Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 102-103

Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 102-103“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. 3:102). Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. 3:103)
Mengenai firman Allah: ittaqullaaHa haqqa tuqaatiHi (“Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.”) Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Agar Dia ditaati dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak diingkari.” Isnad ini shahih mauquf.
Sa’id bin Jubair, Abul `Aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Zaid bin Aslam, as-Suddi dan yang lainnya berpendapat, bahwa ayat ini dinasakh dengan firman Allah: fattaqullaaHa mastatha’tum (“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kemampuanmu.”) (QS. At-Taghaabun : 16)
Mengenai firman Allah: ittaqullaaHa haqqa tuqaatiHi (“Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.”) ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Ayat tersebut tidak dinasakh, tetapi yang dimaksud ‘takwa yang sebenar-benarnya’ adalah berjihad di jalan Allah sebenar-benar jihad dengan tidak merasa takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela, berlaku adil meskipun terhadap diri mereka sendiri, orang tua dan anak-anak mereka.”
Sedangkan firman-Nya, wa laa tamuutunna illaa wa antum muslimuun (“Dan janganlah sekali-kali kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan beragama Islam,”) maksudnya, tetaplah berada dalam Islam semasa kalian masih dalam keadaan sehat dan selamat agar kalian meninggal dunia dalam keadaan Islam. Sebab dengan kemurahan-Nya, Allah yang Mahapemurah telah menjadikan sunnah-Nya bahwa barangsiapa yang hidup di atas suatu keadaan, maka ia pun akan meninggal dunia dalam keadaan tersebut. Dan barangsiapa meninggal dunia di atas sesuatu keadaan, maka ia pun akan dibangkitkan dalam keadaan itu pula. Semoga Allah melindungi kita agar tetap dalam keadaan Islam.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Mujahid, bahwa: “Ketika orang-orang sedang mengerjakan thawaf di Baitullah, Ibnu ‘Abbas sedang duduk dengan memegang tongkat, kemudian ia berkata, Rasululullah saw. bersabda: “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu meninggal dunia melainkan kamu dalam keadaan Islam. Seandainya setetes zagqum jatuh ke dunia, maka ia akan merusak kehidupan penghuninya. Lalu bagaimana bagi orang yang tidak mempunyai makanan kecuali zaqqum?”
Demikian pula diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, melalui beberapa jalan dari Syu’bah. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
Sedangkan menurut al-Hakim, hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengeluarkan.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka jagalah supaya ketika kematiannya tiba ia berada dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, serta mendatangi orang-orang dengan cara yang ia inginkan ketika didatangi.” (HR. Ahmad)
Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Jabir, ia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, tiga malam sebelum beliau wafat: “Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal dunia melainkan ia dalam keadaan berhusnuzhzhan (berbaik sangka) kepada Allah.”
(Diriwayatkan juga oleh Muslim melalui al-A’masy).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah berfirman: ‘Aku menurut prasangka hamba-Ku kepada-Ku, jika ia berprasangka baik kepada-Ku, maka itulah yang akan didapatinya. Dan jika ia berprasangka buruk kepada-Ku, maka itu pulalah yang akan didapatinya.’” (HR. Ahmad)
Pokok hadits ini telah ditegaskan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahib Muslim melalui jalan lain dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Allah berfirman: ‘Aku menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.’”
Al-Hafizh Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Ada seorang dari kalangan Anshar yang jatuh sakit, lalu Nabi saw. berangkat menjenguknya, tiba-tiba beliau bertemu dengannya di pasar, maka beliau pun bertanya: “Bagaimana keadaanmu, hai Fulan?” “Baik, ya Rasulullah. Aku berharap kepada Allah dan takut akan dosa-dosaku,” sahutnya. Kemudian beliau bersabda: “Tidak berpadu kedua hal itu (harap dan takut) pada hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini, melainkan Allah akan memberikan apa yang diharapkan dan memberikan rasa aman dari yang menakutkannya.”
Demikian pula diriwayatkan at-Tirmidzi dan an-Nasa’i serta Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini gharib. Juga diriwayatkan oleh sebagian ahli hadits sebagai hadits mursal.
Dan firman-Nya, wa’tashimuu bihablillaaHi jamii’aw walaa tafarraquu (“Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”) Ada yang berpendapat, “Kepada tali Allah” berarti kepada janji Allah sebagaimana yang difirmankan-Nya pada ayat setelahnya: dluribat ‘alaiHimudz dzillatu ainamaa tsuqifuu illaa bihablim minallaaHi wa hablim minannaasi (“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.”) (QS. Ali-‘Imran: 112) Yakni dengan perjanjian dan perlindungan.
Ada yang berpendapat, kepada tali Allah itu maksudnya adalah kepada al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari al-Harits al-A’war, dari ‘Ali sebagai hadits marfu’, tentang sifat al-Qur’an: “Al-Qur’an itu adalah tali Allah yang paling kuat dan jalan-Nya yang lurus.”
Firman-Nya, wa laa tafarraquu (“Dan janganlah kamu bercerai-berai.”) Allah memerintahkan mereka untuk bersatu dalam jama’ah dan melarang berpecah-belah.
Banyak hadits Rasulullah yang melarang perpecahan dan menyuruh menjalin persatuan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai kalian dalam tiga perkara dan membenci kalian dalam tiga perkara. Dia meridhai kalian jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak bercerai-berai dan setia kepada orang yang telah diserahi urusan kalian oleh Allah. Dan Dia membenci kalian dalam tiga perkara, yaitu banyak bicara, membicarakan pembicaraan orang lain, banyak bertanya dan menghamburkan harta.”
Dan mereka (jika berhimpun) telah diberikan jaminan perlindungan dari kesalahan ketika mereka bersepakat. Sebagaimana hal itu telah disebutkan pula dalam banyak hadits.
Dan yang dikhawatirkan terhadap mereka adalah akan terjadi juga perpecahan dan perselisihan. Dan ternyata hal itu memang terjadi pada umat ini, di mana mereka terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Yang dari ke semua golongan itu, terdapat satu golongan yang selamat masuk ke Surga serta selamat dari adzab Neraka, mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas jalan Rasulullah dan para Sahabatnya.
Firman-Nya yang artinya: “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika dahulu (masa Jahiliyyah) kamu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah kamu menjadi orang-orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkanmu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Konteks ayat ini berkenaan dengan kaum Aus dan Khazraj, sebab pada masa Jahiliyyah dulu, di antara mereka telah terjadi banyak peperangan, permusuhan yang sangat parah, rasa dengki dan dendam, yang karenanya telah terjadi peperangan dan pembunuhan di antara mereka. Maka ketika Allah menurunkan Islam, di antara mereka pun memeluknya, jadilah mereka bersaudara dan saling mencintai karena Allah, saling menyambung hubungan dan tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan.
Allah berfirman yang artinya: “Allah-lah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang yang beriman dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi ini, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan Kati mereka. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfaal: 62-63)
Mereka sebelumnya berada di tepi jurang Neraka disebabkan oleh kekufuran mereka, lalu Allah menyelamatkan mereka dengan memberikan hidayah untuk beriman. Mereka telah dianugerahi kelebihan oleh Rasulullah pada hari pembagian harta rampasan perang Hunain, yaitu pada saat salah seorang di antara mereka mencela Rasul, karena beliau melebihkan yang lain dalam pembagian sesuai dengan yang di tunjukkan Allah kepada beliau.
Kemudian beliau berseru kepada mereka: “Wahai kaum Anshar, bukankah aku telah mendapatkan kalian dalam kesesatan, lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian melalui diriku, dan kalian sebelumnya dalam keadaan terpecah-belah, kemudian Allah menyatukan hati kalian melalui diriku, dan kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah menjadikan kalian kaya juga melalui diriku.” Setiapkali beliau mengatakan sesuatu, mereka berucap, “Allah dan Rasul-Nya lebih dermawan.” (HR. Al-Bukhari dan Imam Ahmad)
Muhammad bin Ishaq bin Yasar dan ulama lainnya menyebutkan bahwa: “Ayat ini turun berkaitan dengan keadaan kaum Aus dan Khazraj. Yaitu ada seorang Yahudi yang berjalan melewati sekumpulan orang dari kaum Aus dan Khazraj. Orang Yahudi itu merasa tidak senang dengan keeratan dan kekompakan mereka. Kemudian ia mengirimkan seseorang dan memerintahkannya untuk duduk bersama mereka, serta mengingatkan kembali berbagai peperangan yang pernah terjadi di antara mereka pada peristiwa Bu’ats dan peperangan-peperangan lainnya. Orang itu tidak henti-hentinya melakukan hal tersebut hingga emosi mereka bangkit dan sebagian mereka murka atas sebagian lainnya, masing-masing saling mengobarkan emosinya, meneriakkan slogan-slogan, mengangkat senjata mereka dan saling mengancam untuk ke tanah lapang. Ketika hal itu terdengar oleh Nabi, maka beliau datang dan menenangkan mereka seraya berseru:
“Apakah kalian menanti seruan Jahiliyyah padahal aku masih berada di tengah-tengah kalian?” Beliau pun membacakan ayat di atas, maka mereka pun menyesali apa yang mereka lakukan. Dan akhirnya mereka saling bersalaman, berpelukan dan meletakkan senjata. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka semuanya. Ikrimah menyebutkan, bahwa ayat ini turun kepada mereka ketika mereka saling naik pitam dalam masalah berita bohong (yang menimpa diri Aisyah ra.). Wallahu a’lam.


EmoticonEmoticon