Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 159-164

Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 159-164“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali ‘Imraan: 159) Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; dan jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (QS. Ali ‘Imraan: 160) Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali ‘Imraan: 161) Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali (QS. Ali ‘Imraan: 162) (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Mahamelihat apa yang mereka kerjakan. (QS. Ali ‘Imraan: 163) Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imraan: 164)
Allah berfirman ditujukan kepada Rasulullah, mengingatkan atas karunia yang telah diberikan kepadanya dan kepada orang-orang yang beriman, tatkala Allah menjadikan hati beliau lembut kepada umatnya yang mengikuti perintah dan meninggalkan larangannya serta menjadikan beliau bertutur kata baik kepada mereka, fa bimaa rahmatim minallaaHi linta laHum (“Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”) Artinya, dan tidak ada sesuatu yang menjadikan kamu bersikap lemah lembut kepada mereka kalau bukan rahmat Allah yang diberikan kepadamu dan kepada mereka.
Mengenai firman-Nya: fa bimaa rahmatim minallaaHi linta laHum (“Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”) Qatadah mengatakan, “Karena rahmat Allah engkau [Muhammad] bersikap lemah lembut kepada mereka.” huruf “lam” merupakan penghubung [shilah]. Dan bangsa Arab biasa menghubungkannya dengan isim ma’rifat. Sebagaimana firman-Nya: fa bimaa naq-dliHim miitsaaqaHum (“Maka [Kami lakukan beberapa tindakan kepada mereka] disebabkan mereka melanggar perjanjian itu”) (An-Nisaa’: 155) dan dengan isim nakirah seperti dalam firman-Nya: ‘ammaa qaliil (“Dalam sedikit waktu lagi”) (Al-Mu’minuun: 40) demikian juga di sini Allah berfirman: fa bimaa rahmatim minallaaHi linta laHum (“Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”)
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Yang demikian itu merupakan akhlak Nabi Muhammad saw. yang dengannya Allah mengutusnya. Dan ayat ini serupa dengan firman-Nya yang artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Setelah itu Allah berfirman: wa lau kunta fadh-dhan ghaliidhal qalbi lanfadl-dluu min haulika (“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”) yang dimaksud dengan “alfadh-dhu” dan “alghaliidh” di sini adalah ucapan kasar. Hal ini sesuai dengan firman-Nya setelah itu: ghaliidhal qalbi (“berhati kasar”). Artinya jika kamu mengeluarkan kata-kata buruk dan berhati kasar kepada mereka, niscaya mereka akan menjauh dan meninggalkanmu, tetapi Allah menyatukan mereka semua kepadamu. Dan Allah menjadikan sikapmu lembut kepada mereka dimaksudkan untuk menarik hati mereka sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin ‘Amr, “Aku melihat sifat-sifat Rasulullah saw. dalam kitab-kitab terdahulu seperti itu, dimana beliau tidak bertutur kata kasar dan tidak juga berhati keras, tidak suka berteriak-teriak di pasar, tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi beliau senantiasa memberi maaf.
Allah berfirman: fa’fu ‘anHum wastaghfirlaHum wa syaawirHum fil amri (“Maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”) Oleh sebab itu Rasulullah senantiasa mengajak para Sahabatnya bermusyawarah mengenai suatu persoalan yang terjadi untuk menjadikan hati mereka senang dan supaya mereka lebih semangat dalam berbuat. Sebagaimana beliau pernah mengajak mereka bermusyawarah pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan orang-orang kafir. Para Sahabat berkata, “Ya Rasulullah, jika engkau menyeberangi lautan, niscaya kami akan ikut menyeberanginya bersamamu. Dan jika engkau menelusuri daratan dalam kegelapan ke Barkil Ghimad, niscaya kami akan ikut berjalan bersamamu. Kami tidak akan mengatakan apa yang dikatakan kaum Musa kepadanya, di mana kaumnya itu berkata, ‘Pergilah engkau bersama Rabb-mu dan berperanglah, kami akan duduk-duduk di sini saja.’ Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, “Pergilah, dan kami akan senantiasa bersamamu, di depan, di kanan dan kirimu untuk ikut berperang.”
Selain itu, Rasulullah juga pernah mengajak mereka bermusyawarah, di mana harus berkemah, hingga akhirnya al-Mundzir bin ‘Amr menyarankan untuk bertempat di hadapan lawan.
Dalam perang Uhud, beliau juga pernah mengajak bermusyawarah, yaitu tetap tinggal di Madinah atau pergi menghadapi musuh. Akhirnya, mayoritas Sahabat menyarankan untuk pergi menghadapi musuh. Maka beliaupun pergi bersama mereka menghadapai musuh.
Sedangkan pada perang Khandaq beliau juga mengajak para Sahabat bermusyawarah mengenai masalah al-Ahzab, yaitu tawaran perdamaian dengan memberikan sepertiga hasil kekayaan kota Madinah pada tahun itu. Namun hal itu ditentang oleh Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin `Ubadah, hingga akhirya beliau tidak melanjutkannya.
Dan pada peristiwa perjanjian Hudaibiyah, yaitu terhadap usulan untuk menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq berkata kepadanya, “Sesungguhnya kita datang tidak untuk berperang, tetapi kita datang adalah untuk mengerjakan umrah.” Maka Rasulullah pun menyetujui pendapat Abu Bakar, Beliau juga pernah minta pendapat ‘Ali dan Usamah tentang perceraiannya dengan ‘Aisyah dalam peristiwa haditsul ifki (berita bohong).
Demikianlah, beliau bermusyawarah dengan para Sahabatnya baik dalam masalah perang atau masalah-masalah lainnya. Para fuqaha (ahli fiqih) berbeda pendapat, apakah bermusyawarah itu suatu hal yang wajib bagi beliau atau sunnah dalam rangka menarik hati
mereka?
Mengenai hal itu, terdapat dua pendapat. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi bahwa beliau pernah bersabda: “Orang yang dimintai pendapat itu adalah orang yang dapat dipercaya.”
Hadits di atas diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Dan an-Nasa’i menilainya sebagai hadits hasan dari hadits ‘Abdul Malik dengan redaksi yang lebih panjang dari riwayat ini.
Firman-Nya, fa idzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallaaHi (“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.”) Artinya, jika kamu telah bermusyawarah dengan mereka mengenai suatu masalah, lalu kamu telah benar-benar bulat terhadap keputusan yang dihasilkan, maka bertawakkallah kepada Allah; innallaaHa yuhibbul mutawakkiliin (“Sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Firman-Nya yang artinya, “Jika Allah menolongmu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkanmu. Jika Allah membiarkanmu (tidak memberikan pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolongmu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” Ayat ini sama seperti ayat sebelumnya: “Dan pertolongan itu tidak lain kecuali dari sisi Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Ali-‘Imraan: 126) Setelah itu Dia memerintahkan mereka untuk bertawakkal kepada-Nya seraya berfirman, wa ‘alallaaHi falyatawakkalil mu’minuun (“Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.”)
Dan firman-Nya, wa maa kaana li nabiyyin ay yaghull (“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat [dalam urusan harta rampasan perang].”) Mengenai firman-Nya ini, Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan al-Bashri dan ulama lainnya berkata: “Tidak layak bagi seorang Nabi berkhianat.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, para Sahabat kehilangan selimut dari sutera pada waktu perang Badar, lalu mereka berkata, “Mungkin Rasulullah yang mengambilnya.” Maka Allah pun menurunkan ayat: wa maa kaana li nabiyyin ay yaghull (“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat [dalam urusan harta rampasan perang].”)
Demikian itu juga diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan gharib. Yang demikian itu merupakan penyucian terhadap diri Nabi, dari berbagai bentuk pengkhianatan dalam menjalankan amanat, pembagian harta rampasan dan lain sebagainya.
Mengenai firman-Nya ini, wa maa kaana li nabiyyin ay yaghull (“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat [dalam urusan harta rampasan perang].”) al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, yakni tidaklah beliau membagikan harta rampasan itu kepada sebagian pasukan saja dan meninggalkannya yang lainnya. Hal senada juga katakan oleh adh-Dhahhak.
Masih mengenai firman-Nya ini: wa maa kaana li nabiyyin ay yaghull (“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat [dalam urusan harta rampasan perang].”) Muhammad bin Ishaq berkata, yakni tidaklah beliau meninggalkan sebagian dari apa yang diturunkan kepadanya dan tidak menyampaikan kepada umatnya.
Al-Hasan al-Bashri, Thawus, Mujahid, dan adh-Dhahhak membaca: wa maa kaana li nabiyyin ay yughall; dengan memberikan dhammah di atas huruf “ya” yang berarti “yukhaan” (dikhianati).
Sedangkan Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas berkata: “Ayat ini turun pada waktu perang Badar, di mana sebagian dari Sahabat Rasulullah berkhianat.”
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas. Kemudian ia menceritakan dari sebagian ulama bahwa bacaan ini ditafsirkan dengan makna, “dituduh berkhianat.”
Selanjutnya Allah berfirman yang artinya, “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu) maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” Ini merupakan ancaman yang keras dan tegas.
Dan Sunnah Nabawiyyah sendiri telah melarang hal itu, yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i dari Nabi, beliau bersabda: “Pengkianatan yang paling besar di sisi Allah adalah pengkhianatan terhadap sejengkal tanah. Kalian dapati dua orang yang tanahnya -atau rumahnya- berdekatan (berbatasan), kemudian salah seorang dari keduanya mengambil sejengkal dari tanah milik saudaranya itu. Jika ia mengambilnya, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi pada hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Hubairah dan al-Harits bin Yazid dari ‘Abdurrahman bin Jubair, ia berkata, aku pernah mendengar al-Mustaurid bin Syaddad berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengurusi suatu urusan bagi kami sedang ia tidak mempunyai rumah, maka hendaklah ia membangun rumah, atau tidak mempunyai isteri, maka hendaklah ia menikah, atau tidak mempunyai pelayan, maka hendaklah ia mengambil pelayan, atau tidak mempunyai binatang tunggangan maka hendaklah ia mengambilnya. Barangsiapa mengambil sesuatu melebihi itu, ia telah berkhianat.”
Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Abu Dawud dengan sanad dan redaksi yang berbeda.
Imam Ahmad meriwayatkan pula Sufyan telah menceritakan kepada kami dari az-Zuhri, ia mendengar ‘Urwah berkata, Abu Hamid as-Sa’idi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Rasulullah pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azad yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang seraya berkata, “Ini untuk anda dan ini yang dihadiahkan untukku.” Maka Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: “Bagaimanakah keadaan orang yang kami tugaskan untuk mengurus sebuah pekerjaan, lalu ia berkata, ‘Ini untuk anda dan ini yang dihadiahkan untukku.’ Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya sambil menunggu apakah hadiah itu diberikan kepadanya atau tidak? Demi Rabb yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian mengambilnya, melainkan akan datang dengan membawanya pada hari Kiamat kelak di atas pundaknya. Jika yang diambil itu berupa unta, maka unta itu akan mengeluarkan suaranya, atau sapi, maka sapi itu akan melenguh ataupun kambing, maka kambing itupun akan mengembik.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiak beliau dan kemudian bersabda, “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan risalah.” Sebanyak tiga kali.
Hisyam bin ‘Urwah menambahkan, lalu Abu Hamid berkata, “Kedua mataku menyaksikannya, kedua telingaku mendengarkannya. Tanyakanlah kepada Zaid bin Tsabit.”
Dikeluarkan dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah dan pada riwayat al-Bukhari: “Tanyakanlah kepada Zaid bin Tsabit.” Dan dalam bab ini juga diriwayatkan dari ‘Adi bin ‘Umairah, Buraidah, al-Mustaurid bin Syaddad, Abu Humaid dan Ibnu ‘Umar.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah kami lalu beliau mengingatkan masalah pengkhianatan. Beliau menganggapnya sebagai masalah yang besar dan penting, lalu beliau bersabda: “Sungguh aku akan menjumpai salah seorang di antara kalian yang datang pada hari Kiamat kelak dengan unta yang menderum di atas pundaknya seraya berkata, “Ya Rasulullah, tolonglah aku.” Maka kujawab, “Tidak, aku tidak mempunyai wewenang sedikit pun dari Allah untuk menolongmu. Aku dulu sudah pernah menyampaikan risalah kepadamu.” Dan aku akan menjumpai salah seorang di antara kalian yang datang pada hari Kiamat kelak sedang diatas pundaknya terdapat kuda yang meringkik seraya berkata, “Ya Rasulullah, tolonglah aku.” Maka kujawab, “Aku tidak mempunyai wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Aku dulu sudah menyampaikan risalah kepadamu.” Dan aku akan menjumpai salah seorang diantara kamu yang datang pada hari Kiamat dengan emas dan Perak, seraya berkata: “Ya Rasulullah, tolonglah aku.” Maka kujawab, “Aku tidak mempunyai wewenang sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Aku dulu sudah menyampaikan kepadamu.”
Dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abi Hayyan.
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari ‘Adi bin ‘Umairah al-Kindi, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa di antara kalian bekerja untuk kami, lalu menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau yang lebih kecil darinya, maka hal itu adalah pengkhianatan dan ia akan datang membawanya pada hari Kiamat.” Kemudian salah seorang dari kaum Anshar yang berkulit hitam berdiri -yang menurut Mujahid dia adalah Sa’ad bin ‘Ubadah, seolah-olah aku pernah melihatnya- seraya berkata, “Ya Rasulullah, terimalah dariku tugasmu ini.” Beliau bertanya, “Tugas apa itu?” la menjawab, “Aku pernah mendengar engkau mengatakan ini dan itu. Beliau pun berkata, “Dan aku katakan hal itu sekarang. Barangsiapa yang pernah kami pekerjakan untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah ia datang dengan membawanya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikannya, maka hendaklah ia mengambilnya, dan apa yang tidak diberikannya, maka hendaklah ia menahan diri.” (Demikian juga yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Abu Dawud).
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Samakal-Hanafi Abu Zamil, telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Abbas, telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin al-Khaththab, ia berkata, ketika perang Khaibar berlangsung ada beberapa orang Sahabat yang datang menemui Rasulullah seraya berkata, “Si fulan mati syahid, si fulan mati syahid.” Hingga mereka mengatakan, “Si fulan mati syahid.” Lalu Rasulullah bersabda, “Tidak, aku melihatnya berada di Neraka di dalam selimut -atau mantel- yang digelapkannya.” Lebih lanjut beliau bersabda, “Pergi dan serukan kepada semua orang bahwasanya tidak akan masuk Surga kecuali orang-orang yang beriman.” Maka aku pun keluar dan menyerukan bahwasanya tidak akan masuk Surga kecuali orang-orang yang beriman.”
Hal senada juga diriwayatkan Imam Muslim dan Imam at-Tirmidzi dari hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammar. Dan at-Tirmidzi berkata, bahwa hadits ini hasan shahih.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim bin ‘Abdullah, bahwa ia bersama Maslamah bin ‘Abdul Malik berada di kawasan Romawi, lalu ia mendapati dalam harta kekayaan seseorang terdapat harta pengkhianatan. Kemudian ia menanyakan kepada Salim bin ‘Abdullah, maka ia menjawab, Abu ‘Abdullah telah menceritakan kepadaku dari ‘Umar bin al-Khaththab ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang mendapatkan dalam harta kekayaannya terdapat harta pengkhianatan, maka bakarlah, atau -ia mengatakan, tahanlah, atau mengatakan- dan binasakanlah.” Lalu ia mengeluarkan kekayaannya itu di pasar dan kemudian ia menemukan mushaf al-Qur’an dan ia tanyakan kepada Salim bin ‘Abdullah, maka Salim pun menjawab, “Jual dan sedekahkan hasil penjualannya.”
Demikianlah yang diriwayatkan ‘Ali bin al-Madini, Abu Dawud danat-Tirmidzi. ‘Ali bin al-Madini, Imam al-Bukhari dan lain-lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut mungkar dari riwayat Abu Waqid. Sedangkan ad-Daruquthni mengatakan, yang benar bahwa hal itu hanya fatwa dari Salim semata.
Imam Ahmad dan para pengikutnya berpendapat seperti hadits diatas, sedangkan Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i, serta jumhur ulama menentangnya seraya mengatakan, bahwa kekayaan orang yang berkhianat itu tidak dibakar melainkan cukup hanya dengan mendera pemiliknya dengan deraan yang setimpal. Imam al-Bukhari mengatakan, Rasulullah tidak mau menyalatkan orang yang berkhianat dan beliau tidak membakar kekayaannya. Wallahu a’lam.
Firman-Nya: a fa manit taba’a ridl-waanallaaHi kamam baa-a bisakhatim minallaaHi wa ma’waaHu jaHannamu wa bi’sal mashiir (“Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan [yang besar] dari Allah dan tempatnya adalah jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”) Artinya, tidak ada kesamaan antara orang yang mengikuti keridhaan Allah swt. dengan menerapkan syari’at-Nya sehingga dengan demikian itu ia berhak mendapatkan keridhaan dan pahala-Nya yang besar serta dilindungi dari siksa-Nya yang berat, dengan orang yang berhak mendapatkan murka Allah, yang sudah menjadi kepastian baginya serta tidak dapat dipalingkan darinya, dan pada hari Kiamat kelak tempatnya adalah Neraka Jahannam yang merupakan tempat kembali yang paling buruk.
Ayat di atas ini memiliki persamaan dengan ayat-ayat lain yang cukup banyak di dalam al-Qur’an. Seperti misalnya ayat yang artinya: “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itu benar sama dengan orang yang buta?” (QS. Ar-Ra’d: 19)
Kemudian Allah swt. berfirman, Hum darajaatun ‘indallaaHi (“[Kedudukan] mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah.”) Al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Ishaq berkata, yaitu orang-orang yang berbuat kebaikan dan orang-orang yang berbuat kejahatan itu bertingkat-tingkat. Abu ‘Ubaidah dan Kisa’i berkata, yakni mempunyai tingkatan yang berbeda-beda, baik di Surga maupun di Neraka. Sebagaimana firman-Nya, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang telah dikerjakannya.” (QS. Al-An’aam: 132).
Oleh karena itu, Allah swt, berfirman: wallaaHu bashiirum bimaa ya’maluun (“Dan Allah Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”) Maksudnya, Allah akan memberikan balasan kepada mereka sesuai tingkatannya masing-masing dengan tidak menzhalimi mereka terhadap kebaikan yang dikerjakan dan tidak pula menambah mereka terhadap kejahatan yang dikerjakan, tetapi Allah memberi balasan sesuai dengan amalan masing-masing.
Firman-Nya: laqad mannallaaHu ‘alal mu’miniina idz ba’atsa fiiHim rasuulam min anfusiHim (“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara seorang rasul dari golongan mereka sendiri.”) yaitu dari jenis mereka sendiri supaya mereka bisa berkomunikasi, bertanya jawab, berdampingan, serta mengambil manfaat darinya.
Allah juga berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus sebelummu melainkan seorang laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109) juga firman-Nya: “Wahai sekalian jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari golongan kamu sendiri.” (al-An’am: 130)
Ini adalah karunia yang paling besar, dimana Rasul yang diutus kepada mereka itu adalah dari jenis mereka sendiri, sehingga dengan demikian mereka bisa berkomunikasi dan menjadikannya sebagai tempat rujukan dalam memahami firman-firman-Nya.
Oleh karena itu Allah berfirman: yatluu ‘alaiHim aayaatiHi (“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah.”) yakni al-Qur’an. Wa yuzakkiiHim (“membersihkan jiwa mereka.”) yakni memerintahkan mereka mengerjakan kebajikan dan mencegah mereka dari melakukan kemunkaran, agar dengan demikian mereka bisa menyucikan diri dari kotoran dan najis yang menyelimuti mereka, ketika mereka masih dalam keadaan jahiliyyah yang diselimuti dengan kemusyrikan.
Wa yu’allimuHumul kitaaba wal hikmata (“Serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah.”) yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Wa in kaanuu min qab-lu (“dan sesungguhnya mereka sebelum itu”) yaitu sebelum kedatangan Rasulullah saw. La fii dlalaalim mubiin (“Benar-benar dalam kesesatan yang nyata”) yakni dalam penyimpangan dan dan kebodohan yang nyata dan jelas bagi setiap orang.


EmoticonEmoticon