatkan kehinaan, celaan dan kerendahan untuk selama-lamanya yang berlanjut sampai dengan kehinaan di akhirat.
Selanjutnya Allah berfirman, dzaalika bimaa ‘ashau wa kaanuu ya’taduun (“Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”) Artinya, bahwa yang menyeret mereka berbuat kufur terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para Rasul Allah adalah karena kebiasaan mereka (yang) banyak berbuat durhaka terhadap perintah Allah, senang bergelimang dalam kemaksiatan kepada Allah dan melanggar syari’at-Nya. Semoga Allah melindungi kita dari semua itu. Hanya Allah yang berhak menjadi tumpuan pertolongan.
EmoticonEmoticon