Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 79-80

Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat
tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 79-80“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah penyembahku bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’ (QS. 3:79) Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan para Nabi sebagai Rabb. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam.” (QS. 3:80)
Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Ketika para pendeta kalangan Yahudi dan Nasrani dari penduduk Najran berkumpul di tempat Rasulullah dan mengajak mereka kepada Islam, Abu Rafi’ al-Qurazhi berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau menginginkan kami menyembahmu sebagaimana orang-orang Nasrani itu menyembah `Isa bin Maryam?” Lalu seseorang dari penduduk Najran yang menganut agama Nasrani, disebut ar-Ra-is berkata, “Apakah itu yang engkau kehendaki dari kami, wahai Muhammad, dan apa untuk itu Pula engkau menyeru kami?” Maka Rasulullah bersabda, “Aku berlindung kepada Allah dari menyembah selain Allah atau menyuruh menyembah selain Allah. Bukan untuk itu Dia mengutusku dan bukan itu pula yang Dia perintahkan kepadaku.” Atau senada dengan hal ini. Karena ucapan kedua orang inilah, Allah menurunkan ayat yang artinya:
“Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi (ia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’ Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan para Nabi sebagai Rabb. Apakah patut ia menyuruhmu berbuat kekufuran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?”
Firman-Nya, maa kaana libasyarin ay yu’tiyaHullaaHul kitaaba wal hukma wan nubuwwata tsumma yaquula linnaasi kunuu ‘ibaadallii min duunillaaHi (“Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.’”)
Maksudnya, tidak pantas bagi orang yang telah Allah turunkan kepadanya kitab, hikmah, dan kenabian untuk mengatakan kepada manusia, “Beribadahlah kepadaku di samping beribadah kepada Allah.” Jika hal itu tidak dibenarkan bagi seorang Nabi dan Rasul, maka lebih tidak dibenarkan lagi dilakukan oleh orang yang bukan Nabi dan Rasul. Oleh karena itu al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Tidak pantas bagi seorang mukmin menyuruh manusia menyembah dirinya, yang demikian itu karena ada satu kaum yang sebagian mereka menyembah sebagian lainnya, yaitu Ahlul Kitab, mereka menyembah para pendeta dan rahib mereka.” Sebagaimana Allah berfirman: ittakhadzuu ahbaaraHum wa ruHbaanaHum arbaabam min duunillaaH (“Merka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah.”) (QS. At-Taubah: 31).
Dalam kitab al-Musnad dan Sunan at-Tirmidzi, sebagaimana akan dijelaskan bahwa `Adi bin Hatim berkata: “Ya Rasulullah, mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib. Beliau menjawab, “Tidak, bahkan mereka (para pendeta dan rahib itu) menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal bagi mereka, lalu mereka pun mengikutinya. Maka yang demikian itulah penyembahan mereka terhadap para pendeta dan rahib mereka.”
Orang-orang bodoh dari kalangan para pendeta dan rahib serta pemuka kesesatan termasuk dalam kecaman dan celaan ini. Berbeda dengan para Rasul dan para pengikutnya dari kalangan ulama yang konsisten, mereka hanya menyuruh kepada apa yang diperintahkan Allah serta apa yang disampaikan oleh para Rasul yang mulia. Mereka juga melarang apa yang dilarang oleh Allah dan apa yang disampaikan oleh para Rasul. Karena, para Rasul merupakan duta antara Allah dan makhluk-Nya dalam menunaikan risalah yang mereka bawa, serta menyampaikan amanat. Mereka melaksanakan tugasnya itu dengan amat baik dan sangat sempurna, menasehati umat manusia dan menyampaikan kebenaran kepada mereka.
Wa laakin kuunuu rabbaaniyyiina bimaa kuntum tu’allimuunal kitaaba wa bimaa kuntum tadrusuun (“Akan tetapi [dia berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi orang orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’”) Artinya, Rasulullah mengatakan kepada umat manusia, “Jadilah kalian hamba-hamba rabbani.”
Ibnu ‘Abbas, Abu Razin, dan ulama lainnya berkata, “Jadilah orang-orang bijak, para ulama dan orang-orang yang bersabar.”
Sedangkan al-Hasan dan ulama lainnya berkata, “Jadilah fuqaha (orang yang faham tentang agama).”
Hal yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu’Abbas, Sa’id bin Jubair, Qatadah, `Atha’ al-Khurasani, `Athiyyah al-‘Aufi, dan ar-Rabi’ bin Anas.
Diriwayatkan pula dari al-Hasan bahwa maknanya adalah ahli ibadah dan ahli takwa.
Mengenai firman-Nya: bimaa kuntum tu’allimuunal kitaaba wa bimaa kuntum tadrusuun (“Karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya,”) adh-Dhahak berkata, “Suatu hal yang wajib bagi orang yang belajar al-Qur’an untuk menjadi seorang faqih, “tu’allimuuna” artinya kalian memahami maknanya.”
Dan kata “tu’allimuuna” ini dibaca dengan cara ditasydidkan, karena berasal dari kata “at-ta’liim”. Wa bimaa kuntum tadrusuun (“Dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya.”) Maksudnya, kalian menghafal lafazh-lafazhnya.
Selanjutn Allah berfirman, wa laa ya’murakum an tattakhidzul malaa-ikata wan nabiyyiina arbaaban (“Dan [tidak wajar pula baginya] menyuruh kamu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai Rabb.”) Yakni tidak patut ia menyuruh kalian untuk menyembah seseorang selain Allah, baik itu Nabi, Rasul yang diutus, ataupun Malaikat yang didekatkan.
A ya’murukum bil kufri ba’da idz antum muslimiin (“Apakah patut ia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah [menganut agama] Islam?”) Artinya tidak ada yang melakukan hal seperti itu kecuali orang yang menyeru kepada penyembahan selain Allah. Orang yang menyeru kepada penyembahan selain Allah berarti ia telah mengajak kepada kekafiran. Sedangkan para Nabi hanya memerintahkan untuk beriman, yaitu beribadah kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Allah, berfirman: wa arsalnaa min qablika mir rusulin illaa nuuhii ilaiHi annaHu laa ilaaHa illaa ana fa’buduun (“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada ilah (yang haq) melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku.” (QS. Al-Anbiyaa’ 25)


EmoticonEmoticon